Jaringan ‘Islam’ Liberal dalam Pandangan Islam

jilIslam adalah agama tauhid dan ajaran kepatuhan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada umat manusia. Islam secara khusus bermakna keberserahan diri kepada Allah SWT, namun hakikat maknanya yang lebih luas telah juga mencakup segala bentuk nilai kebaikan dan kesempurnaan. Dan semenjak Islam telah mewakili segala bentuk nilai kebaikan, maka ia tentu juga telah mencakup nilai kebebasan, yaitu kebebasan dalam makna yang lebih sesuai dan benar menurut ukurannya, bukan kebebasan dalam makna yang tanpa batas, karena kebebasan yang tanpa batas tentu hanyalah patut dimiliki oleh makhluq yang tidak dibebani dengan anugerah akal.

Kebebasan yang patut menurut Islam adalah kemerdekaan dalam memilih sesuatu selama pilihan tersebut masih berada dalam lingkup kebenaran, yaitu kebenaran yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana dalam tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah. Umat Islam bebas memilih peran apapun atau posisi manapun dalam kehidupannya, selama bukan peran atau posisi yang dilarang oleh Islam itu sendiri, karena memang keragaman peran atau posisi dalam tubuh umat Islam itu akan justru menjadikan mereka saling melengkapi dan saling menguatkan. Jadi, pada dasarnya, umat Islam itu sendiri telah memiliki hak dasar berupa kebebasan dalam memilih jalan hidupnya masing-masing, yaitu jalan hidup di bawah naungan Islam. Mereka selalu bebas untuk memilih beragam peran yang tersedia dalam lingkup kebenaran Islam.

Sehingga dengan demikian, justru ketika Islam diimbuhi dengan istilah liberal, yang mana artinya ‘bebas’, maka justru saat itulah makna kebebasan dalam Islam terkesan masih memiliki cacat, seakan-akan, selama ini Islam belum cukup mampu untuk membebaskan umatnya dari keterbelengguan, dan seakan-akan imbuhan tersebut adalah ungkapan protes atas ketidaksempurnaan Islam, padahal Islam sendiri telah dinyatakan kesempurnaannya oleh Allah SWT. Oleh karena itu, ketika Islam justru diimbuhi dengan istilah liberal semacam itu, maka pada dasarnya itu bukanlah Islam dalam arti yang benar dan sempurna.

Dan dalam hal ini, Jaringan ‘Islam’ Liberal adalah kelompok yang memaksakan istilah liberal tersebut kepada Islam. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang merindukan ‘kebebasan’ di dalam lingkup agama Islam. Ia adalah sebuah komunitas pecinta kebebasan yang mengedepankan pendayagunaan akal dalam upaya memaknai nilai-nilai ajaran agama Islam. Mereka berkeyakinan bahwa ajaran apapun dalam agama Islam yang sampai tidak sesuai dengan perhitungan akal manusia maka akan harus dikritisi atau bahkan harus diganti dengan pola yang baru dan berbeda jika perlu. kelompok inilah yang selalu mengutamakan kaidah akal, meskipun jika harus sampai mengesampingkan kaidah mendasar yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dan konsekuensi dari pengutamaan akal di atas dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah semacam itu tentu sangatlah berbahaya bagi Islam itu sendiri, sebagaimana misalnya beberapa perkara berikut ini:

– Pluralisme agama

 

Semenjak akal menjadi alat utama untuk menimbang kebenaran, pada akhirnya keragaman kapasitas akal manusia pun akan menghasilkan kebenaran yang beragam pula, sehingga hakikat kebenaran pun menjadi sangat relatif atau tergantung kepada akal manusia yang mana yang menyimpulkan kebenaran tersebut. Dan dari sinilah muncul sebuah keyakinan liberal bahwa kebenaran agama pun pada dasarnya juga hanya bersifat relatif, yang artinya, bisa jadi semua agama itu benar dalam keadaannya masing-masing; Islam adalah benar dalam keadaannya, Kristen adalah benar dalam keadaannya, Yahudi adalah benar dalam keadaannya, demikian juga Hindu, Buddha, dan seterusnya, hingga akhirnya, semua agama pun menjadi sama-sama benarnya. Dan sebagai akibatnya, umat Islam akan boleh-boleh saja beribadah dan berdoa bersama dengan umat Kristen, atau sebaliknya, dan seterusnya; karena menurut prinsip pluralisme agama tersebut, semua agama adalah baik dan benar, dan tiada agama yang benar secara mutlak.

 

– Penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan

Menurut perhitungan akal secara liberal, keadilan adalah ketika semua manusia dapat memperoleh persamaan hak dalam hidup mereka, di mana tidak semestinya terjadi kesenjangan dan ketimpangan di antara mereka, termasuk antara laki-laki dan perempuan. Menurut keyakinan liberal, perempuan haruslah mendapatkan hak dan kebebasan yang sama layaknya laki-laki, dan tidak seharusnya memperoleh perlakuan yang dibeda-bedakan dari kaum laki-laki. Dan di antara konsekuensi fatal dari keyakinan semacam itu adalah, bahwa dalam aturan pembagian warisan, misalnya, jatah warisan bagi perempuan haruslah disamakan dengan jatah warisan bagi laki-laki; atau juga misalnya dalam perkara shalat, bahwa perempuan juga mesti diperbolehkan untuk menjadi imam shalat bagi laki-laki; dan begitulah seterusnya dalam perkara-perkara yang lain, yang mana pada intinya adalah bahwa perempuan haruslah disamakan dengan laki-laki dalam hal apapun, di mana tiada lagi pemaksaan batasan bagi mereka.

– Pemisahan Islam dari unsur-unsur Arab

 

Dan konsekuensi lainnya dari pengutamaan akal di atas dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah adalah pemisahan Islam dari unsur-unsur Arab secara mutlak atau tanpa batasan dan ketentuan. Dalam hal ini, faham liberal meyakini bahwa Islam itu bersifat universal atau menyeluruh bagi umat manusia, sehingga Islam haruslah dilepaskan dari unsur-unsur Arab yang mana hanya akan memberikan kesan bahwa Islam itu adalah miliknya bangsa Arab saja, terutama unsur-unsur Arab yang tampak mengganggu bagi tradisi lokal tertentu. Dan sebagai dampak dari keyakinan tersebut, kaum liberal pun sampai tidak mempermasalahkan ketika ada yang pernah melaksanakan shalat dengan bacaan yang tidak menggunakan bahasa Arab; seperti ketika mereka juga tidak mempermasalahkan ketika ada Muslimah yang berakal dan baligh yang tidak memakai jilbab di tempat umum, karena jilbab menurut mereka adalah produk lokal Arab semata; atau juga ketika mereka menyamakan kedudukan jilbab tersebut dengan kedudukan jubah bagi laki-laki Arab; dan seterusnya.

Dan selain beberapa perkara tersebut, di sana tentu masih terdapat beragam konsekuensi lainnya, seperti sekulerisme, inklusifisme, dan lain-lain yang semacamnya, yang mana itu semua sangat menyesatkan dan berdampak kerusakan yang sangat berat bagi aqidah umat Islam dan bagi syari’at Allah SWT. Semua perkara yang lahir dari pemikiran liberal semacam itu memang tampak menjanjikan hal yang baru dan lebih membebaskan bagi umat Islam, namun sebenarnya justru menunjukkan bahwa seolah-olah agama Islam itu ternyata belum disempurnakan oleh Allah SWT, sehingga upaya penyempurnaan dari manusia itu sendiri juga menjadi sangat diperlukan.

Ketika kita memperhatikan beberapa konsekuensi tersebut di atas, kita mendapati masalah yang tentunya bukan sekedar tentang perbedaan pendapat dalam hal yang dapat dimaklumi oleh Islam, melainkan justru tentang perubahan dalam perkara mendasar yang merupakan pondasi ajaran Islam itu sendiri. Dan tentunya, ketika sebuah pondasi bangunan itu harus dibongkar untuk digantikan dengan pondasi yang baru, maka tentu itu akan sama saja dengan mendirikan bangunan baru dari awal lagi. Dan jika bangunan baru tersebut akan sama persis dengan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya, maka tentu itu hanya akan menjadi bentuk pembongkaran dan pembangunan ulang yang sia-sia, karena sebelum dibongkar ataupun setelah dibongkar, ternyata wujudnya juga sama saja. Namun jika bangunan baru tersebut harus berubah secara mendasar dan justru berbeda dengan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya, maka itu berarti bahwa bangunan baru tersebut adalah sesuatu yang tersendiri, sedangkan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya juga adalah sesuatu yang tersendiri lainnya. Artinya, Islam tetaplah Islam dengan kesempurnaannya, sedangkan menciptakan “Islam yang baru” akan berarti menciptakan sesuatu yang lain yang bukan Islam.

Dan itulah sebenarnya bentuk upaya pembongkaran yang dilakukan oleh kelompok liberal terhadap Islam, meskipun Islam itu sendiri juga telah sempurna pada hakikatnya. Dan dalam hal kesempurnaan Islam sebagai agama tauhid dan syari’at penutup di akhir zaman, dan bahwa ia adalah satu-satunya agama yang dibenarkan dan diridhai oleh Allah SWT, kita bisa memperhatikan kembali beberapa dalil dari ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang artinya berikut ini:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Maaidah: 3)

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Aali ‘Imraan: 19)

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Aali ‘Imraan: 85)

Setidaknya, dari ayat-ayat tersebut telah cukup jelas bahwa agama Islam itu telah disempurnakan, sehingga tidak akan memerlukan penyempurnaan lagi. Ketika keadaan zaman tampak semakin berubah dan beragam permasalahan baru pun juga semakin bertambah dan tidak bisa dihindari, maka itu bukan berarti bahwa Islam juga harus dirubah dan diperbaharui agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman tersebut, karena pada hakikatnya, Islam itu sendiri juga sudah merupakan wujud kemodernan mutlak, yaitu panduan kebenaran yang tidak terikat oleh zaman. Islam akan selalu modern di segala waktu, baik di masa lalu, masa kini ataupun di masa depan nantinya. Yang akan selalu berubah hanyalah keadaan zaman, sedangkan yang dapat berubah dari Islam bukanlah hakikat Islam itu sendiri, melainkan kesimpulan-kesimpulan teknis yang bukan perkara pokok agama, untuk sekedar menyesuaikan dengan perubahan teknis pada setiap zamannya, yang itu pun juga tidak sampai keluar dari lingkup aturan dasar yang sudah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dan contoh perubahan teknis yang dimaksud tersebut bahkan dapat kita temui di zaman generasi pertama umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW, di mana ketika itu tulisan ayat-ayat al-Qur’an baru mulai dikumpulkan dan disatukan; padahal sebelumnya, ketika Rasulullah SAW masih hidup di tengah-tengah mereka, tulisan ayat-ayat al-Qur’an masih terpisah-pisah dan tersebar dalam beragam media yang berbeda, dan hanya terjaga urutannya melalui hafalan para sahabat saja. Dan itulah mungkin contoh perubahan teknis dalam Islam yang telah diperbolehkan di zaman generasi pertama umat Islam.

Adapun untuk zaman sekarang ini, maka contoh perubahan teknis semacam itu adalah ketika ayat-ayat al-Qur’an tersebut telah disimpan dalam bentuk data digital, baik berupa tulisan maupun berupa suara, sehingga umat Islam pun dapat lebih mudah dalam membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an. Maka dalam hal ini, kita tentu tidak lantas menyimpulkan bahwa al-Qur’an ternyata telah berubah secara hakikatnya, melainkan yang berubah hanyalah teknis penyimpanan data ayat-ayatnya saja, dan bukan unsur-unsur mendasar dari al-Qur’an itu sendiri. Dan demikianlah mungkin contoh bentuk perubahan yang diperbolehkan dalam Islam. Karena bagaimanapun juga, Islam adalah agama yang telah sempurna dan tidak perlu dirubah-rubah lagi. Ia adalah agama yang ‘selalu baru’ sampai berakhirnya dunia kelak.

Dan dari sudut pandang ini, maka ‘pembaharuan’ atau perubahan yang diupayakan oleh kaum liberal terhadap aturan Islam tersebut pastinya tidak mungkin bisa dibenarkan, baik oleh kaidah akal maupun terlebih lagi oleh kaidah al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam hal kebenaran agama-agama, khususnya, kelompok liberal telah jelas menyalahi kaidah akal yang semestinya tidak boleh dilanggar, karena mereka telah memungkiri adanya satu agama yang paling benar secara mutlak di antara agama-agama yang begitu jelas perbedaannya tersebut. Sedangkan menurut kaidah yang dapat diterima oleh akal kita, hakikat kebenaran itu sebenarnya dapat terbagi menjadi dua, yaitu kebenaran relatif dan kebenaran mutlak. Kebenaran relatif adalah bentuk kebenaran yang bercabang, yang mana setiap cabangnya dapat menjadi pilihan yang tepat dan benar; misalnya, ketika kita ingin menghasilkan bilangan “satu”, maka itu bisa dilakukan dengan berbagai cara menghitung yang berbeda, baik dengan cara dua dikurangi satu, atau satu dikali satu, ataupun tiga dibagi tiga, dan seterusnya, yang mana semua cara menghitung tersebut adalah sama-sama benarnya meskipun tampak berbeda di permukaan, karena memang hasil dari semua itu adalah sama, yaitu “satu”, yang mana merupakan bilangan yang kita tuju.

Adapun kebenaran mutlak, maka itu adalah bentuk kebenaran yang tunggal atau satu-satunya, yang tidak mungkin ada pilihan lain selain kebenaran yang satu tersebut; misalnya, ketika kita ingin membeli beras sebanyak tiga kilogram, maka menyebutkan bilangan “tiga” adalah pilihan yang mutlak, yang tidak bisa digantikan dengan bilangan-bilangan lainnya, karena tentu tidak mungkin penjual beras akan mempersiapkan “tiga” kilogram beras ketika yang kita sebutkan adalah “satu” kilogram beras, misalnya. Tentu saja tidak mungkin kita akan menyebutkan “satu” ketika yang kita maksud sebenarnya adalah “tiga”, begitu juga sebaliknya; karena tiga adalah tiga, dan satu adalah satu. Keduanya, tiga kilogram dan satu kilogram, tidak akan pernah bisa disamakan meskipun dihitung atau ditimbang dengan cara yang bagaimanapun, kecuali jika memang alat penimbangnya sedang tidak benar atau telah rusak. Dan di antara bentuk kerusakan pada akal kita adalah ketika kita sampai membenarkan bahwa “tiga dibagi satu” adalah sama dengan “satu”, atau bahwa “satu dibagi tiga” adalah juga sama dengan “satu”.

Maka dalam hal ini, kaum liberal telah secara jelas melanggar kaidah pembagian kebenaran semacam itu dengan menolak kenyataan bahwa sesungguhnya di antara sekian banyak agama yang berbeda tersebut hanyalah satu agama saja yang benar secara mutlak. Kaum liberal justru meyakini pluralisme agama yang menganggap bahwa semua agama adalah sama benarnya, sehingga umat Islam pun yang hanya menyembah “satu” Tuhan, sesuai tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, akan bisa hidup berdampingan di surga dengan umat Kristen yang menyembah “tiga” tuhan, sesuai keputusan resmi tentang konsep Tritunggal, dan bukan sesuai perkataan Yesus dalam Kitab Injil itu sendiri; dan bahkan semua umat beragama lainnya dengan tuhan-tuhan mereka yang beragam pun juga akan bisa hidup berdampingan di dalam surga. Padahal jika kita bersedia mengakui, bahwa jika memang semua agama adalah benar, maka tentu akan sama saja antara beragama Islam ataupun beragama non-Islam, atau bahkan untuk tidak beragama apapun sama sekali, karena tidak beragama itu sendiri juga sudah merupakan sebuah bentuk keyakinan dan agama yang tersendiri. Dan jika demikian, tentu tidak akan perlu ada surga bagi manusia jika memang tiada yang akan menghuni neraka karena salah memilih agama. Sedangkan dalam aqidah Islam, keberadaan neraka itu tidak akan mungkin sia-sia, melainkan ia akan harus dihuni oleh sebagian umat manusia dan jin, terutama mereka yang mengingkari dan menyekutukan Tuhan yang sebenarnya tidak memiliki sekutu.

Adapun dalam perkara lainnya, yaitu penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan, kaum liberal telah juga melanggar kaidah akal yang justru menjadi pegangan utama mereka, yaitu ketika mereka meyakini bahwa kaum perempuan haruslah disamakan hak dan perannya dengan kaum laki-laki secara bebas, tanpa ada batasan yang boleh dipaksakan. Setiap akal yang normal tentu menyepakati bahwa tidaklah mungkin kaum perempuan harus disamakan kedudukannya dengan kaum laki-laki secara bebas tanpa batasan dan aturan, hingga misalnya perempuan pun dapat sepenuhnya menggantikan laki-laki dalam hal apapun, dan atau sebaliknya, bahwa laki-laki juga dapat sepenuhnya menggantikan perempuan dalam hal apapun. Tentu saja hal semacam itu pasti tertolak oleh akal manusia. Memang, dalam beberapa perkara tertentu, perempuan terkadang bisa menggantikan peran laki-laki, namun tidak demikian halnya dalam beberapa perkara tertentu lainnya. Semuanya pasti memiliki batasan dan ketentuannya masing-masing, dan tidak bisa bebas dan terlepas dari aturan.

Dalam kaidah Islam, aturan dasar bagi perempuan Muslimah adalah bahwa mereka diperbolehkan mengambil suatu peran tertentu selama peran tersebut tidak sampai menggugurkan fitrah kewanitaan mereka sendiri, seperti menjadi istri, melahirkan anak, dan seterusnya. Dan dalam perkara yang sudah ditentukan ukurannya dalam ajaran Islam, sebagaimana juga dalam perkara ibadah ritual, maka mereka tidak akan pernah bisa disamakan dengan laki-laki dan tidak pernah dibenarkan untuk menggantikan posisi laki-laki. Selamanya, bagian warisan perempuan tidak akan pernah sama dengan bagian laki-laki; dan mereka juga tidak akan pernah diperbolehkan menjadi imam shalat bagi laki-laki; sama seperti ketika mereka tidak pernah dibenarkan jika sampai melepas jilbab di tempat umum hanya agar bisa sama dengan kaum laki-laki; dan demikianlah seterusnya dalam perkara-perkara yang sudah baku lainnya. Dan pada hakikatnya, yang demikian itulah yang justru menjadi bentuk keadilan bagi perempuan Muslimah, di mana mereka mendapatkan kedudukan yang tersendiri dan terjaga dalam Islam, sesuai kecenderungan dan fitrah mereka yang tentunya harus dibedakan dari kaum laki-laki.

Jadi pada dasarnya, tanpa manusia menciptakan istilah-istilah baru seperti feminisme, emansipasi wanita, keadilan gender, perempuan modern, atau yang semacamnya, Islam bahkan telah lebih dahulu mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang dibutuhkan oleh kaum perempuan, jauh sebelum istilah-istilah semacam itu diciptakan. Bahkan dalam Islam, sebagian muslimah yang hidup di zaman Rasulullah Muhammad SAW pun akan bisa justru dinilai lebih modern daripada sebagian perempuan yang hidup di zaman sekarang ini. Dan ini berarti bahwa kemodernan yang sesungguhnya menurut Islam bukanlah kemajuan yang sifatnya kasat mata dalam hal mengikuti perkembangan zaman belaka, melainkan kemajuan dalam arti yang lebih dari itu, yaitu pengupayaan untuk bisa sesuai dengan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya, kapanpun dan di manapun. Jika perempuan di zaman sekarang ini justru tidak bisa menyesuaikan diri dengan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya, seperti misalnya tidak melaksanakan shalat lima waktu, atau tidak berjilbab di tempat umum, dan lain-lain yang semacamnya, maka justru itulah perumpamaan perempuan yang belum modern menurut Islam. Dan mereka baru akan tergolong sebagai perempuan modern jika telah mematuhi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya tersebut.

Adapun dalam perkara pemisahan Islam dari unsur-unsur Arab, maka menurut dalil-dalil Islam, di sana tentu terdapat pembedaan antara tradisi lokal Arab dengan tradisi Islam itu sendiri. Tradisi lokal Arab adalah kebiasaan umum bangsa Arab, yang sebagiannya ada yang sudah disahkan menjadi tradisi Islam; sedangkan tradisi Islam, maka ia adalah tuntunan dan ajaran Islam, yang tidak selamanya harus berupa tradisi lokal Arab. Dan sebagai misal dari pembedaan tersebut, kita tentu tahu bahwa bacaan-bacaan dalam shalat itu haruslah menggunakan bahasa Arab, sesuai tuntunan Rasulullah Muhammad SAW, yang mana bahasa tersebut merupakan bahasa lokal bangsa Arab tentunya; namun untuk misalnya berkata baik kepada sesama manusia, maka itu tidaklah harus pasti menggunakan bahasa Arab, terlebih ketika lawan bicaranya bukanlah orang Arab. Maka dalam permisalan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa melaksanakan shalat dengan bacaan-bacaan berbahasa Arab sesuai as-Sunnah adalah merupakan bentuk tradisi Islam, meskipun yang melaksanakan shalat tersebut bukanlah orang Arab, dan tidak pula shalat itu dilaksanakan di tanah Arab; sedangkan berkata buruk dan jahat kepada sesama manusia, meskipun menggunakan bahasa Arab sekalipun, maka tentu itu bukanlah tradisi Islam. Dan dari sinilah kita mungkin dapat mengakui bahwa kedua tradisi tersebut memang memiliki keterkaitan sekaligus perbedaan.

Dan lebih lanjut tentang itu, di dalam tradisi Islam itu sendiri juga masih ada lagi pembedaan tingkatan hukum di antara tradisi-tradisi yang ada, dari yang hukumnya sekedar baik, dianjurkan, sangat dianjurkan, mendekati wajib, hingga pun sampai yang wajib. Intinya, adanya pembedaan semacam itu adalah agar tidak terjadi salah penilaian terhadap tradisi Islam, hingga misalnya kita sampai membenci sebuah tradisi Islam hanya karena ia tampak cenderung lebih cocok bagi orang Arab saja, padahal tidaklah demikian adanya. Jikapun misalnya sampai terjadi semacam pemindahan sebagian tradisi Arab ke dalam sebuah bangsa non-Arab, seperti misalnya tradisi menamakan anak non-Arab dengan nama Arab, seperti Ibrahim, Ahmad, Khadijah, dan seterusnya, maka tentu itu tidaklah lantas diartikan sebagai bentuk penggerusan atau pengikisan terhadap tradisi non-Arab oleh tradisi Arab, karena memang menamakan anak dengan nama-nama semacam itu juga bisa saja tergolong sebagai tradisi Islam yang dianjurkan, dan bukan semata merupakan tradisi lokal bagi bangsa Arab saja, karena memang di dalamnya juga terdapat nilai-nilai kebaikan yang Islami. Bagaimanapun juga, tidaklah semua yang berbau tradisi Arab itu patut untuk dicurigai ataupun hingga dicaci, meskipun memang tidak semuanya juga merupakan tradisi Islam secara hukum asalnya.

Adapun kaum liberal dalam hal ini, mereka telah secara jelas melanggar batasan Islam dengan sampai menyetarakan antara tradisi lokal Arab yang sudah disahkan menjadi tradisi Islam yang wajib dengan tradisi lokal Arab yang tidak sampai digolongkan sebagai tradisi Islam; seperti ketika mereka menganggap bahwa memakai jilbab bagi Muslimah hanyalah bentuk tradisi lokal Arab semata yang kedudukannya sama seperti memakai jubah ataupun sorban kepala bagi laki-laki Arab, sehingga tradisi memakai jilbab pun tidaklah wajib diikuti oleh Muslimah non-Arab, melainkan sekedar bersifat pilihan semata. Padahal, kalaupun memang memakai jilbab adalah tradisi lokal perempuan Arab, maka pada dasarnya itupun telah secara jelas disahkan menjadi tradisi Islam; berbeda dengan jubah atau sorban kepala yang memang tiada perintah wajib bagi laki-laki non-Arab untuk mengikutinya. Dan dalil tentang wajibnya berjilbab bagi perempuan Muslimah tersebut telah ditetapkan dalam al-Qur’an (An-Nuur: 30-31 & Al-Ahzaab: 59) dan juga dalam as-Sunnah dalam beberapa riwayat hadits, yang mana di antara hikmahnya adalah untuk menjaga dan mengamankan diri kaum Muslimah itu sendiri, dengan menghalangi pandangan lawan jenis mereka dari potensi yang bisa menyebabkan kerugian dan kerusakan, juga untuk menjadi tanda pengenal bagi keislaman mereka serta wujud kepatuhan mereka terhadap aturan Islam.

Maka dari itu, sebenarnya jika memang kelompok liberal menginginkan untuk bisa terbebas dari unsur-unsur Arab secara mutlak, maka seharusnyalah mereka melaksanakan shalat dengan bacaan-bacaan yang bukan bahasa Arab, dan bahkan seharusnyalah mereka mengganti istilah “shalat” itu sendiri dengan istilah lainnya, seperti sembahyang atau penyembahan, misalnya, karena istilah “shalat” itu sendiri juga berasal dari bahasa Arab; kemudian, seharusnyalah mereka juga melaksanakan ritual haji di tempat selain Mekah, karena letak Baitullah itu sendiri juga adalah di Mekah, yang mana juga merupakan unsur Arab; dan seharusnyalah mereka juga membuat kitab ajaran yang baru selain “al-Qur’an”, karena “al-Qur’an” itu sendiri juga adalah istilah nama kitab dalam bahasa Arab, yang isinya juga tentu hanyalah kalimat-kalimat berbahasa Arab; dan akhirnya, semestinyalah mereka juga membuat istilah lain selain “Islam” untuk keyakinan mereka tersebut, karena istilah “Islam” itu sendiri juga berasal dari bahasa Arab.

Dan jika sudah demikian, maka mereka pun juga akan harus berlepas diri secara mutlak dari tubuh umat Islam, sehingga umat Islam pun juga tidak akan perlu mempermasalahkan keberadaan mereka, karena ketika itu telah jelas bahwa bagi mereka adalah agama mereka, dan bagi umat Islam adalah agama Islam. Karena bagaimanapun juga, yang selama ini menjadi keresahan umat Islam adalah ketika kelompok liberal mengaku sebagai bagian dari umat Islam namun justru berusaha membongkar pondasi Islam itu sendiri. Jika saja kelompok liberal telah membuat nama yang baru bagi keyakinan mereka tersebut, yaitu nama selain “Islam” tentunya, misalnya menamakan agama mereka dengan nama “kedamaian” atau mungkin “kebebasan”, misalnya, maka niscaya tidak akan perlu lagi ada rasa keberatan dari umat Islam, karena ketika itu telah dibedakan antara kebenaran yang mutlak dengan kebatilan yang mutlak, yaitu bahwa agama Islam adalah agama Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, sedangkan agama “kedamaian” atau agama “kebebasan” tersebut adalah agama khusus bagi kaum liberal saja.

Dan demikianlah beberapa perkara mendasar yang mungkin perlu dipertimbangkan oleh kaum liberal. Dan mungkin, bisa jadi memang maksud, semangat, atau tujuan utama kaum liberal adalah untuk menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan di antara umat manusia. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mereka mengejar tujuan kemanusiaan tersebut menggunakan sarana berupa agama Islam, sedangkan mereka sendiri juga justru membenci sebagian besar aturan Islam itu sendiri? Mengapa mereka tidak menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan tersebut dengan menggunakan sarana lain yang bukan agama Islam?

Maka di sinilah kita tampak menemukan kejanggalan dan tanda tanya tentang maksud keberadaan kelompok liberal tersebut di tengah-tengah umat Islam, bahwa bisa jadi memang mereka sengaja ingin mengganggu Islam dari dalam; namun bisa jadi juga kemunculan mereka tersebut adalah akibat trauma terhadap kesalahan terorisme dari sebagian umat Islam, yang lantas melahirkan kesimpulan yang memukul rata tentang umat Islam dan Islam itu sendiri; atau bisa jadi juga disebabkan oleh sekedar dorongan keinginan untuk menafsirkan Islam secara suka-suka semata; atau bisa jadi juga karena kemungkinan-kemungkinan lainnya, yang mana pada intinya adalah bahwa kaum liberal tersebut adalah kaum yang sedang salah jalan dan sedang membutuhkan petunjuk dari Allah SWT. Maka semoga Allah SWT segera membukakan jalan hidayah bagi mereka.

Oleh karena itu, di sini umat Islam kembali menyeru kaum liberal untuk bersama-sama kembali kepada tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan konsekuensi meninggalkan segala bentuk liberalisme dalam pemikiran yang justru mengekang kebenaran yang sesungguhnya. Pada hakikatnya, kebenaran dalam Islam yang sempurna itu telah ada semenjak zaman Rasulullah Muhammad SAW, sehingga ia pun tidak perlu untuk diciptakan lagi, melainkan cukup dicari dan ditemukan. Dan niscaya, siapapun yang mencari kebenaran Islam tersebut akan harus mengakhiri pencariannya ketika telah menemukan dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Dan dari itulah, jika memang maksud dan tujuan kita adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan dan keburukan, maka cara yang sebenarnya adalah dengan menjadikan mereka memeluk Islam, dan bukan justru dengan cara yang sebaliknya, yaitu memaksa Islam untuk membenarkan dan menuruti semua keinginan manusia. Karena jika memang semua keinginan manusia haruslah dituruti dan dibenarkan oleh Islam, maka tentu tanpa Islam pun juga semua keinginan mereka tersebut akan tetap benar, sehingga, ada ataupun tiada, Islam sama saja tidak akan berguna bagi mereka.

 

Sesungguhnya Islam itu diturunkan kepada umat manusia tak lain adalah untuk menuntun mereka agar dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara iman dan kekafiran, antara tauhid dan syirik, juga antara konsekuensi baik dan buruknya. Islam tidak pernah membenarkan siapapun yang sampai mempersamakan kebatilan dengan kebenaran. Namun demikian, bagaimanapun juga, Islam sendiri juga tidak pernah menutup pintunya dari siapapun yang ingin kembali kepada kebenaran. Bahkan, siapapun dari umat non-Muslim yang masih hidup saat ini juga tetap memperoleh kesempatan yang sama untuk dapat memperoleh keselamatan nantinya, yaitu dengan cara memeluk Islam melalui hidayah Allah SWT. Maka sebaiknyalah umat non-Muslim, terutama kaum liberal, dapat mempertimbangkan tawaran kebenaran dari Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; niscaya itulah yang dapat menjadi sebab keselamatan manusia dari kesesatan di dunia dan kerugian di akhirat.

 

Demikianlah. Dan sesungguhnya, persatuan umat Islam itu tidaklah harus berupa kebersamaan dalam sebuah peran di dalam satu ruang dan waktu, melainkan lebih berupa kebersamaan dan persatuan dalam sebuah pandangan hidup, yaitu bahwa tujuan hidup umat Islam di dunia ini tak lain adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, dengan cara mentaati-Nya sesuai kesanggupan dan keterbatasan masing-masing. Dan tentu wujud pengabdian tersebut akan bisa berbeda antara satu sama lain, sehingga umat Islam pun juga tak akan perlu sampai saling memaksakan peran ataupun kecenderungan, melainkan cukup dengan saling mendukung dan saling menghargai perbedaan peran yang ada.

 

Dan demikianlah mungkin di antara upaya untuk mempertahankan persatuan tersebut, yaitu dengan cara memaklumi keterbatasan dan kelemahan sesama, saling memaafkan dan saling melengkapi, serta menghindari doa keburukan bagi sesama saudara seiman. Dan jikapun kita memang berurusan dengan orang lain yang sedang bersalah, maka mungkin sebaiknyalah kita doakan agar Allah SWT segera menghentikan kesalahannya tersebut, sambil kita berusaha semampunya untuk meluruskan tanpa harus menghakimi masa depannya, karena bagaimanapun juga, sesungguhnya tiada manusia yang sanggup memastikan sendiri bagaimana nasib masa depan akhiratnya kelak, tak terkecuali manusia yang telah beriman sekalipun. Maka sebaiknyalah kita saling mendoakan untuk keselamatan bersama.

Sesungguhnya tiada manusia yang tidak pernah bersalah dan tiada manusia yang selalu benar, karena yang selalu benar dan tidak pernah salah hanyalah Allah SWT. Dialah yang membolak-balikkan hati kita sesuai hikmah yang Dia kehendaki, tanpa kita sanggup atau berhak untuk melarang-Nya. Dialah yang telah memberikan petunjuk ketika seorang hamba berada dalam jalan yang lurus, dan hanya Dialah yang berkuasa mengeluarkan siapapun dari segala bentuk penyimpangan. Maka semoga Allah SWT selalu memperbaiki kita ketika kita salah atau menyimpang, serta menjaga kita semua dari segala hal yang buruk, baik yang tampak maupun yang tidak kita sadari. Dan semoga Dia menganugerahi kita kesabaran dan rasa syukur atas segala bentuk ketentuan hidup, hingga mewafatkan kita dalam keadaan yang diridhai-Nya. Sesungguhnya hanya dari dan milik-Nya sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.

 

Wallaahu a’lam.