Jangan Bohong

bohong“Mari nak, mari ke sini, ibu beri ini…” Seorang ibu memanggil anak balitanya yang sedang mengganggu sang ayah yang sedang membetulkan ban mobil. Sesungguhnya sang ibu tidak bermaksud memberikan apapun kepada anaknya saat itu, hanya karena si anak sering diberikan mainan atau makanan kecil oleh ibunya, ia segera berlari mendatangi ibunya.

Berbohong seperti ini tampaknya biasa saja. Tokh tujuan sang ibu adalah supaya si anak tidak mengganggu ayahnya yang sedang membetulkan ban mobil.

Seorang pengasuh anak berdiri di pinggir jalan dan tampak kewalahan mendiamkan asuhannya yang menangis minta susu. Saat itu ia (si pengasuh) sedang asyik ngobrol dengan pengasuh anak tetangga, maklum mereka sekampung. Ia enggan pulang untuk membuat susu karena itu berarti akan sulit lagi untuk cari alasan main ke luar rumah.

Maka iapun berkiat :” Heh heh, liat tuh, ada meong, puss..puss, eh lucunya meong kuning…” Maka si kecilpun segera berhenti menangis dan mencari-cari mana kucing yang dimaksud. Tapi kucingnya memang tidak ada, si pengasuh hanya bermaksud mengalihkan perhatian si kecil dari keinginan minta susu.

Bohong seperti di atas sepertinya bukan masalah besar bagi si pengasuh maupun ibu tadi, namun di dalam kacamata Pendidikan Anak Dalam Islam merupakan masalah besar. Nabi SAW berkata: ”Seseorang terbiasa berbohong hingga ia dicatat sebagai pendusta (kadzdzaab)”. Dalam terminologi Akhlaq Islam, pendusta bersifat nifaq dan orangnya disebut Munafiq. Munafiq pasti masuk neraka. Bukan masalah kecil.

Anak dilahirkan fitrah, murni. Ia tidak lahir dengan berprasangka bahwa pengasuh maupun ibunya atau siapapun akan berkata bohong. Ia semula bahkan tidak mengerti apa makna bohong. Ia menyangka kucing yang dikatakan pengasuhnya benar-benar ada. Harapan yang murni. Masih agak lama lagi setelah dibohongi berkali-kali barulah si kecil tahu bahwa pengasuhnya suka berbohong. Akibatnya bisa fatal.

Pengasuh maupun pendidik lain misalnya ibu atau ayah yang sudah diketahui oleh anak sering berbohong padanya tidak akan dipercaya lagi oleh anak. Kerugiannya jelas, anak menjadi sulit dikendalikan oleh pendidiknya yang suka berbohong ini.

Lebih lanjut, tidak jarang pendidik pembohong ini terpaksa melakukan tindakan ”penyuapan” (membujuk dengan sogokan / bribary), dan makin lama sogokannya harus semakin tinggi, dari sebutir permen menjadi sebatang coklat sampai sekotak coklat. Harga yang mahal, bukan harga coklatnya, namun kerugian pendidikan yang terjadi.

Pertama: si anak menjadi hilang kepercayaan terhadap otoritas pendidik yang ada. Dan jika ia tidak memiliki figur yang jujur di sekelilingnya maka ia akan menjadi anak yang menyangka kebohongan merupakan aturan main dalam hidup. Kebohongan merupakan keharusan. Jika pendidik sudah tidak dipercaya oleh anak didiknya, maka sendi-sendi pendidikan pada hakekatnya sudah hancur.

Kedua: didorong fitrahnya yang semula percaya menjadi tidak percaya, ia menuntut pendidik pembohong tersebut memberikan sesuatu untuk membuat ia mau percaya. Maka ia mulai berkembang menjadi pemeras. Dan makin lama harga sogokannya menjadi semakin tinggi, jadilah ia pemalak, jika ia ingin sesuatu ia akan berulah untuk memaksa pendidiknya memberikan apa yang ia mau. Dan karena didorong rasa bersalah serta ingin kemauan atau arahannya dituruti anak didiknya, si pendidikpun mulai menjadi korban pemerasan.

Ketiga: Sadar atau tidak, pendidik yang suka berbohong terhadap anak didiknya telah mengajarkan pada mereka sebuah hukum bahwa otoritas yang lebih tinggi boleh berbohong terhadap yang sub ordinat (yang di bawahnya). Terutama karena dalam penerapan pendidikan tidak ada pendidik yang mau dibohongi anak didiknya, meskipun si pendidik sendiri sering membohongi anak didik. Siklus ini akan terus berlanjut hingga ke bangku sekolah.

Guru sebagai pendidik juga tidak jarang berbohong pada anak didik. Mereka mengajarkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila bahwa seseorang harus jujur dan tidak korupsi, namun tidak jarang para guru melakukan korupsi waktu dan pungli dalam prakteknya di sekolah. Datang terlambat sementara sang guru akan menghukum anak yang terlambat. Pungutan biaya pendidikan mulai buku paket hingga fotokopi materi. Anak didikpun tidak jarang dengan mudah dapat mengamati kehidupan pribadi sang guru yang tidak patut menjadi teladan.

Apa kesimpulan yang bisa kita lihat dari fenomena ini? Apa benang merah yang bisa ditarik dari peristiwa-peristiwa kecil di sekitar kita yang seolah terjadi tanpa kritik? Apakah kita jarang (atau sering?) mendapati orangtua maupun pengasuh membohongi anak batita? Atau balita? Apakah kita sendiri tidak menganggap ini masalah?

Banyak keluhan masyarakat tentang para politisi yang sering mengumbar janji kampanye yang muluk-muluk dan menarik hati rakyat pemilih dengan poster-poster yang amat ”pe-de” : Jujur-amanah-memperjuangkan aspirasi rakyat dan sebagainya.

Syahdan ketika sudah duduk di kursi empuk hal itu sama sekali tak terlihat. Rakyat tetap tidak tersalurkan aspirasinya untuk mendapatkan sembako murah atau daerah bebas banjir, sementara para politisi tersebut dibelakang hari diseret ke meja hijau dengan tuduhan korupsi berbagai cara. Sejak kapan para politisi belajar bohong? Sejak jadi pejabat? Sejak bangku sekolah? Sebenarnya belajar bohong itu sudah sejak mereka dibohongi pendidiknya di masa bawah lima tahun.

Di jalanan, sejumlah preman di giring ke balik jeruji besi. Aksi mereka meresahkan masyarakat. Polisi sibuk menangani mereka dan masyarakat selalu terganggu dengan ulah mereka. Pemerasan, perampokan dan berbagai kejahatan lain seolah sudah tak mungkin dihapus dari sudut-sudut kota.

Mengapa selalu ada saja kaderisasi penjahat, pemalak, pemeras? Tahukan anda bahwa sekarang anak usia sekolah dasar-pun ada yang sudah mampu berpenghasilan dari memeras kawan sekolahnya? Pernahkah anak anda menjadi korban ”geng” sekolah? Dari mana para pemeras jalanan belajar memalak? Sejak masa sekolah? Bukan! Mereka belajar memeras sejak mereka masih dalam buaian pendidik mereka yang suka membohongi.

Siklus yang berbahaya, seolah lingkaran setan yang mengurung anak didik dalam kehidupannya. Lalu, adakah yang heran mengapa kita masih sering mengalami kehidupan yang tidak berkah?