Cucunya Ash Shidiq, Didikkan Aisyah Ra, Kemuliaan Fuqaha yang Terwariskan

mimpi1“..kalau saja saya memiliki kewenangan, tentulah aku akan mengangkat Al Qasim  bin Muhammad sebagai khalifah..” (umar bin Abdul Azis)

Pernahkan anda mengetahui tentang Al Qasim bin Muhammad bin abu Bakar Ash-Shidiq ? Dia adalah salah satu dari tujuh Fuqaha Madinah yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya dan paling bagus sifat wara. Beliau lahir pada masa khilafah Utsman Bin Affan. Ayahanda beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash –Shidiq. Ibunya adalah putri Yazdajir dari raja Persia yang terakhir, sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah, Ummul Mukminin.

Seiring dengan tumbuh berkembangnya ,  badai fitnah sedang menimpa kaum muslimin saat itu. Hingga mengakibatkan terbunuhnya khalifah yang zuhud, ahli ibadah, Utsman bin Affan sebagai syuhada, sedangkan Mushaf Al Qur’an berada dalam dekapannya.

Tak lama setelah itu muncul sengketa besar antara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan bin harb, seorang gubernur untuk wilayah Syam.

Dalam  rangkaian keadaan genting dan peristiwa-peristiwa yang mencekam itu, anak ini bersama adik perempuannya dibawa dari Madinah ke Mesir menyusul kedua orang tuanya .  Ayahnya diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Di kota ini, dia pun harus menyaksikan cakar-cakar fitnah yang mencengkram  sampai akhirnya ayah beliau tewas dengan cara yang keji. Selanjutnya ia pulang lagi ke Madinah setelah kekuasaan dipegang oleh Mu’awiyah. Setibanya di madinah bibinya, Aisyah binti Abu Bakar, ummul Mukminin, mengutus seseorang untuk mengambil dia dan adiknya untuk dibawa kerumahnya dan dipelihara di bawah pengawasannya.

Al Qasim menuturkan kisahnya yang penuh keprihatinan itu , “ ternyata belum  pernah aku menjumpai seorang ibu dan ayah yang lebih besar kasih sayangnya daripada beliau (Aisyah ra). Beliau menyuapi kami dengan tangannya, sedang beliau tidak makan bersama kami. Bila tersisa makanan dari kami , barulah beliau memakannya. Beliau mengasihi kami seperti seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Beliau  yang memandikan kami, menyisiri rambut  kami , memberi pakaian yang putih bersih . Beliau senantiasa mendorong kami untuk berbuat baik dan melatih kami  dengan keteladanannya langsung. Beliau juga yang mengajar kami membaca Kitabullah dan meriwayatkan hadits-hadits yang bisa kami pahami. Di hari Raya bertambahlah kasih sayangnya kepada kami dengan memberi hadiah-hadiahnya untuk kami dan menyediakan daging Udhiyyah.

Suatu hari beliau memakaikan baju warna putih dan mendudukkan kami dipangkuannya . Paman Abdurrahnmaan kemudian datang atas undangannya. Lalu Bibi Aisyah mulai berkata dengan pujiannya kepada Allah SWT. Sungguh aku belum pernah sebelum dan sesudahnya baik laki-laki ataupun perempuan yang berkata kepada paman  : “ Wahai saudaraku,” Aku melihat sepertinya anda menjauh dari saya sejak saya mengambil dan mengasuh anak ini, demi Allah saya melakukannya bukan karena lancang kepada Anda dan bukan pula karena menaruh sangka buruk kepada Anda, Hanya saja anda memiliki istri lebih dari satu , sedangkan kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri. Maka saya khawatir keduanya dalam keadaan yang tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga saya merasa lebih berhak umtuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun sekarang keduanya telah beranjak dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepada Anda”.. Begitulah akhirnya paman Abdurrahman membawa kami ke rumahnya.

Kenangan kami akan bibi Aisyah masih terus melekat. Kami rindu pula kepada rumah nya , pada lantai rumahnya yang bercampur dengan kesejukan nubuwat. Lingkungan yang sejuk itu menghidupkan sanubari selama hayatnya. Sehingga ia sering membagi waktu antara rumah bibi dan pamannya. Kesan-kesannya sangat dalam seperti berikut ini : Suatu hari aku berkata kepada bibi Aisyah : “ Wahai Ibu tunjukkan kepadaku kubur Nabi Muhammad dan kedua sahabatnya, aku ingin sekali  melihatnya ..”Tiga kubur itu berada dalam rumahnya , ditutup dengan sesuatu untuk menghalangi pandangan.

Diperlihatkannya tiga buah makam yang tidak digundukkan dan tidak pula dicekungkan. Ketiganya ditaburi kerikikl merah seperti yang ditaburkan di halaman masjid. Saya bertanya” Yang mana makam Rasulullah?” Beliau menunjuk sambil menetes air mata di pipinya yang segera disekanya agar aku tidak melihatnya. Makam Nabi itu agak lebih menonjol tempatnya dibanding dua sahabatnya.

Saya bertanya lagi mana makam kakekku ? Sambil menunjuk satu kubur beliau berkata, ”yang ini” , kulihat makam kakekku sejajar dengan letak bahu Rasulullah “Yang ini makam Umar ?” beliau menjawab “ Benar”. Kulihat letak kepala Umar sejajar dengan jari-jari kakekku dengan segaris kaki  Nabi.

Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal seluruh juz Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya Aisyah r.a sebanyak yang dikehendaki Allah. Al Qasim yang sudah menjadi pemuda ini juga seingkali duduk di majelisnya Abu Hurairahh , Abdullah bin Umar , Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair , Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Kabab, Rafi’ bin Khudaij dan Aslam pembantu Umar Bin Khatab, dsb.

Hingga pada gilirannya ia kemudian menjadi manusia yang pandai dalam hal As Sunnah pada zamannya dimana ketika seeorang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah. Setelah sempurna perlengkapan ilmunya , orang-orang banyak belajar kepada cucu Abu Bakar ini. Sementara beliau memberikan ilmunya tanpa pamrih atau jual mahal. Beliau tak pernah absen untuk pergi ke Masjid Nabawi setiap hari lalu shalat dua rakaat kemudian duduk di bekas tempat Umar ra di Raudhah. Selanjutnya berkumpullah murid-muridnya dari segala penjuru untuk menimba ilmu dari sumbernya yang segar dan bersih , melegakan jiwa-jiwa yang haus akan ilmu.

Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya Al Qasim bin Muhammad dan putra bibinya Salim  bin Abdullah bin Umar, menjadi dua imam Madinah yang terpercaya, didengar tutur katanya dan ditaati kendati keduanya tidak memiliki wilayah kekuasaan  ataupun jabatan. Masyarakat mengangkat keduanya karena ilmunya, sikap wara’ dan takwanya dan karena sikap zuhudnya terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia dan hanya berharap terhadap apa-apa yang disisi Allah. Martabat keduanya mencapai puncaknya hingga khalifah-khalifah Bani Umayyah pun dan bawahannya hormat padanya. Penguasa-penguasa tersebut pun bahkan tidak pernah memutuskan masalah yang pelik kecuali setelah mendengarkan pendapat kedua fuqaha ini.

Sebagai contoh ketika Al Walid bin Mabdul Malik berkeinginan untuk memperluas Al Haram Nabawi yang mulia. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid yang lama pada keempat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi SAW untuk perluasan. Persoalan ini akan berpotensi menimbulkan konflik diantara kaum muslimin dan menyakiti perasaan mereka . Maka khalifah menulis surat kepada Umar bin Abdul Azis , wali Madinah.

Dengan segera Gubernur Madinah Umar bin Abdul Azis mengundang Al Qasim bin Muhammad dan Salim Bin Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata mereka gembira dengan apa yang direncanakan oleh Amirul Mukminin dan siap sedia mendukung rencana tersebut. Demi melihat imam-imam dan ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid, penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan sebagaimana yang dimohonkan dalam surat Amirul Mukminin kepada Gubernur Madinah untuk melibatkan keturunan Umar bin Khatab dan Abu Bakr membantu penyelesaian masalah ini. Bahkan bantuan Kaiasar Romawi yang menyumbang perluasan mesjid Nabawi dengan 100 kg emas murni pun diterima setelah Umar bin Abdul Azis bermusyawarah dengan Qasim bin Muhammad.

Alangkah miripnya Al Qasim dengan kakeknya Abu Bakar Ash Shidiq, sampai-sampai orang berkomentar, ” Tidak ada anak keturunan Abu Bakar yang lebih mirip dengan beliau daripada  Al Qasim , Dia begitu serupa dalam akhlak, bentuk fisik keteguhan iman dan kezuhudannya ..: sebagai contoh ketika ada orang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliau “ Siapakah yang lebih pandai , anda ataukah Salim bin Abdullah ?” Al Qasim berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya . Beliau menjawab”” Subhanallah”.

Begitupula ketika ada tuduhan bahwa beliau mengambil  jatah pembagian harta sedekah. Ada satu orang yang tidak puas dengan pembagiannya dan mendatangi beliau di masjid yang ketika itu beliau sedang sholat. Putra Al Qasim yang jengkel dan kemudian melakukan pembelaan kepada ayahnya berkata,” Demi Allah engkau telah melemparkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepersen pun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir kurma” . Setelah menyelesaikan shalatnya , Al Qasim berkata kepada putranya “ Wahai putraku, ..mulai hari ini janganlah engkau bicara tentang masalah yang tiada engkau ketahui…” Orang-orang berkata, apa yang dibela oleh anaknya adalah benar, namun Al Qasim ingin agar putranya menjaga lidah dalam mencampuri urusan orang lain. Al Qasim pun sebagai ulama besar adakalanya tak jarang  mengatakan, ”aku tidak tahu…aku tidak tahu..” . Ketika orang-orang bertanya kepadanya tentang sesuatu yang memang beliau belum nengetahui permasalahannya.

Al Qasim hidup sampai usia 72 tahun dan wafat dalam perjalanannya ketika menuju haji ke Mekah. Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat,beliau berpesan kepada putranya,” Bila aku mati , kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk shalat. Ghamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu , Abu Bakar Ash Shidiq. Kemudian ratakanlah makamku dan segera kembali kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata “ Dia dulu begini dan begitu…karena aku bukan apa-apa.” (LR/ Berbagai sumber)