Ajaran Sesat Dalam Aliran Teologi Islam (bagian IV – habis)

PERANAN ULAMA DALAM MEMBENDUNG AJARAN SESAT
Semenjak munculnya pandangan-pandangan sesat dikalangan umat Islam khususnya di akhir masa sahabat, para ulama menghadapi mereka dengan berbagai cara, demi menepis kesesatan yang ditimbulkan oleh sebagian golongan teologi Islam. Golongan syi’ah yang dikenal sebagai pengikut setia imam Ali, semenjak dini sudah dibantah sendiri oleh imam Ali terhadap asumsi-asumsi yang berlawanan dengan agama dan dilekatkan oleh pengikutnya.

Sebagai contoh, imam Ali membantah dirinya sebagai orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa dan noda), hal ini terlihat dari pengakuannya atas dosa-dosa yang dilakukan dan memohon keampunan dari Allah Swt[1].

Bahkan dalam dua buah kitab mu’tabarah syi’ah ”al-Kafi” dan ”Bihar al-Anwar”, Ali nyata-nyata mengatakan bahwa dirinya tidak aman dari berbuat kesalahan[2], teksnya sebagai berikut:

"إِنِّي لَسْتُ فِي نَفْسِي بِفَوْقَ أَنْ أُخْطِئَ وَلاَ آمِنُ ذَلِكَ مِنْ فِعْلِيْ"

Begitu halnya dengan golongan Qadariyah. Ulama ketika itu beramai-ramai membantah pandangan-pandangan mereka dan menegaskan apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw: Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, Rasulullah saw bersabda: "setiap ummat ada majusinya. Dan majusi ummatku adalah yang mengatakan bahwasanya tidak ada takdir. Jika mereka sakit janganlah menjenguknya, dan jika mereka mati jangan kalian saksikan jenazahnya," (Riwayat Ahmad dan Abi Daud).

Dalam riwayat lain dan dengan nada yang sama disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Qadariyah adalah majusi ummat ini. Jika mereka ditimpa sakit, maka janganlah menjenguknya, dan jika mereka mati jangan kalian saksikan jenazahnya," (Riwayat al-Hakim).

Penyamaan antara Qadariyah dengan pengikut agama Majusi, dilatarbelakangi oleh asumsi penganut agama Majusi bahwa takdir Allah swt hanya terbatas kepada kebaikan saja, sedangkan hal kejahatan diluar daripada takdir Allah swt sehingga pelaku kejahatan adalah bentuk wujud dari pada setan pertama yang mereka namakan “Ahriman”.

Dalam hal ini imam Ibnu Abi ‘Izz al-Hanafi menyikapi Qadariyah dengan mengatakan: ”penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata. Bahkan keyakinan mereka lebih buruk dari majusi. Karena majusi meyakini adanya dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini adanya banyak pencipta”[3].

Imam al-Gazhali (W 505 H) salah satu ulama Islam yang produktif di dunia Islam tidak ketinggalan dalam membela aqidah umat. Tidak sedikit peranan beliau dalam membatah segala bentuk kesesatan yang mencuat di zamannya, seperti bantahan beliau terhadap kesesatan syi’ah Bathiniyah. Beliau sengaja menyiapkan sebuah buku monumental untuk menanggapi dan menyingkap kekeliruan pandangan syi’ah Bathiniyah, buku tersebut dinamakan: ”Fadha`ih al-Bathiniyah”.

Meskipun buku ini dibantah kembali oleh salah seorang ulama syi’ah Bathiniyah yaitu, ad-Da’ Ali Ibnu al-Walid (W 612 H) dalam kitabnya: ”Damighul Batil wa Hatfu al-Munadhil”.

Namun sayangnya imam Ghazali tidak sempat menyentuh dan membaca isi bantahan tersebut karena kitab tersebut diterbitkan setelah beliau wafat. Selain itu buku beliau ”Tahafut al-Falasifah”, dikarang untuk meluruskan kesesatan para filosof Islam, khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina.

Di samping itu, imam Ibnu Taimiyah (W 728 H) tidak kalah produktif dengan imam Ghazali, sebab beliau aktif menulis bantahan terhadap aliran-aliran pemikiran yang mengandung unsur kesesatan ketika itu, melalui kitabnya yang populer ”Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah Fi ar-Rad al-Qadariyah wa as-Syi’ah”, dari judul kitab tersebut sangat nampak jelas ditujukan kepada aliran Qadariyah dan Syi’ah.

Dan untuk bantahan beliau terhadap golongan dan sekte lain dicatat dalam kitabnya ”Dar`u Ta’arud al-Aqal wa an-Naql”. Dan kitab tersebut disosialisasikan oleh Prof Jalayand (pembimbing desertasi penulis) melalui program pendekatan turats ”Taqrib at-Turats”, dan beliau simpulkan pandangan Ibnu Taimiyah yang terurai dalam 11 jilid kitab kepada satu jilid kitab.

Sebelum datangnya imam Ghazali dan Imam Ibnu Taimiyah, telah muncul beberapa kitab-kitab karya ulama yang mengkritik ajaran-ajaran sesat yang berkembang pada masanya, yaitu:

  • Abu ’Ubaib (w 224), dengan kitab al-Iman.
  • Ahmad Ibnu Hanbal (w 241), dengan kitab ar-Rad Ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyah.
  • Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w 256), dengan kitab ar-rad Ala al-Jahmiyah.
  • Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Qutaibah (w 276), dengan kitab al-Ikhtilaf fi al-Lafdz wa ar-Rad Ala al-Jahmiyah wa al-Musyabbihah.
  • Al-Lalikaa’i (w 418), dengan kitab Syarh I’tiqad Ahli Sunnah.
  • Al-Ajiry (w 360), dengan kitab as-Sya’at.
  • Ibnu Khuzaimah (w 418), dengan kitab at-Tauhid.

Selesai.

DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
BA (AL-AZHAR). M.PHIL & PH.D (CAIRO)
Senior Lecturer Department of Islamic Theology & Religion
ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA

Catatan:

[1] Lihat: Nahju al-Balaghah, 1/127, 436, 437. Teks ucapan Ali sebagai berikut:
-" اللهم اغفرلي ما أنت أعلم به مني ، فإن عدت فعد علىّ بالمغفرة ، اللهم اغفرلي ما رأيت من نفسي ولم تجد وفاء عندي ، اللهم اغفرلي ما تقربت به إليك بلساني ثم خالفه قلبي ، اللهم اغفرلي رمزات الألحاظ ، وسقطات الألفاظ ، وسهوات الجنان ، وهفوات اللسان ". نهج البلاغة، 1/127.
– " فلا تكفوا عن مقالة بحق ، أو مشُورة بعدل ، فإني لست في نفسي بفوق أن أُخطئ ، ولا آمَن ذلك من فعلي ، إلا أن يكفي الله من نفسي ما هو أملك به منّي ، فإنما أنا وأنتم عبيد مملوكون لربّ لا ربّ غيره ، يملك منّا ما لا نملك من أنفسنا ، وأخرجنا ممّا كنّا فيه إلى ما صلحَنا عليه ، فأبدلنا بعد الضلالة بالهدى ، وأعطانا البصيرة بعد العمي ". نهج البلاغة، 1/436-437.

[2] Al-Kulayni, Raudha al-Kafi, hal: 292-293. al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 7/555.

[3] Ibnu Abi al-‘Iz al-Hanafi, kitab Syarh al-Aqidah ath-Thahaawiyah, hal:524