Mari Menggapai Laylah al-Qadr

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾

“Sungguh Kami telah menurunkan al-Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar”. (QS, Al-Qadr : 1-5)

Tafsir Ayat.

Allah Ta’ala berfirman : “Inna anzalnahu fi laylah al-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qu’ran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa Inna (sunguhnya Kami), bukan Inni (sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Rasi, kata tersebut tidak boleh dimaknai li al jam’i (untuk menunjukkan makna jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukkan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu, kata tersebut harus dimaknai sebagai li at-ta’zhim (untuk mengagungkan).

Huruf al-ha’ (dhamir al-ghaib, kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki al ism azh-zhahir yang menjadi rujukkannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamir tersebut menunjuk pada Al-Qur’an. Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata al-Qur’an karena maknanya sudah maklum. Fakhruddin ar-Razi dan Az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan al-ism azh-zhahir itu menjadi salah satu aspek yang menunjukkan keagungan al-Qur’an. Adapun Al-Khaththabi dan Abu Hayyan al-Andalusi mengaitkannya dengn surat sebelumnhya: “Iqra bi (i)smi Rabbika : sehingga seolah dikatkan : Bacalah apa yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Inna anzalnahu laylah al-qadr”.

Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam al-qadr. Secara fakta, al-Qur’an turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun: siang dan malam, dalam berbagai bulan dan keadaan. Jika demikian, apa makna al-Qur’an diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam al-qadr itu?

Setidak ada dua keterangan, pertama, turunnya al-Qur’an yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Qur’an secra sekaligus dari al-lawh al-Mahfudz ke Bayt al-Izzah di langit dunia. Selanjutnya, al-Qur’an turun kepada Rasulullah Shallahi alaihi wa sallam selama 23 tiga tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibn ‘Abbas: juga dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.

Kedua, turunnya al-Qur’an pertama kali. Ini merupakan pendapat asy-Syatibi dan yang lainnya. Intinya,awal diturunkannya al-Qur’an dan diutusnya Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan (QS, al-Baqarah : 185).

Mengapa mala itu disebut sebagai malam al-qadr? Menurut Ibn ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain, dinamakan al-qadr, karena didalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada Malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi, karena dinilai sejalan dengan QS, ad-Dukhan (4). Adapun az-Zuhri memaknai laylah al-qadr sebagai malam al ‘azhamah wa asy-syaraf (keagungan dan kemuliaan). Pengertian ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih keuda pendapat itu tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili. Jika diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan menegasikan makna lainnya.

Kemudian Allah Ta’ala berfirman : “Wama adraka ma laylah al-qadr (Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat istifham ini memberikan makna tafkhim sya’niha (memuliakan urusannya), seolah-olah perkara tersebut keluar dr pengetahuan makhluk, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala. Demikian penjelasan asy-Syaukani. Tidak jauh berbeda, as-Syamarqandi juga menafsirkan sebagai ta’zhlim (an) laha (mengagungkan, memuliakan).

Pertanyaan itu, lalu dijelaskan daalm ayat berikutnya : Laylah al-qadr khayr min alfi syahr (in) (Malam kemuliaan itu lebh baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu”. Menurut Anas, amal, sedekah, shalat dan zakat pada Laytul Qadr lebih baik daripada seribu bulan. Pendapat yang sama juga diekemukakan oleh Mujahid, Amrun bin Qays al Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Ktsir dan as-Samarqandi. Bahkan menurut as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih baik dairpada seribu bulan, selain yang didalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar mufassirin. Mengenai keutamaan beramal pda malam itu juga ditegaskan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya : “Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul Qadr, karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’I, Ahmad).

Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan lain Malam Laylatul Qadr dengan firman-Nya : “Tanazzalu al-malaikah wa al-Ruh fiha bi idzni Rabbihim min kulli amr (in) (Pada malam itu turun para Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan). Pada malam itu, para Malaikat merupakan athf al-khash ‘ala al-amm (menambahkan yang khusus atas yang umum). Biasanya itu berguna untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungan atas yang lain”. (QS, al-Baqarah : 98).

Menurut Ibn Katsir, banyaknya Malaikat yang turun karena banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun ketika ada tilawah al-Qur’an. Mereka (Malaikat) mencari majelis dzikir dan meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk memuliakannya.

Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi idzni Rabbihim, memberikan isyarat bahwa para Malaikat itu tidak bertindak apapun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbbihim berguna sebagai ta’zhim (an) li al-malaikah wa tahqir (an) li al-ashah (untuk memuliakan Malaikat dan melecehkan para pelaku maksiat). Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi idzni Rabbihim min kulli amr (in) (dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan ditetapkannya ajal dan rezeki. Hal ini sejalan dengan QS, al-Dukhan ayat 4.

Allah Ta’ala menutup ayat ini dengan firman-Nya : “Salam (un) hiya hatta mathla’ al fjar (Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. Dijelaskan Mujahid , bahwa keselamatan itu berarti salimah (selamat); syetan tidak mampu berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan. Qatadah bahwa frasa tersebut berarti kebiakan semua. Tidak ada didalamnya keburukan hingga terbit fajar. Menurut as-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata : “As-Salamu ‘alayka ayyuha all-Mu’min”. (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).

Keagungan Al-Qur’an dan Laytul Qadr.

Al-Qur’an kitab yang diturunkan kepda Nabi Shallahu alaihi wa sallam, berisi penjelasan segala sesuatu, yang kaitan dengan kehidupan manusia, berupa petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi Mukmin/Muslim (QS, an-Nahl ; 89). Dalam surat ini pengagungan al-Qur’an tampak dalam beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Qur’an dalam berbagai hal, kendati tidak disebutkan secara zhahir, tidak ada perbedaan bahwa dzamir al-ghaib ini merujuk kepada al-Qur’an. Karena itu, meskipun tidak disebutkan secara zhahir, maknanya sudah sangat jelas.

Kemudian keagungan Zat yang menurunkannya al-Qur’an adalah Allah Azza wa Jalla, sebagai kitab yang berasal dari Zat Yang Maha Benar dan Maha Adil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa (an) wa ad-la (a) (benar dan adil, lihat QS, al-An’am : 115).

Qur’an dipilih pada waktu yang amat mulia yang penuh berkah. (lihat QS.ad-Dukhan : 3), yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para Malaikat, termasuk Jibril ke bumi. Ini menujukkan betapa mulia dan pentingnya malam itu. Sebab para Malaikat itu diak turun kecuali ada peristiwa besar. Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya :

“Sesungguhnya laylah al-Qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para Malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil”. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

Sudah sepatutnya kaum mukimin berusaha keras menggapai Laylatul Qadr di bulan Ramadhan, bulan yang lebih mulia dibanding dengan bulan-bulan lainnya. Tinggalkan dunia dan kejarlah ampunan (maghfirah-Nya), sehingga menjadi orang-orang yang muttaqin.

Ustad Rokhmat S.Labib.