Tak Sekadar Pesta Bakar Sate

Di beberapa sudut Kota Surabaya, jika Idul Adha atau Idul Kurban tiba, banyak warga yang berbondong-bondong antre di beberapa tempat tertentu untuk mendapatkan daging kurban. Tahun lalu, saya merekam beberapa kejadian pada hari raya yang mulia tersebut.

Kebetulan saya tinggal di kawasan Surabaya Pusat. Seusai salat Id, seperti Idul Kurban pada tahun-tahun sebelumnya, ada beberapa perkantoran yang menyediakan hewan kurban untuk dibagikan kepada para warga duafa. Meski demikian, kenyataan di lapangan adalah tidak sedikit warga yang sebenarnya mampu juga ikut antre untuk mendapatkan sekitar seperempat atau setengah kilo daging sapi atau kambing. Sebelumnya, mereka terlebih dulu mendapatkan kupon untuk bisa mendapatkan daging tersebut.

Biasanya, baru selepas waktu zuhur, daging itu diberikan setelah melalui beberapa proses. Cuaca yang kadang terik tak menyurutkan semangat para warga yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak itu untuk antre berdesak-desakkan.

Tak jarang, di antara mereka terlibat adu mulut karena merasa diserobot. Padahal, Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba li akhiihi maa yuhibbu linafsihi.” (Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri).

Sebagaimana potret keseharian masyarakat kita saat ini, ada yang lebih memilih berkelahi demi masalah yang sepele. Kadang, ada orang yang tak rela memberikan tempat duduknya di bus untuk seseorang yang tua. Cuek is the best seolah menjadi slogan yang manjur sebagai pembenar tak kala seseorang dihadapkan pada keikhlasan.

Maka, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menyimak kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, yang menjadi awal diturunkannya perintah untuk kurban. Sudah sepatutnya kita merenungkan kembali keagungan dari pengorbanan luar biasa dua nabi tersebut sambil membandingkan kesiapan berkorban diri sendiri.

Bagi kebanyakan orang, kehilangan anak menjadi sebuah musibah besar, apalagi jika harus menghilangkan nyawa anak. Nah, hikmah dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah keikhlasan berkorban demi kekasih yang maha agung, Allah.

Wujud sebuah ketulusan luar biasa ditunjukkan pula oleh Nabi Ismail. Keduanya membuktikan cinta paling mulia dan pengorbanan yang amat agung. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk mengorbankan putra tercintanya, Nabi Ismail. Demikian pula sang anak dan belahan jiwa (soulmate), rela menyerahkan nyawa sendiri demi Allah yang maha besar. Subhanallah.

Sesungguhnya, salatku, ibadahku, hidupku, matiku, semata-mata milik Allah Tuhan sekalian alam. Tak ada seorang pun yang ikut bersama-Nya memiliki. Untuk itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang pertama yang menerima, yang pasrah, yang Islam!

Cinta dan keikhlasan Nabi Ibrahim serta Nabi Ismail dicatat sebagai sejarah emas yang membingkai betapa indahnya sebuah ketulusan. Cinta itu hadir bersatu dalam keimanan, bukan sekadar pemanis bibir atau omong kosong. Aplikasi cinta yang agung tersebut kian tergerus seiring dengan majunya teknologi seperti saat ini.

Karena itu, Idul Kurban membawa kesejukan bagi tiap orang yang mau mengimplementasikannya, tak sekadar mengetahui.

Jamak diketahui, jika mampu, orang lebih suka berkurban dengan membeli kambing yang murah ataupun kurus. Bila salat Jumat, orang membuka dompet untuk mencari nominal terkecil. Memang, itu bisa disebut beramal, tapi bagaimana dengan konteks keikhlasannya? Dalam kondisi seperti itu, berkorban terasa amat berat. Sungguh, ikhlas memang sulit diaplikasikan bila kita masih menyandarkan diri pada hukum untung rugi dan timbal balik.

Apabila tiba hari raya Idul Kurban, banyak orang yang bersyukur. Sebagian besar bersuka cita menyambutnya karena bisa antre daging untuk disate. Di sudut kampung-kampung, di halaman belakang rumah, di pasar, kepulan asap panggangan sate mengepul. ”Bisa bikin sate kayak gini kan cuma setahun sekali,” begitu alasan yang kerap kita dengar.

Angin musim ini kadang cukup kencang berembus karena hujan kerap menyapa. Telah habis gelas ketiga, saya habiskan air putih. Mata ini sudah terasa lelah ketika jam sudah menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Mungkin aroma sate bisa membangkitkan kembali lelah itu. Tapi, kali ini saya tak berniat untuk membakar sate sendiri, apalagi jika harus antre berdesakan demi setengah kilo daging kurban. Sebab, ada orang lain yang lebih berhak mendapatkannya. Lagi pula, perut ini tak meronta meminta aroma sate itu segera meski pesta bakar sate tersebut hampir tiba.

[email protected]

samuderaislam.blogspot.com