Ketika Dunia dalam Genggaman Abdullah Ibnu Mubarak

ulama1Kalau saja semua ulama seperti Abdullah Ibnu Mubarak, maka orang akan menyaksikan sebuah sosok panutan yang mahir ‘memainkan’ hiasan dunia di bawah kendali imannya. Seperti itulah di antara keteladanan dari seorang ahli hadits yang berasal dari tanah Khurasan ini.

Jika musim haji tiba, ulama yang juga seorang pengusaha ini, mengajak kerabat-kerabatnya yang berada di desa Marwa (tempat kelahiran Ibnu Mubarak) untuk bersama-sama menunaikan haji. Ulama kelahiran 118 Hiriyah ini pun meminta mereka yang mau ikut untuk mengumpulkan harta perbekalan kepadanya. Setelah dipisah dalam kantong yang berbeda, semua perbekalan tersebut ia masukkan kedalam sebuah peti yang aman.

Setelah perjalanan jauh dari Khurasan yang sekarang berada di antara wilayah sekitar tanah Iran dan Afghanistan, tibalah mereka di Baghdad. Di tempat itu, Ibnu Mubarak menjamu semua yang ikut dengan hidangan yang lezat. Mereka pun diberikan beberapa busana yang bagus. Kegembiraan itulah yang mereka rasakan hingga tiba di Madinah.

Di kota Nabi itu, guru Fudhail bin Iyadh ini berkata kepada semua yang ikut, “Silakan pilih dan pesan semua barang-barang yang kalian butuhkan, biar nanti aku yang bayarkan!” Semua pun sibuk mencari dan memilih barang-barang yang akan mereka bawa untuk keperluan haji dan untuk mereka bawa pulang sebagai hadiah kepada keluarga di rumah.

Begitu pun setelah tiba di Mekkah. Seusai menyempurnakan semua ibadah haji, Ibnu Mubarak mengungkapkan kalimat yang hampir sama ketika tiba di Madinah. Dan, mereka pun mencari dan memilih barang-barang yang mereka khususkan untuk dibawa pulang.

Sepanjang perjalanan pergi dan pulang, Ibnu Mubarak selalu menjamu rombongan dengan makanan yang lezat agar mereka tetap sehat dan gembira. Dan mereka pun tiba di tanah Khurasan dengan selamat. Beberapa sanak keluarga yang menyambut pun begitu gembira dengan hadiah yang mereka bawa.

Tak seorang pun dari rombongan yang mengira kalau semua pembiayaan itu tidak diambil dari harta perbekalan yang telah mereka kumpulkan. Hal tersebut mereka sadari ketika tiba-tiba Ibnu Mubarak membuka peti perbekalan, dan mengembalikan semua bungkusan yang mereka setorkan ketika akan berangkat, tanpa ada kekurangan sedikit pun. Subhanallah!

Dalam sebuah medan jihad ketika kaum barisan mujahidin berhadapan dengan tentara Romawi, seorang pendekar musuh maju ke depan barisan. Ia berteriak-teriak menantang untuk duel. Badannya yang tinggi besar membuat barisan mujahidin agak lambat menyambut.

Dan seorang mujahidin pun maju kedepan untuk menjawab tantangan duel. Sayangnya, sang mujahid syahid. Begitu pun dengan mujahid kedua, ketiga, hingga orang kelima.

Tiba-tiba, maju dari barisan mujahid seseorang yang mengenakan penutup wajah. Dan ia pun melakukan duel dengan si penantang kafir ini. Tentara kafir itu pun tewas. Begitu pun dengan tentara berikutnya yang maju satu persatu, hingga lima orang. Semuanya ikut tewas.

Barisan mujahidin merasakan sebuah ketakjuban dengan sosok berpenutup wajah ini. Kalau saja tidak karena sabetan senjata musuh yang merobek sebagian penutup wajah itu, mereka tidak akan tahu kalau si pemberani itu adalah Abdullah Ibnu Mubarak. Sosok ulama yang menyibukkan kesehariannya dengan menuntut ilmu dan mengajarkannya di beberapa kawasan: Yaman, Mesir, Syam, Bashrah, dan Kufah.

Seorang murid beliau, Muhammad bin Ibrahim pernah didiktekan sebuah bait syair yang ditujukan kepada murid beliau yang berada di Mekkah, Fudhail bin Iyadh. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 170 Hijriyah.

Di antara isi syair itu adalah:

Wahai hamba Haramain, jika kamu melihat kami
Maka kamu akan mengetahui ibadahmu main-main
Orang yang membasahi pipinya dengan air mata
Maka kami menipu dengan darah kami agar kamu terpengaruh

Ketika surat yang berisi syair itu diterima Fudhail yang sedang berada di Masjidil Haram, ia pun membacanya dengan begitu serius. Fudhail tak kuasa menahan linangan air matanya. Ia pun berujar, “Abu Abdirrahman memang benar. Ia telah menasihatiku….”

Fudhail berkata, “Tulislah hadits berikut ini, sebagai balasan terhadap jerih payahmu yang telah membawa tulisan Abu Abdirrahman kepada kami.”

Dan, Fudhail pun mendiktekan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dia berkata, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu ibadah yang pahalanya bisa menyamai pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah.”

Rasulullah saw. menjawab, “Mampukah kamu menunaikan shalat kemudian tidak berbohong, mampukah kamu berpuasa dan tidak membatalkannya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tak sanggup untuk menjalankan itu semua.”

Kemudian, Nabi saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu mampu menjalani hal di atas, sungguh kamu tidak akan bisa menyamai keutamaan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, karena ketahuilah bahwa kuda yang dipakai untuk berjihad saja, maka akan ditulis dengan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama yang meninggal di usia 63 tahun pada 181 Hijriyah ini pernah memberikan begitu banyak nasihat berharga. Antara lain, “Siapa yang bakhil terhadap ilmu, maka dia akan dicoba dengan tiga perkara: kematian, lupa, atau mengikuti kemauan penguasa.” (mn/Min A’lam As-Salaf oleh Syaikh Ahmad Farid