Memakmurkan Rakyat dengan Pasar, Bukan dengan Mencetak Uang Banyak-Banyak

ilustrasi uang kertas

Ini adalah cerita nyata dari negeri yang mengaku dirinya sebagai negeri adi kuasa. Al kisah hampir tiga tahun lalu negeri itu menjadi pemicu krisis keuangan global, yang dampaknya nyaris merambah ke seluruh dunia. Karena mereka mengira bahwa supply uang-lah yang bisa mengatasi krisis tersebut, maka banyak-banyak uang Dollar dicetak. Sejak krisis memuncak September 2008 hingga kini, konon bank sentral-nya negeri itu –Federal Reserve– telah ‘mencetak uang’ dari awang-awang sebanyak US$ 1.6 trilyun. Teratasikah krisis mereka dengan injeksi uang yang luar biasa banyaknya tersebut ?Ternyata tidak…!

Data resmi inflasi yang dikeluarkan pemerintah negeri itu setahun terakhir memang hanya 3.2 % (data per April 2011), tetapi banyak pihak di negeri itu sendiri yang meragukan kebenarannya—di antaranya adalah Shadow Government Statistics yang mengklaim inflasi sesungguhnya bisa lebih dari dua kalinya.

Menurut saya sendiri pengukuran inflasi yang paling akurat adalah dengan menggunakan indikator harga emas —karena adanya bukti yang sahih bahwa daya beli emas (yang direpresentasikan oleh Dinar) adalah stabil sejak jaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam— yaitu satu Dinar untuk satu ekor kambing kelas baik.

Dengan menggunakan indikator kenaikan harga emas, kita tahu bahwa sejak krisis memuncak September 2008 dan pemerintah negeri itu mulai mencetak uang dengan skala besar, harga emas telah melonjak lebih dari dua kalinya dari kisaran US$ 750/Oz ke angka diatas US$ 1,500/Oz hari-hari ini.

Apa ini artinya ? bila Anda hidup di negeri tersebut dengan uang Dollar-nya dan penghasilan Anda dalam Dollar tidak bisa naik dua kalinya atau lebih selama tiga tahun terakhir—maka Anda akan merasakan penurunan kemakmuran. Bentuknya adalah barang-barang kebutuhan Anda menjadi lebih berat untuk Anda beli.

Pemerintah negeri itu yang menggunakan teori Keynesian —yaitu teorinya John Maynard Keynes (1936) bahwa negaralah yang paling efektif dalam mempengaruhi siklus ekonomi— yang kemudian diaplikasikan dengan tindakan bank sentral mengendalikan jumlah uang dan kebijakan fiskal pemerintah—ternyata gagal dalam mengatasi krisis, yang berarti juga gagal dalam mempertahankan kemakmuran rakyatnya.

Di dunia barat sendiri sebenarnya pendekatan Keynesian ini tidak sedikit yang menentangnya. Adalah Frederich August Von Hayek —pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 1974— yang juga pendukung teori Austrian, yang antara lain menjadi penentang utamanya.

Dalam bukunya yang kondang “Denationalisation of Money : The Argument Refined” (The Institute of Economic Affairs, London–1990) , Hayek bahkan menuduh bahwa kebijakan moneter bank sentral lebih merupakan penyebab terjadinya depresi di suatu negara ketimbang menyembuhkannya. Lebih jauh dalam teori Austrian ini, pemerintah atau bank sentral tidak seharusnya ‘mencetak uang’ atau setidaknya tidak menjadi satu-satunya pihak yang mencetak uang.

Uang bisa saja dikeluarkan oleh pihak manapun (termasuk swasta) —yang akan digunakan dan dipercayai masyarakat sejauh daya belinya bisa dijaga konstant terhadap sekumpulan barang-barang yang dibutuhkan di masyarakat tersebut. Sebaliknya juga demikian, uang yang dikeluarkan oleh bank sentral atau oleh pemerintah sekalipun— bila daya belinya tidak bisa dijaga —maka dengan sendirinya akan ditinggalkan masyarakat. Pendapat ini juga diamini oleh penulis kondang yang dianggap ‘dewa’-nya ekonom futuristis barat— yang konon prediksi ekonominya terbukti benar dalam dua dasawarsa terakhir—John Naisbitt dalam bukunya Mind Set ! (2006).

Masih segar diingatan kita peristiwa krisis moneter 1997/1998 di Indonesia, ketika warga negeri ini yang kaya rame-rame memindahkan uangnya dari Rupiah ke Dollar atau mata uang asing lainnya karena Rupiah yang daya belinya anjlog tinggal ¼-nya selama krisis kala itu. Hal yang sama terjadi di negeri-negeri ekonomi kuat dunia saat ini yang mulai meninggalkan Dollar atau setidaknya mengurangi ketergantungannya terhadap Dollar —karena meskipun Dollar adalah uang resmi yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dari negeri adi kuasa— kenyataan menunjukkan bahwa daya belinya terus merosot.

Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap uang resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah, apa yang mereka lakukan ? Selain menukarnya dengan mata uang lain , masyarakat juga ‘mengaman’-kan uangnya dalam bentuk benda-benda riil seperri rumah, mobil, sawah, kebon dan lain sebagainya.

Tetapi rumah, mobil dan sejenisnya bukanlah komoditi yang mudah dipertukarkan, maka dia tidak menjadi uang yang sesungguhnya. Uang yang sesungguhnya adalah komoditi yang liquid —mudah dipertukarkan dan nilainya terbentuk oleh mekanisme pasar sempurna— tidak diintervensi oleh siapapun.

Maka dalam Islam, referensi yang sahih untuk uang adalah hadits riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”.

Pertanyaan berikutnya adalah di mana barang-barang tersebut dengan mudah dipertukarkan atau diperjual belikan ? Ya tentunya di pasar ! Maka mungkin inilah pelajarannya, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendirikan pasar sedari dini terbentuknya negara Madinah —karena melalui pasar-pasar inilah umat atau rakyat saling memenuhi kebutuhan hidupnya— saling memakmurkan.

Pelajaran berharga ini hendaknya yang perlu menjadi prioritas para pemimpin yang ingin memakmurkan rakyatnya, tidak perlu terlau banyak meributkan ‘pencetakan’ uang —tetapi kerja keraslah untuk memutar barang di pasar-pasar !— Insyaallah rakyat akan bisa lebih cepat makmur. Wa Allahu A’lam.