Ketika Jamaah Atau Partai Sudah Menjadi Agama

Akhir-akhir ini muncul berbagai fenomena dakwah yang aneh tapi nyata dari berbagai kalangan kelompok, jamaah dan partai Islam. Di antaranya, larangan atau pencekalan memberikan pengajian, ceramah atau kegiatan keislaman di Masjid, khususnya yang mereka kuasai, karena hanya tidak sejamaah atau tidak separtai.

Dalam pekan ini saja penulis mendapatkan dua pengaduan terkait larangan atau pencekalan tersebut. Petama, dari seorang ketua Masjid salah satu kompleks mewah. Kedua, dari salah seorang karyawan negri di salah satu departemen.

Kasus pertama ialah, adanya upaya pelarangan kelompok Jamaah Tablig dari melakukan kegiatan dakwah dan pengajian di Masjid komplek perumahan tersebut karena sebagian jamaah masjid tidak setuju dengan pola dakwah yang dijalankan oleh saudara-saudara kita dari Jamaah Tabligh. Sedangkan kasus kedua ialah, upaya pencekalan atau pelarangan seoarang ustadz oleh beberapa pengurus masjid kantornya untuk ceramah di sana karena alasan sudah tidak separtai lagi.

Sebenarnya, kedua peristiwa tersebut dan sejenisnya sudah lama terjadi dan sering sekali terjadi. Kita sangat prihatin dan sedih. Jamaah, kelompok dan partai sudah berubah menjadi agama. Perintah dan larangan kelompok, jamaah atau partai sudah dianggap oleh para pengikutnya lebih suci dan lebih tinggi dari perintah dan larangan Islam, tanpa mau membaca dan mendengarkan pesan-pesan Qur’an dan Sunnah Rasul Saw dalam banyak hal. Di antaranya terkait dengan dakwah di Masjid dan kegiatan keislaman lainnya. Lupa bahwa Masjid itu milik Allah, kendati terletak dan dibagun oleh jamaah kompleks tertentu atau oleh kantor tertentu.

Sebab itu, mari kita renungkan firman Allah berikut :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (البقرة :114)

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat. (QS. Al-Baqarah : 114)

Ibnu Katsir mrnjelaskan dalam Tafsirnya: Terdapat dua pendapat tentang orang-orang yang melarang menyebut nama Allah di masjid-masjid-Nya dan berupaya merusaknya.
Pertama : Seperti yang diriwayatkan Al-‘Ufi dalam Tafsirnya, dari Ibnu Abbas tentang ayat “وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا …” dia berkata : mereka adalah kaum Nasrani. Demikian juga pendapat Mujahid : Mereka adalah kaum Nasrani, mereka melemparkan kotoran ke dalam masjid Al-Aqsha dan melarang manusia shalat di dalamnya.

Abdurrazzaq berkata : Ma’mar menceritakan pada kami dari Qotadah terkait dengan (وَسَعَى فِي خَرَابِهَا) dia adalah Bukhtanshar (Raja Romawi) dan teman-temanya merusak Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsha) dan dibantu oleh kaum Nasrani. Demikian juga pendapat As-sadi : Mereka (kaum Nasrani) menolong Bukhtanshar merusak Baitul Maqdis sampai rusak dan memerintahkan membuang bangkai ke dalamnya. Bangsa Romawi menolong menghancurkannya karena bani Israel (kaum Yahudi) membunuh nabi Yahya anak Zakaria. Riwayat yang sama diceritakan dari Hasan Al-Bashri.

Kedua, seperti yang diriwayatkan Ibnu Jarir : Yunus bin Abdul A’la menceritakan padaku, Ibnu Wahab menceritakan pada kami ia berkata : Berkatata Ibnu Zaid tentang : “وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا …” ia berkata : Mereka adalah kaum Musyrikin yang menghalangi Rasul Saw pada hari perjanjian Hudaibiyah untuk masuk ke kota Makkah sehingga Rasul Saw menyembelih hewan kurabannya di Zi Thua dan Beliau melakukan gencatan senjata dengan mereka. Nabi berkata pada mereka : Belum pernah seorang pun yang menghambat seseorang ke Rumah ini (Masjdil Haram).

Dulu jika seseorang bertemu pembunuh bapaknya dan saudaranya, maka ia tidak berani melarang/menghambatnya dari Masjidil haram. Lalu orang-orang kafir Quraisy itu berkkata : Tidak boleh masuk ke kota kami orang-orang yang membunuh bapak-bapak kami pada perang Badar dan ini harga mati.

Terkait dengan (وَسَعَى فِي خَرَابِهَا) ia berkata : Mereka menghambat orang-orang yang hendak memakmurkan Masjidil Haram dengan berzikir pada Allah di dalmnya dan datang untuk haji dan umrah.

Lalu Ibnu Katsir berkata : yang jelas – Allahu A’lam – pendapat saya adalah yang kedua. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Zaid dan diriwiyatkan dari Ibnu Abbas di mana kaum Nasrani melarang kaum Yahudi shalat di Baitul Maqdis seakan agama mereka lebih lurus dari agama Yahudi. Padahal kaum Yahudi itu lebih dekat dengan mereka (kaum Nasrani).

Demikian juga, menyebut nama Allah di sisi kaum Yahudi tidaklah dibolehkan ketika itu, karena mereka dilaknat sebelumnya melalui lisan Daud dan Isa Ibnu Maryam, karena kedurhakaan mereka dan sikap yang melampaui batas. Juga, saat Allah mencerca kaum yahudi dan Nasrani, Dia juga mencerca kaum Musyrikin yang telah mengusir Rasul Saw dan para Sahabat dari Makkah. Mereka bahkan melarang kaum Muslimin shalat dalam Masjidil Haram.

Adapun sandaran berifikirnya bahwa kaum Musyrikin tidak berupaya merusak Ka’bah, maka kerusakan apakah yang lebih besar yang merka lakaukan saat mengusir Rasul Saw dan para Sahabat dari Makkah dan melarang mereka shalat dalam Masjidil Haram dan mengepungya (Masjidil Haram) dengan patung-patung yang mereka jadikan tuhan-tuhan yang disembah, sebagaimana friman Allah dalam surat Al-Anfal : 34, Attaubah : 17 -18, dan Al-fath : 25.

Ketika Rasul Saw dan para Sabat terusir dari Makkah dan tidak bisa beribadah di Masjidil haram. Maka kerusakan apakah melebihi semua itu? Maksud memakmurkan Amsjid itu tidak hanya menghiasinya dan membangun fisiknya, akan tetapi memakmurkan masjid itu ialah dengan melakukan zikrullah di dalamnya, menegakkan syari’at-Nya di dalamnya dan menghapus kekotoran dan kemysrikan dari sekelilingnya.

Kesimpulan

Melihat kedua riwayat tersebut di atas, seperti yang dijelasakan Ibnu Katsir, dan riwayat manapun yang lebih kuat, maka penulis berkeyakinan “melarang seseorang atau kelompok Islam yang aqidahnya bersih dan ibadahnya benar dari melakukan ceramah dan berbagai aktivitas keislaman dalam msjid adalah sama dengan kaum Nasrani yang melarang orang beribadah di Masjidil Aqsha dan kaum Musyrikin yang melarang Rasul Saw dan para Sahabatnya beribadah di Masjidl Haram. Perbuatan tersebut adalah kezaliman yang sangat besar dan akan mendapat kehinaan di dunia dan azab neraka di akhirat”. Allahu A’lamu bish-shawab.