Sistem Ekonomi Islam (7)

Kali ini konteks ayat kembali berbicara tentang sedekah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang dibelanjakan seseorang, baik itu sedekah atau nadzar, baik secara rahasia atau terang-terangan. Di antara implikasi pengetahuan-Nya ini Allah membalas perbuatan sesuai niat yang menjadi motivasinya.

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat lalim tidak ada seorang penolong pun baginya. Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 270-271)

Kata infak itu mencakup semua harta yang dikeluarkan seseorang; zakat atau sedekah atau sumbangan sukarela di jalan jihad. Nadzar juga termasuk infak yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri dalam ukuran tertentu.

Perasaan seorang mukmin bahwa Allah menatap niat dan geraknya itu menimbulkan berbagai perasaan yang hidup; rasa takwa dan segan untuk riya’, pelit, atau rasa takut miskin. Juga rasa yakin terhadap balasan Allah dan rasa puas karena telah bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya dengan menginfakkan pemberian-Nya.

Adapun orang yang tidak menunaikan hak nikmat serta tidak menjalankan hak Allah dan hamba-hamba-Nya, maka ia disebut zhalim terhadap janji, terhadap man, dan terhadap diri sendiri.
“Orang-orang yang berbuat lalim tidak ada seorang penolong pun baginya..”

Manusia dalam hal ini terbagi menjadi dua golongan: yang berlaku adil dan menjalankan janji terhadap Allah—apabila Allah memberinya nikmat maka ia memenuhi janji itu dan bersyukur. Dan orang zhalim yang melanggar janji Allah, dengan cara tidak memberi hak dan tidak bersyukur.

Merahasiakan sedekah sunnah itu lebih baik dan lebih dicintai Allah, serta lebih bersih dari kotoran riya. Tetapi ketika sedekah itu wajib, maka lebih baik diberikan secara terang-terangan karena hal itu memperlihatkan pesan taat. Dalam dua kondisi itu, Allah menjanjikan peleburan dosa:

“Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu…”
Ayat ini di satu sisi menggugah ketakwaan dan kehati-hatian dalam hati mereka, dan di sisi lain memberinya rasa tentram dan rileks. Selanjutnya ayat ini menghubungkan hati dengan Allah saat berniat dan beramal dalam kondisi apapun.

“Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ada dua hal yang perlu kita perhatikan di sini. Pertama, pemahaman Islam terhadap watak jiwa manusia, sifat bakhil yang melekat padanya, dan kebutuhannya terhadap motivasi secara kontinu untuk mengalahkan sifat bakhil tersebut. Kedua, watak yang dihadapi al-Qur’an di tengah masyarakat Arab yang dikenal dengan kedermawanannya, tetapi tujuannya adalah popularitas. Tidak mudah bagi Islam untuk mengajari mereka bersedekah tanpa mengharapkan popularitas, melainkan berorientasi kepada Allah semata. Perkara ini membutuhkan pembinaan yang panjang dan kerja keras! Dan akhirnya berhasil..

Dari sini pembicaraan beralih dari orang-orang yang beriman kepada Rasulullah saw untuk menetapkan sejumlah hakikat besar yang memiliki pengaruh yang kuat dalam membangun konsepsi Islam di atas dasar-dasarnya.

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 272)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra., bahwa Nabi saw menyuruh agar tidak bersedekah kecuali kepada orang Islam, hingga turunlah ayat ini, dan setelah itu beliau menyuruh sedekah kepada setiap orang yang meminta dari agama apapun..

Hati manusia adalah ciptaan Allah, dan hanya Dia yang menguasainya, sedangkan tugas Rasul hanyalah menyampaikan wahyu. Hakikat ini harus tertanam dalam perasaan seorang muslim agar ia meminta hidayah kepada Allah semata. Kemudian, hakikat ini membuat jiwa da’i tidak gundah dengan sikap keras kepala orang-orang yang sesat, dan cukup menunggu ijin dari Allah agar hidayah itu masuk ke dalam hati mereka.

Tidak hanya menetapkan pripsip kebebasan beragama, lebih dari itu Islam juga menetapkan solidaritas kemanusiaan dan menetapkan hak bagi semua orang yang membutuhkan bantuan—selama tidak dalam kondisi perang—tanpa melihat akidah mereka. Konteks selanjutnya menjelaskan kondisi orang-orang mukmin ketika berinfak:

“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah.”

Inilah satu-satunya keadaan orang mukmin; berinfak untuk mencari ridha Allah semata, bukan untuk menarik perhatian manusia! Dari sini, ia yakin Allah menerima sedekahnya, memberkahi hartanya, memberinya pahala, serta meyakini kebaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Ia meningkat derajatnya dan menjadi bersih dengan apa yang diberikannya padahal ia masih di bumi, sedangkan karunia di akhirat itu jauh lebih baik!

Kemudian konteks menyebut secara khusus orang yang berhak menerima sedekah dan melukiskan satu model manusia yang mulia.

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 273)

Sifat ini secara khusus cocok dengan kelompok Muhajirin yang meninggalkan harta dan keluarga, tinggal di Madinah untuk berjihad di jalan Allah dan menjaga Rasulullah seperti sebagaimana Ahlush-Shuffah. Tetapi, nash ini bersifat umum dan mencakup orang-orang selain mereka dari semua generasi.

Yaitu orang yang terhalang situasi dan kondisi untuk bisa bekerja, namun harga diri menghalangi mereka untuk meminta bantuan. Mereka berpura-pura tidak butuh sehingga orang yang tidak tahu mengira mereka kaya, tetapi seseorang yang memiliki perasaan yang peka tahu kondisi mereka sebenarnya. Itulah gambaran yang amat dalam inspirasinya mengenai model manusia yang terhormat.
Orang-orang yang miskin tapi terhormat itu menyembunyikan kebutuhan mereka seolah-olah menutupi aurat. Kalau mau memberi mereka, maka harus dengan sembunyi-sembunyi dan halus agar tidak mencemarkan kehormatan mereka. Karena itu, ulasan berikut menginspirasi untuk memberi sedekah secara rahasia, dengan meyakinkan kepada pemberi sekedah itu bahwa Allah mengetahuinya dan akan membalasnya:

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

Terakhir, aturan main sedekah dalam pelajaran ini ditutup dengan nash umum yang mencakup semua cara dan waktu infak, dan dengan hukum yang mencakup semua orang yang berinfak karena Allah:
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 274)

Terlihat jelas keserasian pada penutup ini dari segi cakupan umum nash, baik di permulaan ayat atau pada penutup ayat.

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya…” mencakup semua jenis harta. “Di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan..” mencakup semua waktu dan semua kondisi. “Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya..” baik itu harta yang terus berkembang dan umur yang berkah, atau pahala di akhirat dan ridha Allah. “Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati..” di dunia dan akhirat.