Kokoh Karena Yakin Janji Allah

langitOleh Ibnu Umar

Ketika seorang anak mendengarkan janji yang diucapkan oleh kedua orang tuanya, misalnya sebuah janji bahwa dia akan diajak ke tempat bermain kesukaannya sebagai hiburan akhir pekan, maka ia pasti akan sangat senang dan tak akan sempat meragukan apa yang dijanjikan oleh kedua orang tuanya itu. Dia merasa senang karena memang tempat yang dijanjikan tersebut banyak menyimpan bayangan kegembiraan, dan dia juga tak akan sampai meragukan janji itu karena memang ia yakin tak akan dibohongi oleh orang yang tentu menginginkan kebaikan untuknya. Mungkin demikianlah karakter perasaan kita saat mendengarkan janji dari orang-orang yang kita percayai. Kita akan memegang janji mereka, padahal bisa jadi janji tersebut akan tertunda atau bahkan tidak jadi terwujud sesuai rencana karena terhalang suatu keadaan.

Dari karakter perasaan yang kita miliki semacam itu, ketika kita dianugerahi kemudahan untuk juga dapat menyikapi janji-janji Allah SWT sebagaimana kita menyikapi janji orang-orang yang kita percayai, maka niscaya kita pun akan mudah menghindari kekecewaan dalam urusan hidup kita, karena memang janji Allah SWT pasti akan ditepati tanpa ada yang bisa menghalanginya, berbeda dengan janji manusia yang kadang tertunda atau bahkan batal karena memang manusia tak sepenuhnya mampu menguasai keadaan dan kehidupannya. Memang, sebagian janji Allah SWT ada yang ‘tampaknya’ tertunda atau tak terwujud, namun itupun adalah karena kita melihatnya dari sudut pandang perkara dunia, padahal janji Allah SWT itu justru lebih menekankan tentang perkara yang lebih kekal, sehingga ketika seseorang mempercayai janji-Nya namun di dunia ini dia tampak hidup sengsara, maka bukan berarti Allah SWT tidak memenuhi janji-Nya. Tentu saja para sahabat Rasulullah SAW yang mati terbunuh bukan termasuk orang-orang yang tidak terwujud cita-cita dan doanya. Bahkan mungkin demikianlah cara Allah SWT mengabulkan doa mereka, yaitu dengan menempatkan mereka dalam posisi para syuhada’. Sehingga, ketika janji Allah SWT tampak terwujud di dunia, maka itu adalah merupakan anugerah, dan ketika janji itu tampak tidak terwujud di dunia, maka itu pun juga merupakan anugerah, karena Allah SWT pasti akan menggantikannya dengan kebaikan yang lebih kekal di akhirat kelak.

Dan mungkin cara pandang terhadap janji Allah SWT inilah yang menyebabkan seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya justru berani menghanyutkan anak tersebut ke dalam aliran sungai, yang dia sendiri pun mungkin juga tidak tahu persis akibat apa yang akan menimpa anaknya dari perbuatannya itu. Dia memang bukan bermaksud mencelakakan anaknya sendiri, melainkan justru dengan cara itulah dia bermaksud melindunginya dari kejahatan yang dilakukan oleh seorang raja yang dzalim. Namun entah apa yang difikirkannya ketika itu hingga dia bisa berbuat demikian. Tapi memang demikianlah kekuatan sebuah kepercayaan akan janji Allah SWT. Tentu kita mengenal sosok ibunda Nabi Musa AS tersebut. Dialah sosok yang disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai orang beriman yang menerima janji Allah SWT hingga menyaksikan janji tersebut benar-benar terwujud.

Di dalam al-Qur’an disebutkan kisah tersebut dengan begitu sangat indah dan menyentuh. Bahkan, dari terjemahan ayat-ayatnya saja kita sudah bisa merasakan dan membaca sendiri keindahannya, bukan hanya keindahan bahasa yang dzahir, namun terlebih keindahan makna yang batin, yaitu keindahan rencana dan janji Allah SWT. Setidaknya dari terjemahan yang ada, kita mungkin bisa memperkirakan sendiri keindahan ayat-ayat tersebut melalui bahasa Arab, yang mana merupakan bahasa al-Qur’an itu sendiri:

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Al-Qashash: 7)

“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun untuk (akhirnya) menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka (sendiri). Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (Al-Qashash: 8)

“Dan berkatalah istri Fir’aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari.” (Al-Qashash: 9)

“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang beriman.” (Al-Qashash: 10)

“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia” Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedangkan mereka tidak mengetahuinya.” (Al-Qashash: 11)

“Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kalian aku tunjukkan sebuah keluarga yang akan dapat memeliharanya untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” (Al-Qashash: 12)

“Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Al-Qashash: 13)

Sebenarnya, keindahan ayat-ayat al-Qur’an akan berkurang ketika diterjemahkan ke dalam bahasa selain Arab, ibarat bayangan suatu benda pada permukaan dinding yang tentunya tak akan dapat seutuhnya menggambarkan wujud asli dari benda itu sendiri. Namun setidaknya, dari bayangan tersebut kita akan bisa memahami gerakan benda aslinya. Maka dengan memahami makna ayat-ayat al-Qur’an dengan bahasa kita sendiri, setidaknya kita akan lebih mengerti tujuan dari diturunkannya ayat tersebut, sehingga kita pun tidak sekedar membaca ayat-ayat Allah SWT dengan lisan atau perangkat dzahir, melainkan juga dengan hati yang merupakan perangkat batin. Karena bahasa lisan manusia pasti akan berbeda sesuai perbedaan daerah atau bangsanya, namun bahasa hati akan selalu sama, di manapun tempatnya, yang karena itulah iman dan taqwa itu terletak di dalam hati. Kita memang tetap diharuskan membaca al-Qur’an dengan bahasa Arab, karena memang al-Qur’an adalah sesuatu yang tersendiri, sedangkan terjemahan al-Qur’an juga sesuatu yang tersendiri lainnya, namun tentunya akan lebih utama lagi jika kita mengiringi bacaan al-Qur’an dengan usaha menghayati maknanya. Dan karena itulah, kita sangat beruntung dan tertolong karena memiliki para ulama yang telah berhasil menghadirkan terjemahan al-Qur’an secara lengkap yang mana merupakan gerakan makna dari ayat-ayatnya. Karena tentunya kita pun menyadari bahwa yang membutuhkan hidayah Allah SWT melalui al-Qur’an bukan hanya sebagian kita yang mengerti bahasa Arab saja, melainkan juga seluruh ummat manusia dari yang ulama, pelajar, hingga yang awam.

Dan dari kisah ibunda Nabi Musa AS tersebut, kita mendapati betapa indahnya cara Allah SWT menepati janji-Nya. Kita mendapati bagaimana Dia mengatur agar Nabi Musa AS selamat dari pembunuhan yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap anak-anak kecil yang laki-laki, yaitu dengan mengilhami ibunya untuk menghanyutkannya ke dalam aliran sungai Nil, yang kemudian justru dipungut oleh istri Fir’aun sendiri untuk dianggap sebagai anak. Dan kemudian kita juga bisa melihat bagaimana Allah SWT mengembalikan Nabi Musa AS kepada ibunya setelah Dia menyelamatkannya dari pembunuhan, yaitu dengan cara mencegahnya dari segenap air susu para ibu yang menyusui kala itu, kecuali ibu beliau sendiri. Betapa indahnya rencana Allah SWT. Memang ibu Nabi Musa AS sendiri sempat merasakan kehampaan dalam hatinya, dan itu sangatlah manusiawi, karena memang justru itulah dampak dari rasa kasih sayang terhadap anaknya. Namun kemudian Allah SWT meneguhkan hatinya sehingga iapun termasuk hamba-hamba beriman yang meyakini kebenaran janji-Nya.

Dari kisah tersebut, kita bisa memperoleh pelajaran penyemangat dalam meyakini janji-janji Allah SWT. Memang kita bukanlah ibunda Nabi Musa AS yang telah nyata kebenaran imannya karena memang telah disebutkan di dalam al-Qur’an, namun setidaknya kita bisa berusaha meneladani keimanannya tersebut, di mana dia mampu bertahan memegang janji Allah SWT.

Dan demikianlah janji Allah SWT, yang mana tak akan pernah mengecewakan siapapun yang memegangnya erat-erat. Kita tentu telah mengetahui begitu banyak janji-janji Allah SWT yang telah disampaikan-Nya kepada kita. Dan di antara janji-janji Allah SWT tersebut adalah janji tentang kedekatan dan kebersamaan-Nya dengan kita, bahwa Allah SWT tidak akan pernah meninggalkan atau menjauh dari kita selama kita sendiri tidak meninggalkan dan menjauh dari-Nya, dan bahwa kita tak memerlukan perantara apapun dan siapapun untuk dapat mengadu dan meminta sesuatu dari-Nya, karena sesungguhnya Allah SWT lebih dekat dengan kita dari siapapun. Dia bahkan mengetahui keadaan kita melebihi diri kita sendiri. Allah SWT berfirman yang artinya:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)

 

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (Qaaf: 16)

 

“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Hadiid: 4)

 

“Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)

 

Demikianlah janji Allah SWT tentang kedekatan dan kebersamaan-Nya dengan kita. Oleh karena itu, jika mendengarkan janji dari kedua orang tua kita saja kita tak menyimpan sedikitpun keraguan, maka seharusnya terlebih lagi dengan janji yang kita dengarkan langsung dari Pencipta kedua orang tua kita sendiri, yang mana mestinya harus lebih kita yakini dengan sepenuh hati kita. Terjemahan ayat-ayat yang telah disebutkan itu telah menunjukkan betapa Allah SWT mengetahui segala gerak-gerik jiwa dan raga kita, yang samar maupun yang terang-terangan. Tiada yang perlu dijelaskan dengan susah payah di hadapan-Nya. Masing-masing kebaikan dan kejahatan pasti dinilai tepat oleh-Nya dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Dan pada hari pertanggungjawaban nanti, segala tuduhan manusia terhadap orang lain pun tak akan berpengaruh sedikitpun terhadap perhitungan-Nya, melainkan akan justru dimintai pertanggungjawaban bukti atas tuduhannya itu sendiri.

 

Sehingga, dengan meyakini kedekatan dan kebersamaan Allah SWT dengan kita, sebenarnya sangatlah tidak tepat jika kita perlu mengadakan perantara berupa makhluq berwujud apapun untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah SWT sendiri justru lebih dekat dengan kita dari makhluq apapun. Dan mungkin di sinilah kita sering berselisih dalam memahami makna wasilah atau perantara, yang mana sebagian kita memahami perantara tersebut sebagai sesuatu yang kasat mata, sedangkan sebagian lainnya memahaminya sebagai sesuatu yang lebih bersifat maknawi. Dan tampaknya, perantara yang dimaksud tersebut tak lain adalah perantara yang sifatnya maknawi. Sehingga, sebenarnya ber-wasilah (tawassul) dengan sesuatu yang sifatnya benda berwujud adalah tidak dibenarkan, misalnya meminta kebaikan kepada Allah SWT dengan perantara tanah Mekah yang diberkahi, hingga misalnya ketika melakukan haji kita mengambil segumpal tanah darinya untuk kita jadikan semacam ‘pegangan’ yang kita yakini dapat membawa berkah dan keselamatan, hingga hati kita pun bergantung kepada gumpalan tanah tersebut, yang tentu saja itu adalah justru merupakan perbuatan syirik; ataupun misalnya meminta berkah kepada Wali Songo yang telah dikubur jasadnya atau ulama kita yang masih hidup sekalipun, dan semacamnya, padahal semua makhluq tersebut bukanlah pemilik berkah dan keselamatan, melainkan merekalah yang justru dianugerahi berkah jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah SWT sajalah Pemilik keselamatan, rahmat, dan berkah, sebagaimana dalam ungkapan salam kita kepada sesama.

 

Dan ketika kita meminum air zam-zam, misalnya, maka itupun bukan dengan keyakinan bahwa ia dapat memberikan berkah kepada kita, menyelamatkan kita dari musibah atau kesialan, dan keyakinan lain semacamnya, melainkan air zam-zam itu sendirilah yang merupakan berkah dari Allah SWT untuk kita, yang juga sekaligus diberkahi. Dan kita diperbolehkan untuk menjadikan air zam-zam sebagai wasilah atau perantara memohon kesembuhan kepada Allah SWT, dan bukan meyakininya sebagai air yang dapat menyelamatkan kita dari malapetaka. Bagaimanapun, hati kita harus tetap bergantung hanya kepada Allah SWT, karena memang semuanya hanyalah dari dan milik-Nya. Meminum air zam-zam adalah layaknya kita meminum obat dengan keyakinan bahwa itu memang sarana yang dibenarkan untuk memohon kesembuhan, karena memang Allah menciptakan dampak sebab-akibat di dalamnya. Namun untuk sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan hukum sebab-akibat yang ditentukan oleh Allah SWT, misalnya membakar kertas bertuliskan ayat-ayat al-Qur’an kemudian abunya dimasukkan ke dalam segelas air untuk diminum sebagai obat, yang tentunya tak ada hubungannya sama sekali, maka itu tak pernah dibenarkan secara syari’at; atau meskipun ada kaitannya dengan hukum sebab-akibat namun tidak dibenarkan secara syari’at, misalnya mengambil harta orang lain melalui bantuan makhluq halus, yang memang bantuan dari makhluq tersebut tentu memiliki dampak sebab-akibat, namun tentu itu tak pernah dibenarkan. Adapun untuk mu’jizat, maka itu adalah pengecualian bagi para rasul, yang itu semua adalah pertolongan dari Allah SWT tanpa melalui hukum sebab-akibat, sehingga hukum gravitasi pun tak lagi berpengaruh terhadap kehendak-Nya membelah lautan bagi Nabi Musa AS dan para pengikutnya, sebagaimana api yang membakar Nabi Ibrahim AS pun juga menjadi dingin, dan seterusnya. Tak lain dengan mu’jizat-mu’jizat itulah para rasul kita tersebut bisa melemahkan bantahan dari ummat mereka.

 

Dan inti dari itu semua adalah bahwa kita tidak boleh menjadikan sarana meminta dan bergantung justru sebagai alamat meminta dan bergantung. Kita memang boleh meminta didoakan oleh orang lain, namun kita diharamkan berdoa kepada orang tersebut, karena sebuah doa tentunya harus dialamatkan hanya kepada Allah SWT saja. Maka dari itu, sesungguhnya memohon berkah kepada makhluq adalah perbuatan yang harus diluruskan kembali, karena inilah yang dahulu kala menjadi pintu kesyirikan yang menyebabkan para wali dan para nabi dituhankan dan disembah. Mereka semua hanya bisa berdoa dan mendoakan, dan tak pernah berkuasa mengabulkan doa apapun, karena pengabulan doa hanyalah hak dan wewenang Allah SWT semata. Ketika mereka masih hidup pun mereka tak mampu mengabulkan doa, maka terlebih lagi ketika mereka telah meninggal dunia. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam hal ini.

 

Kita hanya diperbolehkan mencari keberkahan melalui apa yang telah dijelaskan oleh Allah SWT, yaitu melalui nilai-nilai maknawi berupa amal kebaikan yang disertai iman dan taqwa, seperti sabar, shalat, sedekah, mendoakan sesama saudara atau meminta didoakan, dan seterusnya, dan bukan melalui makhluq-makhluq berwujud, seperti batu, kuburan, bahkan kain Ka’bah atau mushaf al-Qur’an sekalipun. Jangankan benda-benda mati, bahkan orang-orang shalih, ulama, dan para nabi sekalipun juga tidak memiliki wewenang untuk memberikan berkah, melainkan mereka semua itulah yang justru diberkahi dengan kehendak Allah SWT. Adapun syafa’at Rasulullah SAW, maka itu adalah hal berbeda lainnya yang itupun juga hanya dengan izin Allah SWT saja dan hanya dapat diraih dengan cara melaksanakan perintah dan sunnah beliau, bukan dengan cara meminta-minta atau memuja-muja beliau di kuburannya, yang justru akan bisa menjerumuskan kita kepada pemujaan yang dapat berubah menjadi kesyirikan. Rasulullah SAW telah tiada dan tidak akan mendengarkan kita dengan cara itu. Tak lain yang beliau harapkan dari kita adalah agar kita mentaati sunnah-sunnah beliau meskipun beliau tidak bersama kita, sesuai kemampuan dan kesanggupan kita masing-masing. Maha Suci Allah SWT yang berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

 

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raaf: 96)

 

Demikianlah Islam mengatur kehidupan ummat manusia agar tetap berada dalam kebaikan dan kebenaran. Kita diperintahkan untuk beriman dan bertaqwa agar Allah SWT memperbaiki segala urusan kita. Dia telah berjanji sedemikian rupa agar kita selalu cenderung bertaubat dari segala kesalahan yang pernah kita lakukan. Dia pasti akan menjawab doa hamba-hamba-Nya yang berdoa penuh harap dan cemas kepada-Nya, karena memang Dia selalu dekat dan bersama kita.

 

Ketika misalnya kita memperhatikan sebuah peralatan di sekitar kita, sebut saja komputer yang kita gunakan, maka tentu kita akan yakin bahwa para pembuat peralatan rumit dan canggih semacam itu pasti akan lebih menguasai detil-detil perkakas yang dibuatnya, daripada kita yang hanya mempergunakannya saja. Dan jika mereka berkeinginan untuk memperbaiki komputer tersebut ketika ia mengalami kerusakan, maka pastinya akan mudah bagi mereka untuk melakukannya. Mereka tentu akan tahu bagian mana yang rusak dan harus diperbaiki ataupun perlu diganti, karena memang merekalah ahli yang menguasai perkakas tersebut. Dan pasti kita akan merasa tenang jika misalnya komputer kita sedang rusak lalu ternyata mereka menawarkan bantuan untuk memperbaikinya.

Dari sudut pandang ini, jika kita berhasil meyakini dengan sepenuh hati bahwa segenap detil keadaan manusia pun pasti juga dikuasai oleh Pencipta manusia, yaitu Allah SWT, maka kita pun akan merasa nyaman dalam menghadapi segala bentuk keadaan dalam kehidupan ini, karena saat itu kita telah memilih sandaran yang tepat, yaitu langsung kepada Pencipta kehidupan. Kita tentu juga tahu bahwa Allah SWT sendiri telah menawarkan bantuan dan pertolongan-Nya jika kita mengalami kesulitan dalam kehidupan ini, yang mana karena itulah kita diharamkan selamanya untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Dialah yang menciptakan kehidupan ini, maka tentu Dia sendirilah yang lebih berkuasa untuk mengaturnya.

 

Dengan memegang keyakinan tersebut, kita akan menjadi yakin bahwa keadaan buruk sekalipun pasti bisa dirubah menjadi baik oleh-Nya, dengan kehendak-Nya, begitu juga sebaliknya. Kita akan selalu merasa bahwa di balik segala kesulitan maupun kemudahan pasti ada rencana yang telah dirancang dan dikehendaki oleh-Nya. Dan dari keyakinan inilah kita pun akan mudah merasa diawasi dan diperhatikan dalam setiap kegiatan kita. Kita akan merasa bahwa segala perasaan yang terlintas dalam batin kita pasti terbaca oleh-Nya, tanpa ada sedikitpun yang luput. Sekecil apapun gerakan-gerakan hati yang tak diketahui manusia, pasti disaksikan oleh-Nya. Dan kebersamaan dengan Allah SWT inilah yang merupakan pegangan penting yang harus selalu kita usahakan untuk tetap terjaga.

Kebersamaan dengan Allah SWT akan dapat mencegah kita dari gerakan-gerakan negatif, baik yang di dalam batin maupun yang terlihat kasat mata. Dia akan dapat menuntun kita untuk mendekati perkara-perkara yang diridhai-Nya, serta menjauhi perkara-perkara yang dibenci-Nya. Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahi kita ingatan akan kedekatan dan kebersamaan-Nya dengan kita. Dan semoga Dia mengampuni kita atas segala kesalahan yang tidak kita sadari dan tidak kita maksudkan. Aamiin. Hanya dari dan milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.

Wallaahu a’lam.