Tobatnya Ummul Mukminin bin Abdul Aziz bin Marwan

Sejarah mengisahkan, sebuah cerita nyata, yang berasal dari Marwan bin Muhammad, Izzah teman wanita dari Katsir datang menemui Ummul Mukminin (ibu negara) binti Abdul Aziz bin Marwan, saudara wanita dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ummul Mukminin bertanya kepadanya, ‘Wahai Izzah, apa yang dimaksud dari ucapan Katsir’, tanya Ummul Mukminin.

‘Yang aku ketahui, setiap penghutang pasti membayar hutangnya kepada si pemberi hutang.
Dan, Izzah menarik kembali hutangnya dari ucapan Katsir’. ‘Hutang apakah yang dimaksud oleh Katsir dalam syairnya itu?’, tanya Ummul Mukminin.

Izzah menjawab, ‘Maafkan aku tak dapat menjawabnya’, jawabnya. Ummul Mukminin berkata, ‘Kamu harus memberitahukannya kepadaku’, tambah Ummul Mukminin. Izzah akhirnya menjelaskannya, ‘Aku telah menjanjikan ciuman kepadanya, kemudian dia datang kepadaku untuk melaksanakannya, namun aku menghindar darinya dan tidak memenuhi’, jawab Izzah.

Ummul Mukminin berkata, ‘ Penuhilah janji ciumanmu itu! Biar aku yang menanggung dosanya’. Tapi, setelah itu Ummul Mukminin, menyadari kesalahannya, berani menanggung dosa ciuman Izzah kepada Katsir. Kemudian, meminta ampun kepada Allah, dan memerdekan empat puluh orang budak sebagai tebusan dari ucapannya itu. Bila ingat ucapannya itu, Ummul Mukminin akan menangis sampai membasahi kerudungnya seraya berkata, ‘Seandainya saja lidahku ini kelu ketika aku mengucapkannya perkataan itu’, gumamnya.

Kemudian, Ummul Mukminin beribadah dengan sangat tekun sekali, sehingga dikenal pada masanya. Dia bangun beribadah sepanjang malam, dan meninggalkan peraduan kerajaan, dan setiap hari Jum’at, dia menunggang kuda (berjuang) di jalan Allah, dan dia mendatangi para wanita yang tekun beribadah agar dapat berkumpul dan berbincang-bincang dengan mereka. Ummul Mukminin berkata, ‘Aku suka cerita kalian’. Selain itu dia berkata, ‘Orang yang sangat kikir itu adalah orang yang kikir dengan surga terhadap dirinya sendiri. Dan, pula berkata, ‘Setiap orang pasti mempunyai keinginan akan sesuatu, sedangkan keinginanku adalah memberikan sesuatu.

Demi Allah, sesungguhnya pemberian dan saling menyambung tali silaturrahim dan persaudaraan di jalan Allah itu adalah lebih aku cintai dibandingkan makanan yang sangat lezat di waktu lapar, dan minuman yang dingin diwaktu dahaga. Mungkinkah kebaikan itu dapat diperoleh kecuali dengan berusaha untuk mewujudkannya?’.

Ummul Mukminin itu selalu bersikap dan berperilaku luhur, sampai wafatnya, dan tidak meninggalkan harta, hartanya habis disedekahkan kepada fakir miskin, dan wanita-wanita dhu’afa yang sholihah, yang selalu ikut mendampinginya. Wallahu ‘alam.