Demokrasi atau Kleptokrasi?

Harian Kompas (14/6/2011) menampilkan salah satu headline berjudul, “Negara Menuju ke Arah Kleptokrasi.”

Tentu tepat ungkapan di atas. Sebab, dengan mencermati realitas kekinian, saat ini kasus-kasus korupsi di berbagai level begitu marak. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat negara di tingkat pusat hingga daerah, tetapi bahkan dipraktikkan secara sempurna oleh para wakil rakyat—yang tentu merupakan pilar demokrasi—di pusat hingga daerah.

Sebetulnya demokrasi bukan sekadar sedang mengarah menuju kleptokrasi. Dalam pengantar untuk buku Ilusi Negara Demokrasi (2009), saya telah menegaskan bahwa demokrasi justru identik dengan kleptokrasi itu sendiri.

Pasalnya, kleptokrasi sesungguhnya tidak sekadar ditunjukkan oleh perilaku korup para pejabat atau wakil rakyat, sebagaimana yang kita saksikan secara telanjang hari ini.

Kleptokrasi justru melekat dalam sistem demokrasi yang memang selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal yang kemudian selalu sukses ‘mencuri’ kedaulatan rakyat atas nama demokrasi. Itulah yang terjadi di Amerika Serikat sendiri sebagai negara kampiun demokrasi. Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku Who Really Runs Congress? Buku ini menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres.

Kenyataan ini diperkuat oleh The Powergame (1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan (3) fulus. Akibatnya, kedaulatan rakyat sesungguhnya hanya jargon kosong belaka. Sebab, yang berdaulat pada akhirnya selalu para pemilik modal. Maka dari itu, benarlah apa yang diteriakkan oleh Huey Newton, pemimpin Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the people, for those who can afford it” (Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayar untuk itu). Tulisan berikut sedikit banyak ingin membuktikan proposisi di atas.

Sekilas Demokrasi

Demokrasi saat ini telah menjadi ‘agama global’. Mungkin tak ada satu negeri pun di belahan bumi ini yang tidak mengenal demokrasi. Namun, demokrasi melahirkan aneka tafsir terhadap dirinya. Akibatnya, dalam praktiknya, demokrasi tidaklah seragam di berbagai negara, termasuk di Amerika dan Eropa. Karena itu, sampai saat ini perdebatan seputar negara mana yang dianggap paling demokratis menjadi tampak absurd.

Pasalnya, standar yang digunakan untuk mengukur demokratis-tidaknya sebuah negara sering tidak ‘standar’. Tidak aneh, jika seorang tokoh Muslim dari partai Islam di negeri ini pernah menyatakan, bahwa Indonesia sesungguhnya lebih demokratis daripada Amerika. Alasannya sangat sederhana: Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, sedangkan Amerika belum pernah memilikinya hingga hari ini.

Lebih dari itu, Indonesia pernah didaulat sebagai ‘jawara demokrasi’ hanya karena dianggap sukses menyelenggarakan Pemilu 2004 secara damai. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Pileg dan Pilpres sepanjang tahun 2004 lalu dipuji oleh majalah terkemuka The Economist edisi 10 Juli 2004, yang dalam cover story-nya membuat judul, “Indonesia’s Shining Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia).

Hal senada juga dinyatakan oleh Mantan Presiden AS Jimmy Carter, “Sebuah tonggak sejarah bagi kita, Pemilu ini (Pemilu 2004, pen.) juga merupakan langkah penting bagi demokrasi di seluruh dunia. Rakyat Indonesia sedang memberikan contoh dramatik tentang perubahan politik yang damai, dan dengan kukuh menafikan klaim bahwa masyarakat Islam bersifat antidemokratik.” (International Herald Tribune, 15/7/2004).

Namun demikian, tetap saja Amerika—juga Eropa—dianggap sebagai ‘kampiun demokrasi’. Bahkan praktik demokrasi di kedua kawasan itu menjadi rujukan bagi praktik serupa di berbagai belahan dunia lainnya. Karena itu pula, terkait dengan penyelenggaraan pemerintahaan yang demokratis, para pejabat atau wakil rakyat di negeri ini kerap melakukan studi banding ke Amerika atau negara-negara Eropa.

Makna Demokrasi

Demokrasi berasal dari bahasa Latin: demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Demokrasi selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem politik dan pemerintahan terbaik saat ini. Penilaian ini terutama muncul saat dihadapkan pada penderitaan masyarakat di bawah sistem pemerintahan yang berdasarkan Fasisme, Totaliterianisme, Komunisme dan paham-paham anti-demokrasi lainnya pada beberapa dekade yang lalu.

Konon, demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani Kuno pada 500 SM. Chleisthenes, tokoh pada masa itu, dianggap banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan demokrasi. Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di Barat, saat Romawi Barat takluk di tangan suku Jerman. Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat.

Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit pada Abad Pencerahan. Pada masa itu, muncullah sejumlah pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Pada masa itu pula, lahir pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dan rakyat, atau negara dan masyarakat.

Ide demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19. Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Salah satunya adalah Muhammad Abduh (1848-1905), yang menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat secara selektif.

Cacat Bawaan Demokrasi

Secara teoretis, inti atau substansi demokrasi, sebagaimana telah dimaklumi, adalah kedaulatan rakyat. Justru di sinilah akar persoalan sekaligus yang menjadi cacat bawaan demokrasi. Pasalnya, rakyat sendiri adalah individu yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu dan godaan setan. Karena itu, dalam demokrasi, menyerahkan timbangan baik-buruk atau halal-haram kepada rakyat jelas sebuah kesalahan fatal.

Selain itu, dengan kedaulatan rakyat sebagai inti, demokrasi mengklaim bahwa segala keputusan hukum selalu didasarkan pada prinsip suara mayoritas rakyat. Namun, dalam praktiknya, karena pada faktanya parlemen/DPR sering dikuasai oleh segelintir elit politik, para pemilik modal, atau kedua-duanya, suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang sesungguhnya minoritas, tidak mencerminkan suara mayoritas rakyat. Artinya, di sini yang terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas.

Parlemen di AS, misalnya, sering didominasi oleh mereka yang bermodal kuat, baik karena mereka pengusaha atau karena mereka disokong oleh pengusaha. Di Indonesia pun tak jauh beda. Wajar jika kemudian banyak UU, keputusan hukum atau peraturan yang lahir dari parlemen/DPR lebih mewakili kepentingan mereka yang sesungguhnya minoritas itu; dan sebaliknya sering merugikan mayoritas rakyat.

Di Indonesia, lahirnya UU Migas, UU Listrik, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU BHP, dll jelas lebih berpihak kepada para pemilik modal dan merugikan mayoritas rakyat. Walhasil, sadar atau tidak, ideal demokrasi sering dikalahkan oleh aktualitasnya.

Karena itu, Aristoteles menyebut pemberlakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan. Alasannya adalah ketidakmungkinan orang banyak untuk memerintah. Bahkan Plato, pemikir Yunani yang juga diagung-agungkan oleh Barat, melancarkan kritik terhadap demokrasi. Katanya, kebanyakan orang adalah bodoh, atau jahat, atau kedua-duanya, dan cenderung berpihak kepada diri sendiri.

Jika orang banyak ini dituruti maka muncullah kekuasaan yang bertumpu pada ketiranian dan teror. Karena itu pula diyakini, hanya segelintir orang yang diuntungkan dari sistem pemerintahan yang demokratis ini.

Pada zaman Yunani Kuno sendiri, periode demokratis dalam sejarahnya tercatat hanya sebagai kasus-kasus istimewa. Politik Yunani pada masa beberapa abad Sebelum Masehi justru didominasi oleh periode kediktatoran tirani dan oligarki. Benih demokrasi malah hancur ketika Negara Sparta yang otoriter mengalahkan Athena dalam perang Ploponesia (Amien Rais, “Demokrasi dengan Proses Politik,” LP3ES, 1986).

Demokrasi ‘Kulit’

Memang, Indonesia pernah dipuja-puji sebagai ‘jawara demokrasi’. Bukan hanya Jimmy Carter yang memberikan apresiasi positif terhadap demokrasi di Indonesia. Sukses kerja demokrasi di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini—meskipun baru seumur jagung—juga dianggap meyakinkan oleh sejumlah akademisi politik ternama seperti Liddle dan Hefner. Mereka menyatakan bahwa Indonesia memiliki modal kuat untuk menjadi sebuah negara demokrasi.

Namun demikian, sengaja atau tidak, menurut Ismail Yusanto (2009), para ahli Barat sering melupakan bahwa semua itu sesungguhnya hanya dinisbatkan pada kategori-kategori demokrasi yang sangat artifisial, jauh dari subtansi demokrasi itu sendiri. Pemilu damai, transparansi, kebebasan, persamaan, dll hanyalah kategori-kategori yang sangat teknikal dan prosedural.

Bahkan Freedom House’s Annual Survey of Political Rights and Civil Liberties (dalam Lawrence E. Harrison, 2000), saat membuat indeks negara-negara demokrasi, sekadar merujuk pada satu kategori saja: faktor kebebasan. Indeks berskala satu (lebih banyak kebebasan) sampai tujuh (lebih sedikit kebebasan) itu berisikan dua hal.

Pertama: berkaitan dengan hak-hak politik: apakah para pimpinan pemerintahan dan anggota parlemen dipilih melalui pemilihan yang bebas dan bersih; apakah warga negara berhak berkompetisi dalam membentuk partai-partai politik dan organisasi lainnya; apakah ada suara yang berarti dari kelompok oposisi atau kesempatan lebih realistik bagi kelompok oposisi meningkatkan dukungannya.

Kedua: kebebasan sipil; termasuk kebebasan dan independensi media, kebebasan berbicara, lembaga peradilan, kesamaan di bawah hukum, lembaga yudikatif yang tidak diskriminatif, perlindungan dari teror politik, dan lain-lain.

Setiap tahun lembaga ini meneliti tingkat kebebasan sipil (civil liberties) dan akomodasi hak-hak politik (political rights) di 192 negara. Hasilnya disimpulkan dalam tiga kategori: “bebas”, “semi-bebas” (partly free) dan “tidak-bebas”. Makin bebas suatu negara, diasumsikan demokrasi semakin terjamin.

Dalam kategori yang lebih rinci, Robert Dahl, ahli kawakan demokrasi, dalam karyanya, Polyarchy (1971: 1-3), menyebut delapan syarat institusional bagi bangunan sebuah negara demokrasi: (1) kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; (2) kebebasan berekspresi; (3) hak memberikan suara; (4) eligibilitas untuk menduduki jabatan publik; (5) hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara; (6) tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; (7) pemilu yang bebas dan adil; dan (8) institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah bergantung pada suara-suara (pemilih, rakyat) dan ekspresi pilihan (politik) lainnya.
Jelas, kategori-kategori ini jauh dari subtansi demokrasi itu sendiri, baik dalam tataran teori maupun praktik. Dengan kata lain, kategori-kategori tersebut baru mencerminkan demokrasi ‘kulit’, bukan ‘isi’ demokrasi itu sendiri.

Subtansi Demokrasi

Secara teoretik, berdasarkan kesepakatan umum, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sebagaimana dinyatakan oleh mantan Presiden AS Abraham Lincoln. Karena itu, gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inilah sebetulnya inti sekaligus subtansi demokrasi secara teoretik.

Dalam ungkapan lain, menurut International Commision of Jurists dalam konferensinya di Bangkok, perumusan yang paling umum mengenai sistem politik yang demokratis adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas (Budiardjo, 2008).

Namun demikian, itu baru dalam tataran teori. Dalam tataran praktiknya tidaklah demikian. Dalam negara demokrasi, yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki: sekelompok penguasa saling bekerja-sama untuk menentukan kebijakan politik sosial dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya.

Di sisi lain, demokrasi yang dekat dengan semboyan “kebebasan, persamaan dan persaudaraan” dalam praktiknya juga selalu menyisakan ironi. Revolusi Prancis merupakan contoh terbaik dari ironi demokrasi ini. Di Prancis, demokrasi berubah menjadi alat bagi segelintir orang untuk memperdaya rakyat. Awalnya, banyak rakyat miskin di Prancis kala itu mendukung revolusi tersebut karena terkagum-kagum pada semboyan: “Liberte, Egalite, Franite”. Mereka berharap, Prancis akan menjadi pelopor bagi kehidupan negara paling demokratis.

Namun, sejarah membuktikan angan-angan tersebut tak pernah terwujud. Kemerdekaan (liberte) yang dimaksud ternyata hanya berlaku bagi kaum borjuis untuk memonopoli pasar, yang ada pada akhirnya menggulung habis semua potensi pengusaha lemah. Demikian pula persamaan (elagite) dan persaudaraan (fraternite).

Sebab itu, Revolusi Prancis sesungguhnya hanyalah revolusi kaum borjuis (bangsawan), bukan revolusi bagi keseluruhan rakyat demi demokrasi. Faktanya, kehidupan rakyat kecil sebelum dan setelah revolusi tidak berubah. Semua ini terjadi karena pada akhirnya segelintir orang itulah yang berdaulat, bukan rakyat.

Amerika Serikat—yang membangga-banggakan diri sebagai negara paling demokratis di dunia dan pejuang HAM yang hebat—ternyata juga menyimpan borok demokrasi. Senator AS Paul Findley lewat bukunya, Mereka yang Berani Bicara dan Diplomasi Munafik Ala Yahudi, membongkar dominasi Lobi Yahudi (AIPAC) dalam tubuh Kongres AS. Tidak seorang pun calon presiden AS yang bisa duduk di kursi kepresidenan tanpa direstui oleh Lobi Yahudi tersebut, tegasnya.

Lebih dari itu, sejarah telah membuktikan bahwa demokrasi yang diklaim Amerika hanya dijadikan alat untuk mengintervensi sekaligus menundukkan negara lain. Inilah sesungguhnya yang secara kasatmata dipraktikkan Amerika atas Dunia Islam, khususnya di Irak dan Afganistan. Kita masih ingat, salah satu alasan utama Amerika untuk menyerang dan menduduki kedua negara itu adalah demi sebuah ‘alasan luhur’: demokratisasi. Ironis, demi sebuah ‘agenda luhur’ demokratisasi, Amerika justru menggunakan cara-cara yang sangat tidak demokratis.

Anehnya, meski kebobrokan demokrasi demikian nyata, selalu ada pembelaan yang terkesan defensif dari para pengusungnya. Sudah terlalu sering kita mendengar, bahwa demokrasi memang bukan sistem ideal untuk mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem yang ada, demokrasilah yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistematik. Itulah yang tampak pada berbagai tulisan para pengusung demokrasi yang tetap masih menaruh harapan pada demokrasi.

Komarudin Hidayat, misalnya, pernah menulis, salah satu cacat bawaan demokrasi adalah bahwa Pemilu demokratis tidak selalu melahirkan presiden yang ideal. Namun menurut dia, sebagai sebuah sistem dan etika politik, demokrasi telah teruji sebagai pilihan terbaik karena lebih menjanjikan bagi kelangsungan dan stabilitas hidup bernegara secara beradab. Kitanya saja yang sering tidak sabar dengan sebuah proses dan prosedur demokrasi, apalagi saat calon pemimpin yang diunggulkan massa dinilai kurang bermutu (Kompas, 2/1/2004).

Adakah Negara Demokrasi?

Dengan realitas yang terkesan kontradiktif antara teori demokrasi dan praktiknya selama ini, tentu penting bagi setiap orang untuk bertanya: Adakah tipikal negara yang benar-benar demokratis? Dengan kata lain, adakah negara demokrasi itu?

Bagi seorang Muslim, pertanyaan tersebut penting untuk dijawab. Pasalnya, demokrasi saat ini bukan hanya milik negara-negara Barat sebagai penggagas sekaligus pengusung utamanya. Demokrasi kini telah menjadi bagian dari dinamika kehidupan politik kaum Muslim di seluruh dunia. Bahkan sebagian kalangan Muslim bukan hanya bangga menjadi bagian dari demokrasi.

Dalam kadar tertentu mereka siap memperjuangkan tegaknya demokrasi dan bahkan rela mati demi demokrasi. Ironisnya, pada saat yang sama mereka menolak hal-hal yang berbau formalisasi syariah, termasuk tentu saja wacana tentang negara syariah.

Jadi, bagaimana sebetulnya wujud negara demokrasi yang selama ini telah dianggap sebagai ’harga mati’ dalam sistem politik modern dewasa ini; apakah memang negara demokrasi betul-betul negara yang paling ideal? Jika ya, mana di dunia ini tipikal sekaligus pionir negara demokrasi? Ataukah negara demokrasi hanya ada dalam alam teori, tidak pernah benar-benar membumi?

Faktanya, sulit—jika bukan mustahil—bagi kita untuk menemukan tipikal negara yang benar-benar demokratis. Dengan menelaah praktik berdemokrasi di berbagai negara, akan ditemukan fakta umum dan merata di negeri-negeri pengusung demokrasi, baik di Barat maupun di Timur, bahwa demokrasi sering bertentangan dengan dirinya sendiri; bahwa ‘demokrasi praktik’ sering bertentangan dengan ‘demokrasi teori’.

Contoh yang paling mendasar, kedaulatan rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi dalam praktiknya selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Uniknya, hal ini merupakan gejala atau fenomena umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali. Kenyataan ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah anomali demokrasi, karena terjadi di Amerika dan Eropa sebagai kampiun demokrasi, ataupun di Indonesia yang baru-baru ini didaulat sebagai ‘jawara demokrasi’.

Selain itu, para pengusung demokrasi sering mengklaim bahwa demokrasi menjamin kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan; memberikan garansi kebebasan dan persamaan; serta menawarkan kemajuan dan keadaban. Faktanya, semua itu dusta belaka. Kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan yang dijamin demokrasi hanya berlaku bagi segelintir orang yang punya kuasa dan elit para pemilik modal.

Kebanyakan rakyat justru hidup di bawah jurang kemiskinan. Kebebasan dan persamaan yang digaransi demokrasi juga sering tidak berlaku, khususnya di negeri-negeri yang minoritasnya Muslim, termasuk di Amerika dan Eropa. Bahkan di Indonesia yang mayoritas Muslim, perlakukan diskriminatif terhadap umat Islam masih sering terjadi. Demikian pula terkait dengan kemajuan dan keadaban; dua hal ini sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan demokrasi.

Di negeri-negeri Muslim khususnya, demokrasi justru melahirkan keterpurukan di berbagai bidang: ekonomi, pendidikan, sosial, hukum/peadilan, dll. Di Amerika dan Eropa sendiri, demokrasi melahirkan ketidakberadaban, bahkan dalam kadar tertentu melahirkan perilaku-perilaku hewaniah ketimbang mencerminkan nilai-nilai insaniah.

Khusus terkait dengan Dunia Islam, Amerika dan Eropa bukan hanya bertindak tidak beradab, bahkan mereka melakukan tindakan biadab seperti membantai ratusan ribu kaum Muslim di Irak dan Afganistan, justru atas nama ‘niat mulia’: demokratisasi! Amerika dan Eropa juga membuktikan dirinya sebagai negara paling tidak demokratis dengan menjadi penyokong utama perampasan atas tanah Palestina sekaligus pembantaian ratusan ribu penduduknya oleh Israel sejak pendudukannya.

Semua fakta di atas seolah meneguhkan pernyataan-pernyataan jujur dari mereka yang secara jernih melihat demokrasi. Chandra Muzzafar, Direktur Just World Trust (LSM di Penang Malaysia), misalnya, dalam buku Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru memandang ide-ide demokratis adalah berasal dari Barat dan bersifat kolonis. Dalam bukunya itu, kurang lebih ia menulis, demokrasi hanyalah alat yang amat mencolok untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan ideologis dan ekonomi Barat yang sempit.

Tokoh Barat sendiri, seperti mantan Perdana Menteri Inggris di era Perang Dunai II, Winston Churchil—meski dia mengklaim demokrasi yang terbaik—mengeluarkan deklarasi yang berbunyi, “Democracy is worst possible form of government (Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan).”

Benjamin Constan juga berkata, “Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Jauh sebelum itu, di Yunani (Yunani kuno), tempat demokrasi itu berasal, tokoh pemikir dan filosof seperti Plato dan Aristoteles berpandangan bahwa demokrasi merupakan sistem yang berbahaya dan tidak praktis. Aristoteles bahkan menambahkan, “Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan orang banyak dapat mudah dipengaruhi oleh para demagog dan akhirnya akan merosot menjadi kediktatoran.”

Pernyataan-pernyataan di atas sesungguhnya hanyalah kesimpulan belaka dari realitas demokrasi di seluruh dunia. Baik Amerika yang dianggap sebagai kampiun sekaligus pendekar demokrasi maupun Indonesia yang pernah didaulat sebagai jawara demokrasi, dalam praktiknya tak lebih merupakan negara ‘kleptokrasi’; negara yang dikuasai ‘para maling’.

Sebab, di negara-negara demokrasi, yang selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang yang ‘bermental maling’. Merekalah yang telah ‘mencuri’ atau ‘merampas’ kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.

Walhasil, secara faktual, demokrasi ideal hanya ada dalam khayal, tidak pernah membumi, dan bahwa cita-cita mendirikan negara demokrasi memang hanya sebuah ilusi! []

Arief B. Iskandar adalah Penulis Buku Tetralogi Dasar Islam (2010) dan Editor Buku Ilusi Negara Demokrasi (2009), keduanya diterbitkan oleh Al-Azhar Press.