Terselip Lelah di Balik Jenaka

lelahOleh: Rani Rizki Amalia (Mahasiswa Jurnalistik PNJ)

Setiap senja menjelang, kala waktu mengharuskannya pulang ke rumah, gurat keletihan terkadang tersirat pada sorot matanya yang sayu. Namun, ia selalu berhasil menyamarkan gurat itu dengan berbagai canda. Tawanya yang berderai tiap kali mengumbar canda selalu memenuhi ruang pendengaranku. Semua beban di pundaknya bagai hilang ketika ia mulai membagikan candaan khas miliknya itu.

 

Ya, jenaka merupakan kata yang melekat pada dirinya, Ayah kesayanganku. Tiada hari tanpa candaan darinya. Ia selalu bisa menyembunyikan segala permasalahannya pada kami, keluarganya, dengan memakai topeng kejenakaannya. Jika orang lain yang tak mengenal betul sosoknya, mereka pasti akan menilai bahwa seakan tak ada satu pun beban yang memberatkan pundak Ayahku. Mungkin pikir mereka, hidup selalu mudah bagi Ayah.

Memang, kejenakaannya selalu menjadi hiburan untuk kami. Ia selalu dapat meredakan segala amarah orang-orang di sekitarnya. Mencairkan segala suasana. Aku dan Ibukulah yang paling sering merasakannya. Pernah sekali Ibuku naik pitam karena suatu sebab, lalu Ayah mulai memberikan guyonan-guyonannya pada Ibu. Detik berikutnya, yang terjadi Ibuku malah tertawa dan melupakan segala permasalahannya. Pun denganku yang sering merajuk padanya. Aku tahu tak layak kutunjukkan sikapku itu padanya. Namun, Ayahku yang penyanyang, tak pernah menunjukan amarahnya padaku. Jika aku mulai merajuk, yang sering dilakukannya justru malah menggodaku dengan candanya.

Ayahku memang luar biasa hebat. Ia dapat memberikan atmosfer keceriaan di sekelilingnya, mengubah amarah menjadi gelak tawa. Tapi, aku tahu, hidupnya tak semudah ia mengeluarkan berbagai canda. Ada sebuah kelelahan tersimpan dalam dirinya. Lelah, karena kondisi fisiknya yang semakin menurun dan usianya yang semakin menua. Lelah, karena permasalahan hidup yang kini sering kali singgah di hidupnya. Sementara, sebagai kepala keluarga, ia tahu bahwa dirinya harus tetap setegar batu karang yang dihempaskan ombak di tengah lautan. Aku sadar bahwa di balik kejenakaannya, justru ialah yang seharusnya paling butuh dihibur, diberikan semangat. Bukan sebaliknya.

Saat beristirahat di kala malam menjelang, baru dapat kulihat dengan jelas semua keletihannya. Topeng jenaka itu sudah tak terpasang lagi pada wajahnya. Tak sampai hati aku memandangya. Senyumnya yang tadi mengembang, kini menyusut dalam kebisuan. Gurat-gurat keletihan itu semakin terlihat jelas pada wajahnya yang damai dalam tidur. Ingin rasanya aku memeluk erat-erat dirinya. Membisikkan kata-kata yang dapat menghapuskan segala resah.

Pria paruh baya ini memang tak ingin menyulitkan siapa pun, terutama keluarga. Jikalau memang ada, biarlah hanya ia yang merasakan penderitaan itu dan tak ingin seorang pun khawatir dengannya. Ia pintar menyimpan masalahnya sendiri. Pernah sekali waktu kuketahui ia sakit. Aku mendesaknya agar segera pergi ke dokter. Namun, ia hanya berkata, “Tak usah. Nanti juga sembuh. Lagipula, dokter itu mahal. Lebih baik uangnya digunakan untuk keperluan kamu saja.” Sungguh, dalam hati ingin sekali aku menangis. Sebegitu berkorbannyakah Ayahku itu sampai rela mengesampingkan dirinya sendiri?

Ayahku memanglah kebanggaan keluarga nomor satu. Perjuangannya untuk selalu berkorban demi anak-anak dan istrinya sangat luar biasa. Seakan tak ada kata lelah untuk membahagiakan keluarganya. Semua hal dalam dirinya dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan kami.

Sekarang, aku menyadari betul perjuangan seorang Ayah. Nyatanya, ia tak pernah kalah hebat dari Ibu yang telah melahirkan kita. Sudah sepatutnya kita menghormati sosok Ayah. Jangan sampai hanya keluh kesahlah yang  kita tunjukkan padanya. Jangan sampai kita menyesal setelah semuanya telah terlambat. Sadarilah bahwa fisiknya telah semakin rapuh di makan usia, waktu pun kian memperjelas gurat keletihannya.

Lantas, setelah kita menyadari semua ini, masihkah kita hanya berdiam diri memandanginya dari kejauhan, menghapus segala peluh yang membasahi tubuhnya sendirian? Atau bahkan, masihkah terbersit dalam pikiran kita untuk selalu mengeluh padanya, padahal kita tahu bahwa ia sendiri sekuat tenaga berusaha menutupi segala keluh kesahnya?

Kini, saatnya kita yang mencoba berdiri pada tempatnya berpijak. Tak apa walau hanya sesaat. Setidaknya, kita menyadari bahwa kehidupan seorang Ayah tak semudah membalikkan telapak tangan, ia juga memiliki banyak beban. Dan sekaranglah waktunya kita untuk menghibur dirinya, menghadirkan gelak tawa agar dapat meringankan beban apa pun itu yang selalu memberatkan pundaknya.

Ya, semoga, kita masih punya banyak waktu untuk melakukan semua hal itu.

 

*****