Mengapa Penetapan 1 Syawal Berbeda

Asslamu alaikum wr. Wb

Pak ustadz, saya sebagai orang awam binggung karena di sekitar tempat tinggal saya mayoritas orang Muhammadiyah. Otomatis lebaran tahun ini beda lagi, kita masih puasa tetangga sebelah sudah berlebaran. Bagaimana menurut pak ustad?

Kalau bisa tahu, tahun kemarin pak ustad ikut yang mana?

Terimah kasih atas jawabanya mohon maaf jika ada kata yang tidak memuaskan.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabrakatuh

Perbedaan dalam menetapkan hari jatuhnya lebaran memang sudah bisa diprediksi. Kejadian itu sudah berlangsung sejak lama dan akan selalu terus berulang setiap tahun.

Tahun 2007 ini umat Islam di Indonesia sekali lagi akan mengalami perbedaan penetapan hari Raya Idul Fithri. KarenaMuhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1428 H jatuh pada 12 Oktober 2007. Penetapan Muhammadiyah tersebut diterbitkan dalam bentuk maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No: 03/MLM/1.0/ E/2007.

Jauh-jauh hari PP Muhammadiyah memang telah menetapkan jatuhnya lebaran yang berbeda. Tentu saja semua itu diputuskan lewat mekanisme yang sudah ada sejak dahulu.

Untuk menetapkan 1 Syawal, Muhammadiyahmenggunakan pendekatan wujudul hilal.Artinya, tidak hanya menggunakan mata kepala, tapi menggunakan ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu hisab.

Dengan dasar tersebut, yang dinamakan bulan baru adalah bila matahari terbenam hilal masih di atas ufuk. Pada 11 Oktober nanti, hilal masih di atas ufuk.

Penyebab Berbeda-beda

Sebenarnya di rubrik ini sudah seringkali kami bahas tentang penyebab perbedaan penetapan. Singkatnya, karena ada beberapa dalil yang berbeda, atau satu dalil namun ditafsirkan secara berbeda. Sehingga umat mengenal setidaknya dua sistem, yaitu rukyatul hilal dan hisab.

Kedua metode ini seringkali melahirkan hasil yang berbeda dalam penetapan tanggal. Tapi yang lebih menarik, bahkan meski sama-sama menggunakan rukyatul hilal, hasilnya belum tentu sama. Demikian juga, meski sama-sama pakai hisab, hasil seringkali juga berbeda.

PerbedaanAntar Negara

Sudahsering terjadi bahwa umat Islamyang hidup di bawah berbagai macam pemerintahan, seringkali berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawwal.

Kewajaran itu lantaranmasing-masing pemerintahan punya hak untuk menetapkannya, karena mereka memang berdiri sendiri dan tidak saling terikat. Sehingga amat wajar independensi otoritas penetapan jadwal puasa pun dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing pemerintahan.

Maka wajar bila Mesir dan Saudi Arabia saling berbeda dalam menetapkan jadwal puasa dan lebaran.

Tetapi di dalam negeri masing-masing, umat Islam umumnya kompak. Sesama rakyat Mesir tidak pernah terjadi perbedaan. Demikian juga, sesama rakyat Saudi tidak pernah terjadi perbedaan.

Cuma Indonesia

Tetapi khusus untuk rakyat Indonesia, rupanya masing-masing elemen umat teramat kreatif. Cerita orang lebaran berbeda-beda tanggalnya memang hanya terjadi di dalam masyarakat kita saja. Entah apa sebabnya, mungkin karena kebanyakan jumlah rakyatnya, atau kebanyakanormasnya, atau mungkin juga kelebihan pe-de nya.

Yang jelas, kita selalu menyaksikan masing-masing ormas seolah merasa punya hak otoritas menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan tanggal 1 Syawal. Setidaknya untuk konstituen mereka sendiri. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di berbagai negeri Islam lainnya. Di sana, urusan penetapan seperti itu 100% diserahkan pemerintah. Masing-masing ormas tidak pernah merasa berhak untuk menetapkan sendiri.

Jadi cerita seperti ini memang lebih khas Indonesia.

Dan lebih lucu lagi, bukan hanya ormas yang sering tidak kompak dengan pemerintah, tetapi di dalam satu ormas pun terkadang sering terjadi tidak kompak juga. Misalnya, ketika DPP ormas tertentu mengatakan A, belum tentu DPW atau DPD dan DPC-nya bilang A. Masing-masing sturktur ke bawah kadang-kadang masih merasa lebih pintar untuk menetapkan sendiri jadwal puasa.

Selain itu, juga ada ormas yang selalu menginduk ke jadwal puasa di Saudi Arabia. Mau lebaran hari apa pun, pokoknya ikut Saudi.

Bahkan mungkin karena saking semangat untuk ijtihad, ada ormas yang sampai menasehati pemerintah untuk tidak usah mencampuri masalah ini.

Semua pemandangan ini hanya terjadi di Indonesia, ya, sangat khas Indonesia. Dan ceritanya dari zaman nenek moyang sampai abad internet sekarang ini masih yang itu-itu juga. Pokoknya, Indonesia banget deh.

Kita Ikut Siapa Dong?

Sebenarnya apa pun yang dikatakan baik oleh NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya, semua tidak lepas dari ijtihad. Karena tidak ada nash baik Quran maupun hadits yang menyebutkan bahwa lebaran tahun 1428 hijriyah jatuh tanggal sekian.

Dan sebagai muslim, kita wajib menghormati berbagai ijtihad yang dilakukan oleh para ahlinya. Lepas dari apakah kita setuju dengan hasil ijtihad itu atau tidak.

Dan karena kita bukan ahli ru’yat, juga bukan ahli hisab, kita juga tidak punya ilmu apa-apa tentang masalah seperti itu, maka yang bisa kita lakukan adalah bertaqlid atau setidaknya berittiba’ kepada ahlinya.

Kalau para ahlinya berbeda pendapat, 100% kita punya hak untuk memilih. Tidak ada satu pun ulama yang berhak untuk memaksakan kehendaknya, apalagi menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan hasil ijtihadnya. TOh kalau ijtihad itu benar, ulama itu akan dapat pahala. Sebaliknya kalau salah, beliau tidak berdosa, bahkan tetap dapat satu pahala.

Bersama Umat Islam

Salah satu hadits menyebutkan sebagai berikut:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.

Hadits rasanya agak cocok buat keadaan kita yang bukan ulama, bukan ahli ru’yat atau ahli hisab. Kita adalah para muqaalid dan muttabi’. Maka jadwal puasa kita mengikuti umat Islam umumnya di suatu negeri.

Kalau di Indonesia umumnya atau mayoritasnya lebaran hari Sabtu, ya kita tidak salah kalau ikut lebaran hari Sabtu, meski tetap menghormati mereka yang lebaran hari Jumat. Sebab lebaran di hari di mana umumnya umat Islam lebaran adalahhal paling mudah danjuga ada dalilnya serta tidak membebani.

Tapi kalau ternyata 50% ulama mengatakan lebaran jatuh hari Jumat dan 50% lagi mengatakan hari Sabtu, lalu mana yang kita pilih?

Jawabnya bahwa dalam hal ini syariah Islam memberikan kewenangan dan hak untuk menengahi perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebagaimana pemerintah berhak untuk menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali untuk menikah.

Bersama Pemerintah Islam

Jadi pemerinah resmi yang berkuasa diberikan wewenang dan otoritas untuk menetapkan jatuhnya puasa dan lebaran, di tengah perbedaan pendapat dari para ahli ilmu, ahli hisab dan ahli falak.

Kewenangan seperti ini bukan tanpa dalil, justru kita menemukan begitu banyak dalil yang menegaskan hal itu. Bahkan para ulama sejak dulu telah menyatakan bahwa urusan seperti ini serahkan saja kepada pemerintah yang sah. Kalau pun pemerintah itu salah secara sengaja dan berbohong misalnya, maka dosanya kan mereka yang tanggung.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”

Beliau juga berkata mengutip hadits nabi SAW: “Tangan Allah SAW bersama Al-Jama’ah."

Apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal kemudian diamini oleh para ulama hingga sekarang ini. Salah satunya adalah arahan dan petunjuk dari Al-‘AllamahSyeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Beliau berkata, “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing."

Ahmad Sarwat, Lc