Shalat Tepat Waktu atau Setelah Jam Kerja?

Assalaamu’alikum Wr. Wb.

Seorang Direktur HRD sebuah Institusi berlabel "Syariah", dalam rangka operasi disiplin pegawai, memanggil beberapa kelompok pegawai dengan masing-masing jenis pelanggaran disiplin. Dari berbagai kelompok pelanggaran disiplin, di antaranya ada pula kelompok "kesalahan" yang pada saat berlangsung operasi disiplin pulang tepat waktu (antar jam 17.00-17.15), namun selalu melakukan sholat ashar berjamaah di masjid kantor, sehingga dinilai bekerja kurang dari 8 jam karena tidak mengganti jam sholat setelah jam pulang kantor. (Setiap pegawai yang turun ke masjid kantor di catat keluar dan masuk oleh satpam atas perintah sang Direktur)

Menurut sang Bapak Direktur, seorang pegawai terikat dengan akad "ijarah" dengan perusahaan untuk bekerja 9 jam dipotong 1 jam istirahat, sehingga jam kerja bersih 8 jam. Jika pegawai melakukan sholat pada jam kerja, maka pegawai harus mengganti waktu yang digunakan untuk sholat pada jam lainnya. Jadi jika pulang kerja jam 17.00, sang pegawai melakukan sholat ashar berjamaah menghabiskan waktu 20 menit, maka paling cepat pulang jam 17.25. Jika pegawai pulang tepat waktu tanpa mengganti waktu yang terpakai untuk sholat, maka pegawai telah merugikan perusahaan. Namun sayangnya, ketentuan ini tidak pernah disampaikan sebelumnya.

Para pegawai yang dipanggil pada kelompok kesalahan ini di-"cap" oleh sang Bapak Direktur sebagai orang yang telah menggadaikan "Tuhan" untuk melanggar disiplin. Sang Bapak Direktur seakan-akan tidak peduli bahwa para pegawai pada kelompok "kesalahan" tersebut, sebenarnya lebih sering pulang malam, jauh melebihi jam kerja resmi dibandingkan pulang tepat waktu, meskipun pada saat operasi disiplin dilakukan kebetulan pulang tepat waktu.

Pertanyaan:
1. Sebagai pemeluk agama Islam yang terikat sebagai pegawai, kewajiban mana yang lebih dahulu yang harus dilakukan, sholat tepat waktu atau sholat setelah jam kerja demi kewajiban pegawai yang terikat akad "ijarah" dengan perusahaan?

2. Apakah perkataan sang Direktur dapat dikategorikan sebagai pelecehan terhadap ibadah seorang pegawai, karena setahu penulis dalam UU No.39/1999 pasal 22 dinyatakan setiap orang bebas memluk agamanya dan beribadat menurut agamanya itu dan UU No. 13/2003 pasal 153 ayat 1 dinyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja/ buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya?

3. Menurut Bapak Ustadz, tepatkah perkataan Sang Direktur yang menyatakan pegawai menggadaikan "Tuhan" karena sholat berjamaah tepat waktu pada jam kerja?

Mohon jawaban Bapak Ustadz.

Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Seorang Pegawai yang sedang "resah"

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dari istilah yang digunakan oleh sang direktur bahwa pekerja yang shalat dianggap ‘menggadaikan Tuhan’, sudah dapat dirasakan sinisme subjektifnya terhadap shalat dan tuhan. Seorang direktur yang muslim dan ada secuil iman di dalam hatinya, pastilah tidak akan tega mengeluarkan ungkapan sekasar itu, bahkan meski para pekerjanya memang mengurangi haknya untuk shalat sekalipun.

Sebab ungkapan ‘menggadaikan tuhan’ itu jelas terasa di telinga sebagai ungkapan yang terlalu memaksakan, bahkan kami menilainya sebagai berlebihan. Apalagi sampai memberlakukan hukuman hingga pemecatan segala. Tidakkah dia tahu bahwa jabatannya itu hanyalah amanah yang diberikan sementara waktu? Tidakkah dia tahu bahwa suatu saat dia akan berhenti atau diberhentikan dari pekerjaannya, cepat atau lambat? Tidakkah dia peduli dengan bawahannya yang resah akibat ulahnya yang over-acting itu?

Kami bisa merasakan keresahan Anda dan teman-teman Anda saat ini. Dan begitulah, setiap kita akan diuji oleh Allah dengan rasa takut kelaparan, kekurangan harta dan jiwa. Marilah kita maknai rasa resah ini secara positif agar iman kita kepada Allah jadi bertambah.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqrah:155)

Rasa resah Anda itu wajar, namun barangkali itulah cara Allah mengundang Anda untuk lebih khusyu’ lagi dalam beribadah. Rasa takut dipecat itu sebenarnya sebuah motivasi yang Allah turunkan kepada Anda bahwa rizki itu urusan Allah. Si Direktur mau memecat orang karena shalat dengan alasan menggadaikan tuhan, silahkan saja. Toh dia bukan Sang Maha Pemberi rizqi. Justru diasetiap hari diberi rizki oleh Allah SWT dengan atau tanpa disadarinya.

Ketahuilah bahwa kita tidak pernah tahu lewat jalur manakah kita akan diberikan rizki dari Allah SWT. Kadangkala kita mengira sebuah jalan terlihat licin dan mulus, lalu kita yakin sekali bahwa di ujung jalan itu ada rezki kita. Namun ternyata Allah SWT tidak menghendaki memberikan rezki lewat jalan itu. Barangkali buat Allah, terlalu jauh jalan itu dan ada jalan lainnya yang lebih baik dan lebih tepat buat kita.

Janganlah berpikir bahwa rezeki anda itu ada di tangan sang direktur, namun bukan berarti bahwa anda juga boleh seenaknya saja melanggar aturan. Jalan yang terbaik adalah melakukan dialog yang terbuka, dari hati ke hati. Jangan dulu terlanjur bersu’udzdzan kepadanya. Barangkali saja niatnya baik, yaitu karena ingin mendisiplinkan anak buahnya. Namun cara dan pendekatannya masih perlu diperhalus lagi.

Pada bagian penghalusan inilah anda perlu sedikit memberikan perhatian. Cobalah pilih teman-teman yang dewasa, tidak emosional dan sedikit lebih dipandang. Sampaikan saja permohonan maaf anda dan teman-teman, bila dipandang telah melanggar aturan. Jelaskan bahwa selama ini anda memang kurang mendapat informasi yang jelas tentang bentuk-bentuk kesalahan itu. Dan berjanjilah bahwa hal itu tidak akan terulang lagi, selama aturan main dibuat sejelas mungkin, syukur bisa sebelumnya digelar dengar pendapat dengan sesama karyawan.

Cobalah buktikan kepadanya bahwa Anda dan teman-teman adalah orang muslim yang profesional, di mana amanah memang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, selama semua aturannya jelas dan transparan.

Selamat berjuang semoga Allah menyertai kita, Amien

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.