Perjodohan Anak Dan Perang Pemikiran

menikahBelum lama ini ada berita, seorang wanita muda keturunan Bangladesh ”berhasil” dibebaskan dari ”tahanan” orangtuanya di Bangladesh dan kini kembali ke Inggris, negeri yang ia (wanita tersebut) menyebutnya sebagai ”home”.

Humayra Abedin, seorang dokter yang sedang belajar di Inggris, ditahan orangtuanya di rumah dan rumahsakit jiwa karena akan dipaksa menikah di Bangladesh. Orangtuanya memanggilnya pulang dari Inggris dengan dalih ibunya sakit keras, padahal maksud sebenarnya adalah tidak setuju dengan hubungan Humayra dengan seorang Hindu. Dan orangtuanya ingin menikahkan sang dokter (dengan paksa) di Bangladesh.

Tindakan pembebasan ini dimungkinkan oleh sebuah undang-undang Forced Marriage Act yang baru saja bulan lalu diberlakukan di Inggris untuk mencegah pernikahan paksa bagi penduduk Inggris Raya. Meskipun dokter Humayra bukan warga negara Inggris, ternyata Pengadilan Inggris mampu mempengaruhi pengadilan Bangladesh untuk memaksa orangtua dokter Humayra membawanya ke pengadilan dan kemudian menjemputnya dengan paksa dari tangan kedua orangtuanya di negerinya sendiri untuk dibawa ke Inggris.

Sungguh hebat makar dunia Barat saat ini atas dunia Islam sampai-sampai sebuah negara harus rela menyerahkan warga negaranya dari negerinya sendiri untuk dibawa ke negara Barat dengan alasan ”untuk dilindungi”. Alangkah malangnya Bangladesh yang membiarkan kedaulatannya dilecehkan dan mengalahkan kepentingan warga negaranya yang lain (yaitu kedua orangtua Humayra) untuk memuaskan syahwat negara Barat, padahal kedua orangtua Humayra bermaksud menegakkan syari’at Islam dengan tidak mengizinkan anaknya terus menjalin hubungan dengan boyfriend-nya yang Hindu.

Pers Barat merilis masalah ini dari sisi ”kebebasan untuk menentukan pilihan” bagi seorang anak. Pers Barat mengecam tindakan orangtua Humayra yang mengekang kebebasannya dan berencana menikahkan wanita ini dengan orang lain di Bangladesh.

Kasus yang menarik, dengan tidak bermaksud mencampuri urusan dokter Humayra Abedin tersebut, cobalah kita lihat dari sisi lain.

Beberapa waktu yang lalu juga ada berita di media elektronik Barat tentang keberhasilan seorang anak perempuan di bawah umur untuk mendapatkan ”Khulu” atau gugat cerai dari suaminya karena ia sebenarnya tidak setuju dinikahkan dengan orang yang dipilihkan orangtuanya alias ia sebenarnya menikah karena dipaksa oleh orangtuanya. Kejadian ini terjadi di Yaman dan konon ada LSM asing yang terlibat membantu gugat cerai si anak dan sempat menarik perhatian mantan firstlady Amerika yaitu Hillary Clinton.

Di tanah air seorang Ustadz Puji sempat menjadi berita karena menikahi anak di bawah umur.

Sisi yang penting diamati di sini adalah: Apakah orangtua memang bersalah jika mengatur perjodohan anaknya? Apakah orangtua bersalah jika tidak setuju anaknya menikah dengan bukan muslim dan lebih memilih mencarikan jodoh lain bagi anaknya? Betapapun sang anak sudah dewasa dan sudah berpendidikan tinggi? Apakah orangtua bersalah jika menikahkan anaknya sejak masih di bawah umur?

Jika saja dalam kacamata syari’at Islam semua hal di atas dinilai ”salah”, maka jelaslah syariat Islam akan mengharamkan hal tersebut dan dokter Humayra boleh-boleh saja ber-e-mail dengan kawan-kawannya di Inggris untuk minta tolong dibebaskan dan kemudian Pengadilan Inggris berhak menuntut pembebasan dokter ini dari orangtuanya.

Dipaksa menikah memang tidak sesuai dengan syariat Islam. Seorang anak gadis berhak menerima atau menolak calon yang diajukan orangtuanya, namun anak-pun tidak boleh memaksakan kehendak dan kemudian memilih jodoh yang bahkan bukan muslim. Bukankah seorang anak gadis dinikahkan oleh walinya yaitu orangtua?

Berita-berita atau peristiwa-peristiwa di atas selalu dikaitkan dengan satu isyu yang sering membuat geram umat Islam: Human Rights/ Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia (HAM) seolah sebuah undang-undang yang dapat menyebabkan orangtua boleh kehilangan hak asuh terhadap anaknya, boleh kehilangan hak untuk mengatur perjodohan anak dan sebagainya. Bahkan membolehkan seseorang menikah dengan jodoh pilihannya sendiri, meskipun beda agama. Dengan kata lain, HAM dianggap lebih tinggi dari hukum Islam meskipun terhadap ummat Islam sendiri.

Begitulah realita dunia kita saat ini, khususnya dunia pemberitaan. Dominasi media Barat yang dikendalikan oleh jaringan musuh-musuh Islam, selalu saja mengangkat berita dan peristiwa yang sengaja untuk memenangkan Perang Pemikiran (Ghazwul Fikry) yang mereka lakukan.

Tujuan mereka sederhana: menghancurkan sendi-sendi Islam satu persatu, dan Syari’at Islam termasuk yang utama dihancurkan.

Di lain pihak, ummat Islam sendiri sudah mengalami begitu banyak pelarutan dan percampuran nilai dengan berbagai budaya setempat sehingga syari’at Islam-pun tercemar oleh nilai-nilai budaya jahiliyah yang tidak fitri, tidak sesuai dengan nilai dari Allah SWT.

Contoh tentang dokter Humayra Abedin yang berasal dari budaya Hindi, di dalam budaya Hindi lama yang Hindu bahkan wanita dianggap sebagai barang milik yang jika suaminya meninggal seharusnya ikut setia mati dibakar saat kremasi suaminya. Pemaksaan dalam perjodohan anak perempuan merupakan keharusan dalam budaya hindi lama. Rupanya ketika Islam masuk ke tanah India (sekarang India, Pakistan, Bangladesh, Kashmir) budaya Hindi masih mewarnai adat istiadat yang dipraktekkan masyarakat yang sudah masuk Islam.

Perang Pemikiran (ghazwul fikry) amat gencar dilakukan para musuh Islam dalam bidang pendidikan anak yang termasuk dalam bidang pembahasan keluarga. Apalagi jika dalam budaya setempat ternyata ada celah-celah jahiliyah yang memang masih tersisa dari budaya lama, maka dari situlah terbuka celah sasaran empuk untuk memerangi syari’at Islamisecara keseluruhan.

Para ibu, para ayah, para pendidik lain seharusnya sadar ancaman penyerangan ini dan oleh karenanya waspada dan siaga menghadapinya.

Realita ummat Islam di seluruh bagian dunia saat ini adalah sebagai ummat yang bertahan atau defensif semata. Karena didera berbagai isyu terorisme yang tak henti-hentinya dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, kebanyakan ummat Islam sudah tak lagi punya waktu untuk waspada terhadap bentuk penyerangan lain yang secara diam-diam dan terang-terangan terus dilancarkan ke dalam rumah kita. Semoga saja semua ini akan segera berakhir. Amin. Wallahua’lam (SAN).