Mencetak Dinar di Tengah Krisis (2)

Mukjizat Konsep Ekonomi Nabi Yusuf (2/2)
Oleh : Fathuddin Ja’far, Dewan Redaksi Eramuslim

4. Ta’awun (Kerjasama)

Salah satu hal yang menggugah kami ialah betapa konsep ta’awun itu melahirkan keberkahan dan kesuksesan bersama. Pak Dadang selalu melandasi semua aktivitasnya dengan dasar ta’awun (kerjasama) atau apa yang selalu dia ucapkan dengan “bersyarikat”. Sejak mengambil alih kebun tersebut tujuh tahun silam dengan enam orang rekannya, samapai kepada sistem pengelolaan perkebunan dilandaskan dengan asas ta’awun.

Dalam manajemen pengelolaan kebun, manajemen pak Dadang tidak menerapkan konsep atasan dan bawahan. Kendati ada posisi struktural yang berbeda, seperti Direksi, General Manager, manager dan sampai buruh terendah tukang sadap karet dan sebagainya. Pekerjaan tersebut tidak lain merupakan job description saja. Semuanya punya kemuliaan yang sama. Hak dan kewawijiban sesuai dengan keahlian dan peran mereka masing-masing. Model Amtenar atu Bandar, atau Boss atau feudalism atau apa sajalah namanya tidak berlaku dalam manajemen pak Dadang. Yang perlu dibangun adalah kesetaraan, sehingga semangat ta’awun (kerjasama) dan saling mempercayai dan menghormati terbangun dengan sendirinya. Sebab itu, manajemen pak Dadang sangat efisien, mudah dan bersih. Bayangkan miliyaran uang dihasilkan perbulan, Pak Dadang cukup datang sebulan sekali. Bahkan teman-teman dierksi lainnya termasuk Direktur Keuangan datang hanya 3 bulan sekali.

5. Sistem Yang Adil.

Sering kita mendengar kata “ADIL”, baik dalam Al-Qur’an, Hadits maupun dari mulut para pemimpin, tokoh, kiyai, ulama dan masyarakat umum. Kata “ADIL” memang enteng diucapkan, namun sulit diamalkan. Pengalaman dan fakta menunjukkan bahwa adil atau keadilan itu dalam sistem dakwah dan jamaah saja sulit diamalkan apalagi dalam bentuk sistem bisnis.

Tapi lain halnya di perkebunan Gunung Ringgit. Sistem yang adil sesuatu hal yang dapat dilihat dalam kenyataan. Bukan hanya teriakkan dan bumper para pemilik bisnis sebagaimana yang terjadi di dunia bisnis kapitalis umumnya, termasuk lembaga dan institusi yang dibungkus dengan baju agama.

Seperti yang diketahui bersama bahwa adil itu adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dan imbalan sesuai dengan ilmu dan amal yang dulakukan. Sistem keadilan ini merupakan sistem Allah, Pencipta alam semesta. Masnusia sebagai makhluk-Nya diperintahkan untuk menganut dan menerapkan sistem yang adil. (QS Annahl (16) : 90)

Dalam konteks Perkebunan Gunung Ringgit, sistem yang adil itu dapat kita lihat dari beberapa sisi berikut :

1. Setiap lahan akan ditanami dengan pohon atau bibit yang sesuai dengan jenis tanah dan kondisi alamnya. Bisa saja dalam waktu yang besamaan ditanam beberapa jenisi pohon tanaman yang berbeda atau apa yang lazim disebut dengan sistem tumpang sari.

2. Setiap SDM yang terlibat dalam menjalankan aktivitas perkebuanan yang mencapai 400 orang itu ditempatkan sesuai dengan ilmu dan keahliannya. Demikian juga imbalan yang diberikan sesuai dengan job dan level masing-msing.

3. Yang lebih menarik ialah terdapat kebebbasan mengmbangkan potensi diri baik di dalam areal perkebiuanan seperti beternak kambing dan sapi, atau di luar perkebunan seperti berkebun sendiri dan sebagainya. Karena, manajemen pak Dadang membebaskan mereka untuk memnfaatkan potensi diri merka dalam meninggkatkan income atau perkembangan ekonomi mereka baik di dalam lahan perkebuan, seperti mengembangkan koperasi dan berternak, maupun berkebun di luar lahan gunung Ringgit. Hal tersebut dimungkinkan karena rata-rata jam kerja di sana, khususnya terkait dengan karet, hanya sekitar 4 – 6 jam. Setelah utu bebas melakukan aktivitas lain.

Sebab itu tak heran jika seorang pekerja kebun di sana bisa memiliki asset puluhan dan bahkan ratusan juta seperti memliki puluhan binatang ternak dan usaha lain di laur areal perkebunan.

Konsep seprti di tas, jelas memperlihatkan betapa keadilan bukan hanya di mulut, tapi dipraktekkan. Dengan demikian para pekerja di paerkebunan tersebut tidak merasa budak kaum kapitalis. Di samping itu, perolehan ekonomi merekapun cukup baik dan tidak merasakan krisis lokal dan global, bahkan asset dan kekayaan mereka tumbuh dan berkembang.

Secara jujur kami merasakan dan harus diakui, menurut hemat kami, sistem manajemen yang diterapkan pak Dadang, khususnya terkait manajemen SDM, community development (pendidikan dan kesehatan) untuk mencerdaskan para pekerja dan masyarakat sekitarnya belum maksimal. Namun, apa yang sudah dicapai Beliau dan kawan-kawan merupakan hal yang harus kita syukuri dan sangat luar biasa. Semoga Allah membalas sjasa mereka dengan balasan yang berlipat ganda.

Dari kanan ke kiri pembaca : Ir. Dadang Muhammad, Dirut PT. AGRI HALABA, Perkebunan Gunung Ringgit, M. Iqbal, Fathuddin Ja’far, Aldin Renata dan Azwin Marlin dipuncak gunung Ringgit dengan ketinggian sekitar 700 M d.p.l

Kesimpulan

Apa yang dilakuakn pak Dadang dalam membangun ekonomi yang adil dan sehat sesungguhnya merupakan implementasi dari konsep ekonomi yang dikembangkan Nabi Yusuf as. saat memimpin Mesir yang sedang menghadapi kirisis. Penguasa dan para pakar ekonomi dan bisnis saat itu dengan jujur mengakui ketidakmampuan mereka dalam menghadapi badai ekonomi yang akan menimpa negeri mereka, karena konsep yanag mereka anut dan kembangakan barnasis secular, matriaistik dan kapitalis. Sendangkan Nabi Yusuf menerapkan konsep Ekonomi Rabbani, yakni sistem ekonomi yang sederhanan, namun adil dan mendasar. Karena datang dari yang Maha Adil, yakni Allah Ta’ala untuk memakmurkan manusia. (QS. Yusuf (12) : 47 – 49)

Bandingakan dengan negeri kita…. Penguasa, politisi, para ekonom dan pengusaha negeri ini selalu menampakkakan diri mereka pada masyarakat bawah mereka mampu, sampai-sampai punya sembiyan : Dengan bersama kita bisa. Apanya yang bisa? Nyatanya, sudah sepuluh tahun krisis dan bergontaganti pemerintahan dan pemimpin bukannya krisis ini berkurang apalagi tuntas, bahkan bertambah parah. Anehnya, mereka selalu mengambinghitamkan berbagai hal yang bisa dikambinghitamkan sperti, krisis global, kenaikan haraga BBM dan sebagainya. Lucunya, saat harga BBM turun seperti hari-hari terakhir ini, gak ada juga pengaruh positeifnya terhadap perbaikan ekonomi.

Kalau saja negeri ini dimenej dengan manajemen Ekonomi Raobbani (semoga istilah ini menjadi istilah yang dipakai dinegeri ini seperti yang diterapkan Pak Dadang), sejak dari perkebunan yang luasnya mencapai 17.25 jt Ha, pertanian, perikanan, peternakan, kelautan, perdagangan, pertambangan dan berbagai sektor ekonomi dan bisnis lainya, kami yakin seyakin-yakinnya negeri ini tak akan menegnal krisis berkepanjangan seperti ini. Tentunya konsep tersebut dijalankan oleh tangan-tangan yang amanah yang merasakan muroqobatullah (control Allah).

Dalam konsep Ekonomi Robbani yang diterapkan pertama kali di dunia oleh nabi Ysuf as. ialah tujuh tahun melakukan aktivitas menanami bumi secara maskimal dan bekrja keras.Hasilmnya cukup mengantisipasi tujuh tahun masa krisis/pecaklik. Maka pada tahun ke 15, masyarakat akan melalui masa kemakmurannya.

Lalu, babagaimana dengan Indonesia yang sudah merdeka sejak 63 tahun lalu? Sudah berganti presiden sebanyak enam orang? Ribuan anggota legislative dan para mentri serta direksi BUMN? Kok negeri ini malah semakin carut marut. Anehnya, mereka tidak malu mempertontonkan diri mereka di pilkada yang hampir 4 hari sekali dan pilpres setiap 5 tahun sekali, termasuk 2009 yang akan datang?
Dalam hitungan sederhana, sesuai yang dikembangakan Pak Dadang, untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global yang carut-marut dan menghindari kemiskinan, setiap keluarga, khususnya yang tinggal di pedesaan, cukup memiliki 2.5 Ha kebun, karena akan menghasilkan minimal 6 jt rupiah perbulan. Jika diasumsikan penduduk miskin di Indensia mencapai 100 juta orang dan setiap keluarga terdiri 4 orang, berarti jumlah keluarga miskin sekitar 25 juta keluarga.

Kalau saja mereka diberi kesempatan memiliki 2.5 Ha perkebunan dan dikelola secara profesioan seperti yang dilakukan Pak Dadang, maka dibutuhkan lahan perkebunan seluas 62.5 jt Ha. Kok besar sekali? Tidak sama sekali, karena hutan dan perkebunan yang dijarah para konglomerat berpuluh-puluh kali lipat dibanding jumlah yang dibutuhkan fakir miskin di negeri ini. Bisa gak diterapkan? Bisa dong… Katanya Indonesia milik bersama. Lalu kenapa segelintir penguasa, politisi dan kaum kapitalis saja yang berhak menikmati kekayaan negeri ini? Bahakan di zaman Soeharto berkuasa di antara merka ada yang memiliki areal / lahan hutan seluas 6 jt Ha. Sungguh suatu kezaliman yang pasti dibalas Allah dengan kezaliman berlipatganda pula di akhirat kelak.

Semoga Allah buka mata kepala dan mata hati mereka untuk menyadari bahwa kemiskinan dan kebodohan yang dihadapi masyarakat menjadi tanggung jawab para pemimpin negeri ini. Allah pasti meminta tanggung jawab mereka di akhirat kelak. Umar Ibnul Khattab, Khalifah Rasul saw yang ke 2 pernah berkata : Aku takut jangan-jangan ada keledai terjatuh di Baghdad sana karena Umar belum perbaiki jalannya. Pasti Allah meminta pertanggung jawabannya di akhirat kelak…

Engkau benar wahai Khalifatal Muslimin…..

Semoga Allah lahirkan dari kalangan kami pemimpin seperti Engkau sebelum murka-Nya turun, agar negeri kami ini terlepas dari berbagai kirisis yang berkepanjangan… Amiin…