Katakanlah Walaupun Pahit

‘’Dodi… ayo sini, ini bi Ema belikan kertas gambar, pensil dan buku gambar kosong. Bibi lihat kamu pandai menggambar, juga senang mengambar apa saja, sekarang kembangkan kreativitas kamu dengan menggambar dari contoh yang sudah ada polanya,” ucap bi Ema panjang lebar kepada Dodi disaat ada kesempatan bagi Dodi untuk menginap dirumah bi Ema.

Sampai saat ini bi Ema tidak mempunyai anak. Adik bungsu dari ibunya Dodi ini adalah seorang guru yang sudah 20 tahun menjadi guru SD. Wajahnya selalu ceria, garis senyum di bibirnya begitu membekas dihati siapa saja, yang berjumpa dengannya. “Ini juga boleh untukmu, ya Fitri,” sapa bi Ema kepada adiknya Dodi yang nampak hanya diam termangu menerima kertas yang masih polos berwarna putih. ”Untuk menggambar apa saja yang kamu sukai, kamu boleh pinjam peralatan tulis ka dodi yang bi Ema belikan,” terang bi Ema pada Fitri.

Sejenak suasana sepi memenuhi ruang keluarga bi Ema dimana ruangan itu terdapat televisi yang didepannya terhampar karpet yang agak keras, sehingga membuat Fitri dan Dodi, dua kakak beradik yang baru berusia 6 dan 4 tahun asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Tak lama, bi Ema keluar dari dapur dan menghampiri mereka sambil membawa sepiring donat coklat, hasil olahan tangannya sendiri. Bi Ema memang ibu rumah tangga yang sangat trampil. Bi Ema juga membuatkan Fitri dan Dodi dua gelas air jeruk dingin. Tak sabar Fitri dan Dodi langsung meraih donat dari piring, sampai bi Ema mengingatkan mereka berdua untuk cuci tangan terlebih dahulu, setelah tangan anak-anak belepotan penuh dengan corat-coret spidol dan krayon. Dodi dan Fitri kemudian meletakkan kertas gambar mereka dan bergegas mengikuti perintah bi Ema untuk cuci tangan lalu duduk tenang makan donat.

Sepeninggal anak-anak, bi Ema melihat-lihat kertas gambar yang anak-anak buat. Subhanallah bi Ema terperangah, melihat gambar Fitri yang sudah begitu nampak keindahannya dengan warna-warnanya yang begitu jelas keluar. Bi Ema berpendapat bahwa gambarnya Fitri, gadis kecil berusia 4 tahun ini mempunyai bakat dan hasil gambarnya sangat layak untuk diikutkan dalam lomba. Sementara itu hasil gambarnya Dodi, kakaknya yang berusia lebih besar, ternyata hanya berupa coretan-coretan saja dengan pensil tanpa ada pewarnaan yang jelas, sehingga terkesan bahwa Dodi begitu ingin menggambar namun tidak tahu harus mulai dari mana.

“Wah Dodi, bagus sekali cara kamu menggambar, memang kamu ingin buat gambar apa sayang..? nanti coba tunjukkan pada ayah dan ibu yaa kalau sudah pulang nanti,” puji bi Ema kepada Dodi, sementara bi Ema hanya tersenyum manis pada fitri. Dengan maksud agar tidak mengecewakan perasaan Dodi, maka bi Ema memuji Dodi dan tersenyum manis pada Fitri, karena pikir bi Ema, Dodi sebagai kakak harus tetap dipuji bisa ini dan itu, sementara adiknya sebaiknya mengalah walaupun sebenarnya terbukti hasil karya Fitri lebih baik dari hasil karya Dodi. Bi Ema sebagai bibi yang baik, tidak ingin menjatuhkan perasaan sang kakak di depan adiknya, hanya saja caranya yang kurang tepat dengan memuji Dodi berlebihan sehingga membuat Dodi tidak tahu bahwa gambarnya sebetulnya kurang bagus. Sementara itu Fitri yang sebenarnya memiliki gambar lebih bagus, hanya disenyuminya saja, yang sebenarnya dapat mengakibatkan Fitri tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki potensi yang besar dalam menggambar.

Alangkah baiknya bila bi Ema mengatakan yang sesungguhnya, namun dengan cara yang tidak menjatuhkan perasaan Dodi dan juga dengan tidak membanding-bandingkan dengan adiknya. Memang sudah wajar bagi anak yang telah berbuat bagus, kita wajib memberi pujian, agar mereka tahu bahwa yang mereka lakukan sudah baik. Katakanlah hal apapun yang sesungguhnya walaupun pahit, dengan cara yang hikmah.

Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. (QS. 23 : 96)