Ada Filosofi Cinta pada Seikat Kangkung

Saat pertama kali bertemu ia terlihat layu. Tak lagi seperti ketika baru dipetik. Jika tak cepat diatasi kangkung itu akan semakin layu, tak lagi mampu memberi kesan indah dan memikat. Tak lagi sanggup menarik hati untuk mendekat dan menyentuh, lalu akhirnya ditinggalkan dan dibuang ke tempat sampah. Sebelum itu terjadi saya menerapkan ilmu cinta dan kasih sayang yang saya dapatkan. Sebuah ilmu tentang perhatian tulus dan perawatan yang menyeluruh. Sebuah rahasia yang mampu memberikan kesegaran kembali.

Saya sisihkan yang baik-baik, lalu saya kumpulkan dan ikat. Sesegera mungkin saya masukkan ke dalam wadah air, kemudian dengan rutin saya siram dengan air, sehingga ia pun kembali segar dan terlihat muda.

Cinta pun demikian adanya. Cinta pada Allah, Sang Maha Pencipta, cinta pada Rasulullah seorang qudwah hasanah setiap insan yang ingin berbahagia di dunia dan akhirat sana. Cinta pada agama, yang merupakan jalan hidup menuju keselamatan abadi. Cinta seorang istri pada suami, seorang suami pada istri, cinta orang tua pada anak, guru pada murid, cinta pada sahabat, cinta seorang penuntut ilmu pada guru dan buku, cinta seseorang pada cita-cita dan pekerjaannya.

Cinta adalah kekuatan yang mampu memberi dan berkorban. Cinta kepada Allah haruslah senantiasa dipupuk dan disiram dengan pengorbanan dan ketaatan. Tak lah bisa cinta itu sampai mampu menggugah hati dan menggelorakan jiwa jika ia hanya semata berhenti di ujung lidah.

Dalam hal kecintaan pada Rasulullah Saw. saya begitu tersentuh dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib Ra. ketika seseorang bertanya padanya, "Apakah engkau mencintai Rasulullah?" Dan sejauh manakah kecintaanmu itu?" Ali bin Abi Thalib Ra. menjawab, "Demi Allah, bagi saya Rasulullah lebih kami cintai daripada harta, anak dan ibu kami, bahkan lebih kami cintai daripada meminum air yang dingin ketika berada dalam kehausan."

Anas Ra. berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Tiga hal yang jika terdapat pada diri seorang muslim, maka dia akan mendapatkan kemanisan iman, yaitu: 1. Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi daripada segalanya; 2. Mencintai seseorang semata-mata karena Allah Swt.; 3. Benci untuk kembali menjadi kafir sebagaimana dia benci dilemparkan ke dalam neraka."

Cinta dalam rumah tangga pun haruslah selalu dipupuk dan dijaga. Perawatannya tidak hanya dilakukan oleh satu pihak; suami atau hanya istri, tapi harus dengan kerjasama yang solid antara dua belah pihak. Saling membantu menyirami dan memberikan perawatan yang istimewa agar bunga-bunga cinta yang tumbuh di kebun hati selalu subur dan bermekaran.

Itulah amunisi hidup dalam keluarga; adanya cinta tulus yang selalu dirawat dan dijaga. Ia adalah ruh kehidupan suami istri. Namun bila cinta dibiarkan layu bahkan ia sampai mati, maka rumah tangga tak lagi menjadi taman yang dipenuhi cerita indah, bahkan ia akan menjadi semak belukar yang berisi binatang yang merusak dan hama.

Merawat cinta lebih kurang seperti merawat se-ikat kangkung. Ia tidak boleh dibiarkan saja, tapi haruslah selalu disiram dengan air, jika tidak, ia akan semakin layu dan tak lagi memiliki daya tarik dan daya pikat. Sama halnya dengan cinta, jika ia tak pernah disirami dengan perhatian tulus, perawatan yang rutin, kasih sayang, pengorbanan waktu dan tenaga, ia juga akan sulit bertahan lama, ia akan cepat layu dan bahkan mati.

Sejenak kita perlu merenung, menanyai diri kita, bagaimana cinta kita selama ini pada Allah, Rasul dan agama ini? Adakah ia selalu kita rawat dan kita memberi perhatian khusus? Ataukah kita lebih sering cuek dan tidak peduli? Kita lebih sering mengurus urusan sendiri dan lupa untuk memberi perhatian terhadap cinta pada Allah?

Adakah hati ini bergetar ketika disebutkan nama Allah? Adakah iman ini bertambah disaat dibacakan kepada kita ayat-ayat Allah? Adakah diri ini beranjak dan meninggalkan pekerjaan apabila azan telah berkumandang? Adakah hati tersentuh dengan ayat-ayat azab yang dibaca? Adakah pikiran singgah di akhirat, merenungi nasib kelak? Adakah keinginan yang sungguh-sungguh untuk meninggalkan dosa dan maksiat? Adakah kerinduan yang meluap-luap untuk bertemu dengan Allah?

Lalu, adakah kita menjadikan Rasulullah sebagai qudwah dalam kehidupan kita? Menjalani hidup sesuai dengan manhaj beliau? Merasa mulia dengan mengikuti sunnah beliau? Dan adakah hati ini merasakan amarah disaat sunah dan ajaran beliau dilecehkan? Serta adakah kita memiliki ghirah yang tinggi terhadap agama ini? Agar ia tersebar ke seluruh penjuru alam. Agar manusia terselamatkan dari api neraka?

Atau barangkali cinta di dalam hati kita tanpa kita sadari telah lama layu dan bahkan mati. Sehingga kita tak lagi dapat merasakan getarannya, tak lagi bisa mencicipi kenikmatannya, tak lagi mau berkorban untuknya. Atau barangkali kebun hati kita tak lagi memiliki tempat untuk cinta pada Allah, Rasul dan agama, karena ia telah dikuasai oleh cinta-cinta yang lain, yang fana dan sementara?

[email protected]