Menangisi Karunia

Oleh: Irsyad Azizi, Lc. Dpl.

Lelaki itu tertegun syahdu. Bulir-bulir kristal bening perlahan membasahi pipinya. Mata yang basah itu menatap kosong ke arah meja hidangan di depannya. Baru saja semangkuk makanan diantarkan untuknya berbuka puasa. Perlahan, terdengar gumaman parau dari mulutnya, "Aku ingat Mush`ab bin Umair yang syahid di Uhud. Ia jauh lebih baik dariku. Ketika ia syahid, tidak ada kain yang cukup untuk menutupi sekujur jenazahnya. Sekarang, kesenangan dunia sedang dibentangkan untuk kita. Aku khawatir, balasan amal kita dipercepat Allah di dunia, hingga tidak ada lagi bagian kita di akhirat kelak."

Abdurrahman bin Auf nama lelaki itu. Satu dari sepuluh manusia yang beruntung mendapat jaminan surga. Seorang Sahabat Rasulullah yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai konglomerat yang dermawan. Kisah di atas terjadi cukup jauh setelah Rasulullah mangkat. Saat di mana daerah Islam semakin meluas, dan kesenangan duniawi mulai membelai lembut wajah kaum muslimin.

Cukup menarik menyaksikan Sahabat ini menangis di depan hidangan berbukanya. Seorang manusia yang telah dijamin masuk surga, namun masih saja merasa lebih hina dari orang lain yang tidak mendapatkan jaminan itu. Seorang yang terbiasa dengan limpahan harta, namun masih saja terisak menyaksikan semangkok hidangan berbuka puasa. Ia merasa khawatir jika makanan di depannya akan membuat jatah kebahagiaan di akhirat akan berkurang.

Telah separoh Ramadhan terlewati, sederhana saja, pernahkan perasaan yang sama kita rasakan di depan hidangan ifthar kita? Pernahkah ada bayangan orang-orang tak beruntung di benak kita ketika regukan air pertama membasahi tenggorokan? Tidak usah jauh-jauh berpikir seperti Abdurrahman yang khawatir kalau nikmat ini akan mengurangi balasan di akhirat, paling tidak, pernahkah rasa syukur tulus membuncah ketika suap demi suap memenuhi perut?

Puasa demikian indah mengajarkan banyak hal. Mulai dari perihnya rasa lapar yang dirasakan kaum papa, hingga perasaan selalu dilihat oleh Sang Pencipta. Sayangnya, semua itu acapkali alpa dihayati ketika makanan telah terhidang di depan kita. Lupa bahwa banyak saudara seiman yang kurang beruntung di tempat lain. Lupa bahwa di kolong-kolong jembatan sana , banyak umat Islam yang hanya berbuka dengan sereguk air sungai, mengais-ngais bekas makanan orang lain untuk melepas lapar seharian. Lupa bahwa di negeri-negeri yang tidak sedamai kita banyak saudara seakidah yang berbuka puasa di bawah desingan peluru, melepas lapar di bawah bayang-bayang kematian.

Jangankan untuk peduli dengan nasib orang lain, hidangan yang menggiurkan kadang malah membuat doa makan terlewatkan. Terkadang yang ada hanya obsesi untuk membalas rasa lapar seharian dengan melahap segala yang ada, naudzubillah. Bila ini yang terjadi, ironis, kita baru mencatat prestasi mampu bertahan lapar dan haus saja. "Betapa banyak manusia yang berpuasa, namun tidak menghasilkan apa-apa selain lapar dan haus belaka (HR. Ahmad)."

Tulisan ini tidak bermaksud untuk melarang berbahagia ketika masa-masa berbuka tiba, karena kita memang berhak untuk gembira ketika itu. Hanya sekedar ajakan untuk menyisakan sedikit waktu merenung dalam kebahagiaan itu. Belajar untuk memahami arti nikmat yang Allah berikan. Belajar memahami kebesaran karunia Allah dalam semangkuk hidangan ifthâr. Bahwa tidak semua orang seberuntung kita. Bahwa di saat mulut ini mengecap nikmat, di tempat lain mungkin banyak mulut yang merintih menahan derita.

Syukur-syukur bila terucap sebait doa untuk mereka-mereka yang kurang beruntung. Lebih syukur lagi bila perenungan itu mampu melahirkan air mata tulus, menangisi karunia Allah, meratapi kelemahan diri mensyukuri segala pemberian-Nya. Sungguh, tidak ada kebahagian di atas kesuksesan meresapi makna pemberian-Nya. Wallâhu a’lam.