Eid Mubarak di Eindhoven

Setelah dua puluh sembilan hari menahan lapar dan dahaga, dan berjuang mengekang hawa nafsu, tibalah hari raya yang dinantikan itu, 1 Syawwal 1429 H. Di negeri bawah air beratus kanal, negeri Belanda, menanti Syawwal tetap penuh dengan warna-warni, sebagaimana ragam corak warna penantian Syawwal di belahan bumi yang lain. Sebagian masyarakat muslim Belanda berlebaran di hari Selasa dan sebagian lain di hari Rabu. Berbeda hari, tidak mengurangi kebahagiaan menyambut Iedul Fithri, dan sedikitpun tidak menghapus kesedihan berpisah dengan Ramadhan. Warna-warni penantian awal bulan sabit Ramadhan dan Syawwal, sedemikian sering setiap tahun berulang kali, sudah dewasa masyarakat mensikapi. Setidaknya, telah tumbuh tunas kesadaran bahwa kaum Muslimin masih harus bersabar, entah berapa lama lagi, menanti pemimpin adil umat madani, yang ditaati di seluruh negeri bumi manusia.

Pagi itu di awal Syawwal, gerimis dan dingin membalut sinar matahari di Eindhoven, kota sebelah Selatan Belanda yang dulu hancur di ujung mesin perang Jerman Raya. Di Eindhoven pula cahaya lampu bermuara menerangi dunia, ketika dulu Gerard Philips membangun industri hingga anak cucu saat ini, ketika kini para pekerjanya hidup berkarya di enam puluh negara dunia. Pukul sembilan pagi anak-anak muda mahasiswa Indonesia telah bersiap dengan ruangan kecil nan syahdu. Di dalamnya sekitar tigapuluh orang menyendiri di sudut gedung mengumandangkan takbir. Takbir sepi berbisik di ujung bibir dalam hati, namun tetap khusyuk tunduk membuat haru. Shalat Ied dimulai, dua belas takbir dikumandangkan, dua ruku’ ditunaikan, dua kutbah nasihat disampaikan. Para jama’ah kemudian bersalaman, berpelukan, dan bermaaf-maafan.

Setelah shalat Ied para mahasiswa dan mukimin kemudian kumpul bersilaturrahim. Open House yang diadakan beberapa keluarga Muslim Indonesia pun ramai dikunjungi. Mereka mencoba menepis rasa hilang sepi di hari raya Ied karena suasana jauh dari keluarga besar di tanah air. Hari raya adalah kebersamaan, namun itu semua barang mahal di negeri rantau. Kesempatan kumpul bersama di hari raya sayang sangat untuk dilewatkan. Ketupat lontong sayur, ayam goreng, dan makanan khas lebaran tanah air lainnya bagai mengembalikan fungsi lidah yang telah kelu karena beribu rasa roti, susu, dan keju selama ini. Di hari itu, kampung halaman seakan hadir di sekitar membasuh kerinduan, kehangatan ukhuwwah seakan membasuh setahun luka khilaf dan kesalahan

Di kawasan lain, sebuah masjid yang didirikan warga Turki berdiri megah. Sebuah kebanggaan dan izzah para cicit khilafah yang pernah menaungi dunia. Tak sungkan mereka mendirikan berbagai masjid indah di pusat-pusat kota Belanda. Uang infaq melimpah, jamaah penuh melimpah ruah. Badan besar dan tegap warga keturunan Turki memenuhi setiap jengkal ruang dan halaman masjid. Hari itu masjid Turki di tengah kota menjadi pusat kumpulan manusia, seakan tak mau kalah dengan keramaian setiap pekan stadion bola kebanggan kota di sebelahnya, Stadion Philips PSV Eindhoven.

Bagi warga Turki, hari raya Iedul Fithri bukanlah ketupat lontong sayur opor ayam, namun makanan khas manis rasa. Itulah mengapa, dua hingga tiga generasi mereka hidup di Belanda, satu kata Suikerfeest terkenal dipahami masyarakat asli Belanda. Suikerfeest berarti Pesta Gula atau Hari Raya Gula, adalah istilah untuk hari raya Iedul Fithri, yang biasa dirayakan warga Turki dengan menghidangkan makanan minuman serba manis bergula.

Seorang rekan di kantor, ia warga Muslim Irak tinggal di kota kecil Tilburg, menyalami saya dengan hangat, ‘’Ied Mubarrak’’ katanya. Senyum dan kebahagiaan terpancar dari wajah tampan putih bersih berseri, bertolak belakang dengan apa yang dialami masyarakat Irak di negeri mereka nun jauh di sana, ketika bom-bom pencabut nyawa masih mengalahkan gema takbir menyambut Iedul Fithri.

Kebahaagiaan juga terpancar dari pari muslimin asli Belanda di hari raya Ied ini. Kebanyakan mereka memeluk Islam karena pernikahan dengan warga Indonesia, sebagian lagi karena proses pencarian dan pemahaman Islam sejak lama. George, biasa kami memanggilnya, seorang Muslim belanda asal Utrecht, suatu kali dengan fasih menterjemahkan kutbah Tarwih bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia di depan para jamaah. Luar biasa.

Kaum Muslimin telah menjadi bagian kehidupan di Belanda. Mereka memahami makna jasmani Ramadhan dan Suikerfeest bagi orang Islam di sekitarnya. Ramadhan adalah puasa, Suikerfeest adalah pesta gula (pesta makan-’an’). Namun tentu saja, jangan tanya mereka makna ruhani sebuah Ramadhan dan Suikerfeest sebagaimana kaum muslimin berupaya memahami. Ketika para imam masjid mengumandangkan takbir sebagai tanda datang Syawwal dan beribu kata kesedihan terdengar mengiringi kepergian Ramadhan, hari kemudian di kantor para bule Belanda justru tersenyum berlomba menawarkan kembali secangkir minuman,

‘’Tea or coffee? ‘’

‘’How was your Suikerfeest party, did you eat a lot ? ‘’

“You must be happy now, you can eat and drink again…’’

Ramadhan telah pergi, saya tersenyum kecut sendiri, mengelus dada, sukar terjawab apakah sedih atau gembira ada dalam hati.

***

Eko Hardjanto, 3 Syawwal 1429 H
Eindhoven

 Dari Redaksi

Tulisan Eid Mubarak kiriman Eko Hardjanto di Eindhoven sekaligus menutup rubrik Ramadhan di Mancanegara. Redaksi Eramuslim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada para pembaca yang berada di luar Indonesia, yang telah meluangkan waktu untuk menuliskan pengalamannya menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negara masing-masing dan mengirimkannya pada Eramuslim. Semoga ukhuwah kita tetap terjaga lewat situs Eramuslim yang kita cintai. Selanjutnya, redaksi Eramuslim menerima naskah berita berupa kegiatan dan peristiwa atau artikel lainnya yang berkaitan dengan keislaman dan umat Islam di berbagai negara. Artikel bisa dikirimkan ke email redaksi: [email protected]

Akhir kata, seluruh jajaran Eramuslim mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Taqobbalallahu minna wa minkum shiyaamana wa shiyamakum.
 

Eid Mubarak di Eindhoven

Setelah dua puluh sembilan hari menahan lapar dan dahaga, dan berjuang mengekang hawa nafsu, tibalah hari raya yang dinantikan itu, 1 Syawwal 1429 H. Di negeri bawah air beratus kanal, negeri Belanda, menanti Syawwal tetap penuh dengan warna-warni, sebagaimana ragam corak warna penantian Syawwal di belahan bumi yang lain. Sebagian masyarakat Muslim Belanda berlebaran di hari Selasa dan sebagian lain di hari Rabu. Berbeda hari, tidak mengurangi kebahagiaan menyambut Iedul Fithri, dan sedikitpun tidak menghapus kesedihan berpisah dengan Ramadhan. Warna-warni penantian awal bulan sabit Ramadhan dan Syawwal, sedemikian sering setiap tahun berulang kali, sudah dewasa masyarakat mensikapi. Setidaknya, telah tumbuh tunas kesadaran bahwa kaum Muslimin masih harus bersabar, entah berapa lama lagi, menanti pemimpin adil umat madani, yang ditaati di seluruh negeri bumi manusia.

Pagi itu di awal Syawwal, gerimis dan dingin membalut sinar matahari di Eindhoven, kota sebelah Selatan Belanda yang dulu hancur di ujung mesin perang Jerman Raya. Di Eindhoven pula cahaya lampu bermuara menerangi dunia, ketika dulu Gerard Philips membangun industri hingga anak cucu saat ini, ketika kini para pekerjanya hidup berkarya di enam puluh negara dunia. Pukul sembilan pagi anak-anak muda mahasiswa Indonesia telah bersiap dengan ruangan kecil nan syahdu. Di dalamnya sekitar tigapuluh orang menyendiri di sudut gedung mengumandangkan takbir. Takbir sepi berbisik di ujung bibir dalam hati, namun tetap khusyuk tunduk membuat haru. Shalat Ied dimulai, dua belas takbir dikumandangkan, dua ruku’ ditunaikan, dua kutbah nasihat disampaikan. Para jama’ah kemudian bersalaman, berpelukan, dan bermaaf-maafan.

Setelah shalat Ied para mahasiswa dan mukimin kemudian kumpul bersilaturrahim. Open House yang diadakan beberapa keluarga Muslim Indonesia pun ramai dikunjungi. Mereka mencoba menepis rasa hilang sepi di hari raya Ied karena suasana jauh dari keluarga besar di tanah air. Hari raya adalah kebersamaan, namun itu semua barang mahal di negeri rantau. Kesempatan kumpul bersama di hari raya sayang sangat untuk dilewatkan. Ketupat lontong sayur, ayam goreng, dan makanan khas lebaran tanah air lainnya bagai mengembalikan fungsi lidah yang telah kelu karena beribu rasa roti, susu, dan keju selama ini. Di hari itu, kampung halaman seakan hadir di sekitar membasuh kerinduan, kehangatan ukhuwwah seakan membasuh setahun luka khilaf dan kesalahan

Di kawasan lain, sebuah masjid yang didirikan warga Turki berdiri megah. Sebuah kebanggaan dan izzah para cicit khilafah yang pernah menaungi dunia. Tak sungkan mereka mendirikan berbagai masjid indah di pusat-pusat kota Belanda. Uang infaq melimpah, jamaah penuh melimpah ruah. Badan besar dan tegap warga keturunan Turki memenuhi setiap jengkal ruang dan halaman masjid. Hari itu masjid Turki di tengah kota menjadi pusat kumpulan manusia, seakan tak mau kalah dengan keramaian setiap pekan stadion bola kebanggan kota di sebelahnya, Stadion Philips PSV Eindhoven.

Bagi warga Turki, hari raya Iedul Fithri bukanlah ketupat lontong sayur opor ayam, namun makanan khas manis rasa. Itulah mengapa, dua hingga tiga generasi mereka hidup di Belanda, satu kata Suikerfeest terkenal dipahami masyarakat asli Belanda. Suikerfeest berarti Pesta Gula atau Hari Raya Gula, adalah istilah untuk hari raya Iedul Fithri, yang biasa dirayakan warga Turki dengan menghidangkan makanan minuman serba manis bergula.

Seorang rekan di kantor, ia warga Muslim Irak tinggal di kota kecil Tilburg, menyalami saya dengan hangat, ‘’Ied Mubarrak’’ katanya. Senyum dan kebahagiaan terpancar dari wajah tampan putih bersih berseri, bertolak belakang dengan apa yang dialami masyarakat Irak di negeri mereka nun jauh di sana, ketika bom-bom pencabut nyawa masih mengalahkan gema takbir menyambut Iedul Fithri.

Kebahaagiaan juga terpancar dari pari muslimin asli Belanda di hari raya Ied ini. Kebanyakan mereka memeluk Islam karena pernikahan dengan warga Indonesia, sebagian lagi karena proses pencarian dan pemahaman Islam sejak lama. George, biasa kami memanggilnya, seorang Muslim belanda asal Utrecht, suatu kali dengan fasih menterjemahkan kutbah Tarwih bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia di depan para jamaah. Luar biasa.

Kaum Muslimin telah menjadi bagian kehidupan di Belanda. Mereka memahami makna jasmani Ramadhan dan Suikerfeest bagi orang Islam di sekitarnya. Ramadhan adalah puasa, Suikerfeest adalah pesta gula (pesta makan-’an’). Namun tentu saja, jangan tanya mereka makna ruhani sebuah Ramadhan dan Suikerfeest sebagaimana kaum muslimin berupaya memahami. Ketika para imam masjid mengumandangkan takbir sebagai tanda datang Syawwal dan beribu kata kesedihan terdengar mengiringi kepergian Ramadhan, hari kemudian di kantor para bule Belanda justru tersenyum berlomba menawarkan kembali secangkir minuman,

‘’Tea or coffee? ‘’

‘’How was your Suikerfeest party, did you eat a lot ? ‘’

“You must be happy now, you can eat and drink again…’’

Ramadhan telah pergi, saya tersenyum kecut sendiri, mengelus dada, sukar terjawab apakah sedih atau gembira ada dalam hati.

***

Eko Hardjanto, 3 Syawwal 1429 H
Eindhoven

 

Dari Redaksi

Tulisan Eid Mubarak kiriman Eko Hardjanto di Eindhoven sekaligus menutup rubrik Ramadhan di Mancanegara. Redaksi Eramuslim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada para pembaca yang berada di luar Indonesia, yang telah meluangkan waktu untuk menuliskan pengalamannya menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negara masing-masing dan mengirimkannya pada Eramuslim. Semoga ukhuwah kita tetap terjaga lewat situs Eramuslim yang kita cintai. Selanjutnya, redaksi Eramuslim menerima naskah berita berupa kegiatan dan peristiwa atau artikel lainnya yang berkaitan dengan keislaman dan umat Islam di berbagai negara. Artikel bisa dikirimkan ke email redaksi: [email protected]

Akhir kata, seluruh jajaran Eramuslim mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Taqobbalallahu minna wa minkum shiyaamana wa shiyamakum.