Antara Syariah, Fikih dan Negara Islam

“ Kebijakan seorang pemimpin negara atau wakilnya mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya dan beberapa perkara yang mengandung kebaikan untuk kemaslahatan bersama, wajib dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang telah berlaku dalam kaidah syariat. Biasanya sebuah perubahan terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebiasaan setempat. Kalau yang berhubungan ibadah haruslah sesuai nash, tidak boleh diartikan secara ma’nawi. Berbeda dengan adat (kebiasaan), diperbolehkan menerjemahkannya sejalan dengan ruh Islam dan substansi maslahat yang terkandung di dalamnya.” (Imam Syahid Hasan Al Banna)

Kerapkali syariah yang diusung sebagai agenda politik beberapa parpol Islam mendapat rival yang kuat. Realitanya, perlawanan yang muncul terhadap pemberlakuan syariah Islam dalam skala nasional bukan hanya dari kalangan non-muslim saja. Sebagian umat Islam malah menginterpretasikannya dalam lingkup yang beda.

Apa yang dipikirkan sebagian kalangan mengenai syariah selalu bernuansa sadisme, diskriminatif sebenarnya tidak beralasan. Kekhawatiran mereka akan terbentuknya daulah Islamiyah menjadi ancaman etnis lain yang non-islam justeru muncul dan diperkuat oleh propaganda kalangan Islam sendiri yang tidak ingin diberlakukan hukum Islam.

Sebenarnya, membumikan syariah di tanah tercinta Indonesia adalah langkah penerapan hukum kembali seperti apa yang pernah berlaku sebelumnya. Sejak sekian lama, masuknya penjajah telah memporak-porandakan sistem kemasyarakatan di nusantara. Hal itu ditandai dengan pergantian tatanan hukum yang berlaku pada dulu masa kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan nusantara.

Lodewejik Willem Cristian Van Den Berg (1857-1927) dalam teorinya “receptio in complexu” menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah menerima hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Dalam hal ini juga Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) melihat hukum adat yang berlaku pada masyarakat Indonesia dahulu tidak terlepas dari pengaruh hukum Islam. Transformasi hukum inilah yang kemudian dijadikan sampel pemerintah Hindia-Belanda ketika itu untuk mengambil alih hukum adat dan dibentuk kesatuan pradilan yang dikukuhkan dalam Indische Staatsregeling (I.S) tahun 1929.  

Usaha sentralisasi peradilan tersebut merupakan langkah akhir dari keinginan Belanda untuk menjajah Indonesia lebih leluasa. Oleh karenanya pada abad ke-19, Belanda begitu gencar melaksanakan kristenisasi. Mereka berasusmsi, semakin banyak pribumi yang memeluk agama kristen maka mereka akan semakin loyal terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dan apa yang dikatakan Snouck dalam teori resepsinya adalah semata untuk mematikan semangat juang masyarakat terhadap pemerintah kolonial yang dijiwai oleh hukum Islam.

Mereka pun berhasil, dalam kurun tiga setengah abad lamanya, hukum belanda telah mendarah daging dalam diri bangsa Indonesia. Warisan inilah yang terus dipelihara dan menjadi acuan baku dalam tata peradilan yang ada sekarang.

Lalu masalahnya sekarang, ketika sebagian hukum Islam telah diundang-undangkan melalui UU NO.14 Tahun 1970, akan tetapi sifatnya hanya parsial. Hukum yang berlaku hanya sebatas hukum perdata yang meliputi nikah, waris, hibah dan lainnya. Sementara lingkup fikih tidak membedakan antara hukum perdata dan pidana sebagaimna yang telah dibahas oleh ulama dahulu.

Inilah realitas yang berlaku. Walau mayoritas masyarakat indonesia menganut agama Islam, tapi masih tidak memiliki kesatuan kata untuk menjadikan fikih sebagai sumber rujukan. Hukum pidana indonesia yang masih konvensional terkesan sebagai bapak dari hukum perdata di peradilan agama.

Belum lagi, sebagian kalangan Islam yang menilai sinis terhadap penerapan syariah Islam ini. Mereka menilai hukum warisan Belanda itu sudah lebih sempurna dan tidak perlu ada perubahan. Sementara hukum ibarat kebutuhan. Dan lazimnya kebutuhan akan menyesuaikan dengan tntutan orang yang akan memakainya. Jadi, sangat aneh pihak yang terusikmelihat syariah Islam seperti di beberapa daerah otonom.

Mereka keliru memandang hukum Islam,hanya sebatas ruh dan maqashid (tujuan) yang terkandung di dalamnya saja. Dan sangat keliru jika menilai hukum Islam, adalah syariah. Dengan anggapan hukum Islam tak ubahnya seperti syariah (jalan) mereka lebih mementingkan substansi. Padahal selama masih ada nash (quran dan hadis) tentang satu perkara, maka harus diputuskan sesuai dengan yang digariskan nash. Sebab syariah itu umum, dan aplikasinya adalah fikih.

Dari sini, istilah Negara Islam tidaklah sesulit apa yang dibayangkan. Tidak harus mengganti Pancasila sebagai dasar negara, karena memang apa yang termaktub dalam lima sila tersebut sejalan dengan ruh Islam. Atau negara Islam harus sibuk ngurusin orang bisa baca quran atau wanitanya harus pakai jilbab, karena kaidahnya tahtimmul aham minal muhim (harus ada fikih perioritas). Namun bukan berarti, landasan hukum yang telah digariskan syari’ (Allah) bisa ditukar oleh undang-undang buatan yang tidak dijamin keadilannya. Kecuali, bagi permasalahan-permasalahan yang tidak ada nashnya, sepanjang bukan ibadah formal, maka apa yang dibuat pemerintah demi kemaslahatan umum wajib dilaksanakan.

Intinya, syariah merupakan ide dan inspirasi pembentukan hukum. Kemudian fikih menjadi rujukan undang-undang yang berlaku. Dan jika telah diterapkan dalam skala nasional, maka jadilah negara Islam.

Profil Penulis

Fery Ramadhansyah, asal Medan, alumni MAN 2 Medan jurusan Keagamaan, sekarang dibangku kuliah S1 Fakultas Syariah Islamiah (Islamic Jurisprudence), Universitas Al Azhar Cairo-Mesir.

Email: [email protected]