Frustasi Tak Akan Mengubah Apapun

Mendung gelap frustasi (keputusasaan) sedang melingkupi kehidupan sebagian kaum Muslim. Mereka merasa bahwa realitas tempat hidup mereka tidak dapat dielakkan, tidak ada jalan keluarnya, dan tidak mungkin bisa diubah sesuai dengan apa yang mereka yakini. Bahkan frustasi itu juga telah meliputi sebagian para penggerak perubahan yang benar. Mereka merasa bahwa perkaranya telah keluar dari batas kuasa dan kehendak mereka.

Faktor Penyebab Munculnya Frustasi

Sikap frustasi yang melingkupi sebagian kaum Muslim dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya:

Pertama, meluasnya kerusakan dan terasingnya agama. Hal itu menjadi sangat serius akibat runtuhnya Daulah Khilafah. Kemungkaran menjadi sesuatu yang biasa dan tampak menonjol di negeri-negeri Muslim. Di bawah pemerintahan sistem kufur di negeri-negeri Muslim, pada sebagian besar medan kehidupan, kemakrufan bahkan dianggap mungkar, dan kemungkaran dianggap sebagai makruf. Nabi saw. telah mengabarkan kondisi agama seperti ini dengan sabdanya:

«إِنّ اْلإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْباً وَسَيَعُوْدُ غَرِيْباً كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ»

Agama ini (Islam) pada awalnya adalah sesuatu yang (dianggap) asing dan akan kembali (dianggap) asing sebagaimana awalnya. Karena itu, berbahagialah orang-orang yang terasing. (HR at-Tirmidzi).

Kedua, adanya berbagai kesulitan dalam melakukan perubahan dan lambannya pergerakan perubahan itu dalam pandangan mereka yang frustasi. Dalam pandangan mereka yang frustasi, masa depan tidak akan memunculkan harapan nasib yang baik.

Ketiga, adanya berbagai tantangan baru. Berbagai tantangan baru mengisyaratkan bahwa masa depan itu tidak ada yang mengetahui kondisinya kecuali Allah Swt. Di bawah era globalisasi dan dunia yang semakin terbuka, karakteristik-karakteristik masyarakat akan lenyap. Kemungkinan masyarakat untuk tetap menjaga pengaruhnya terhadap anak-keturunannya akan semakin lemah, khususnya dalam kondisi ketika Daulah Islam telah lenyap, dan akan menjadi terbatas di bawah ombak yang menghanyutkan dari serangan yang bersifat internasional.

Keempat, adanya perbedaan antara kekuatan dan kemampuan yang ada dalam aktivitas perubahan total (taghyîr). Betapapun demikian, kita dapat mengelompokkannya dalam dua kutub: (1) kekuatan para pengemban dakwah yang ingin mengembalikan umat pada akar konsep dan metode syar‘i-nya; (2) kekuatan kekufuran yang ingin menjerumuskan umat ke arah kerusakan.

Faktanya, kekuatan kufur yang mendorong masyarakat pada kerusakan lebih besar dan lebih banyak menguasai kemampuan. Sebaliknya, kekuatan para pengemban dakwah yang ingin menarik dan mengikat umat pada akar Islam serta ingin mengembalikan kemuliaan dan keagungan mereka adalah lebih rendah. Perbedaan yang sangat besar inilah yang menggiring mereka yang frustasi itu melupakan kebenaran bahwa pertolongan Allah (nashr Allâh) adalah sekutu bagi pengemban kebenaran, sekalipun jumlah mereka sedikit.

Kelima, metode berpikir dan omongan manusia. Metode berpikir mereka, yakni orang-orang yang frustasi, selalu melihat sisi kezaliman dan keburukan semata. Adapun omongan mereka biasanya bersifat kritik dan memprediksi kesialan. Bahkan deskripsi positif mereka ubah menjadi deskripsi negatif.

Itulah beberapa faktor yang mengantarkan pada sikap frustasi pada sebagian kalangan. Ini adalah perkara yang masih rendah jika melanda masyarakat awam. Akan tetapi, masalahnya, gejala frustasi ini telah menerobos dan merasuki kelompok mereka yang sedang ditungu untuk bergabung dalam aktivitas perubahan total (taghyîr); telah meliputi dan menguasai sebagian orang yang justru menjadi tumpuan harapan umat akan perubahan total.

Dampak Frustasi

Sesungguhnya ‘pohon frustasi’ itu hanya akan menghasilkan buah yang pahit. Di antara buah pahit frustasi itu adalah:

Pertama, frustasi tidak mungkin mengubah apapun. Rasa frustasi tidak akan mendorong orang untuk berbuat, menggerakkan orang yang diam, ataupun membangkitkan keinginan. Bahkan frustasi itu hanya akan membuat pengidapnya hanya menunggu akhir yang menyedihkan: ia tidak akan berbuat apapun; tidak akan berpikir, berusaha mensiasati, dan hanya akan terus menunggu kematian dan kesudahan.

Kedua, frustasi akan mengendurkan orang-orang di sekitarnya dan tidak menghentikan bahaya atas dirinya. Orang yang frustasi selamanya akan berbicara dengan orang lain dengan sejumlah ungkapan semisal, "Tidak ada harapan lagi," "Perkaranya lebih besar daripada apa yang Anda bayangkan, jadi Anda jangan terlalu menyibukkan diri dengan perkara semisal itu," "Pikirkanlah urusan diri Anda sendiri," dll.

Ketiga, frustasi akan melahirkan pola pikir (‘aqliyyah) memahami berbagai peristiwa secara keliru yang akan berdampak pada pola jiwa (nafsiyyah) pengidap rasa frustasi itu. Frustasi biasanya akan mendorong pengidapnya membayangkan suatu bahaya yang pada dasarnya belum tentu akan terjadi; menganggap mimpi sebagai realitas yang terindera. Ini terkait apa yang tidak terjadi. Adapun terhadap peristiwa yang terjadi, frustasi akan membuat pengidapnya tidak lagi memandang peristiwa sebagaimana adanya (obyektif). Jika Anda menyampaikan berita-berita mengenai kemajuan dakwah, Anda akan melihat dia meremehkan berita itu, dan meragukan kebenarannya.

Keempat, frustasi akan membuat pengidapnya selalu melihat pada aspek negatif dan membesar-besarkannya. Orang-orang frustasi itu selamanya akan memandang sisi gelap ini dan menyebarkannya. Sebaliknya, mereka akan menyurutkan aspek positif sekaligus meremehkan dan mengecilkan artinya.

Sebenarnya kungkungan frustasi pada akhirnya hanya akan melahirkan orang-orang yang diam saja dan tidak berbuat apa-apa. Mereka ini tidak mungkin mengubah apapun. Akibatnya, perubahan total yang kita inginkan dan kita tunggu akan terus tertunda.

Bagaimana agar Kita Bebas dari Frustasi?

Pertama, kita harus memahami bahwa frustasi itu tercela secara syar‘i maupun menurut akal sehat kita. Menurut akal sehat, bagaimanapun buruknya realitas yang ada, suatu aktivitas perubahan pastilah meninggalkan pengaruh. Adapun secara syar‘i, frustasi tidak dinyatakan di dalam nash syariat kecuali dalam posisi tercela; apalagi jika frustasi itu sampai pada tingkat berputus asa dari rahmat Allah, itu termasuk sifat orang kafir. Allah Swt. berfirman:

﴿إِنَّهُ لاَ يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ﴾

Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. (QS Yusuf [12]: 87).

Satu hal penting, kita harus memahami bahwa frustasi (putus asa) tidak mungkin mendorong kemajuan. Kita memang harus memahami betapa buruknya realitas kita saat ini, baik realita individu atau realita umat; juga memahami seberapa jauh tantangan yang akan kita hadapi, seberapa jauh bahayanya, dan seberapa jauh penyimpangan yang menimpa umat. Akan tetapi, pemahaman itu tidak boleh melampaui batasnya, karena hal itu tidak mungkin mendorong kita untuk berbuat, malah justru akan membuat kita diam saja dan menyerah.

Kedua, seimbang dalam kritik. Sesungguhnya kritik itu harus bersifat obyektif dan seimbang. Ketika kita menyampaikan kritik dan melewati batasnya, maka hal itu akan mengantarkan pada frustasi. Ketika seseorang yang meminum khamr didatangkan ke hadapan Nabi saw., dan beliau mencambuknyanya, ada seorang laki-laki yang mencaci orang itu. Nabi saw. kemudian bersabda:

«لاَ تَعِيْنُوْا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ»

Jangan kalian membantu setan menguasainya. (HR al-Bukhari).

Sanksi yang layak telah diterimanya, yaitu hukuman cambuk. Ketika mereka (orang-orang) mencaci, mencela, dan melaknatnya, maka hal itu akan membuat setan lebih mencengkeramnya. Ini terkait dengan individu.

Adapun berkaitan dengan umat, Nabi saw. juga telah melarang kita melampaui hal itu. Nabi saw. pernah bersabda:

«إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكَهُمْ»

Jika seorang laki-laki berkata, "Celakalah manusia,” maka ia telah mencelakakan mereka. (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).

Berkaitan dengan hadis di atas, Imam al-Khathabi berkata, yakni ia telah menambah buruk kondisi mereka. Bahkan hal itu sering mengantarkan dirinya pada kebanggaan akan diri sendiri dan pandangan bahwa ia lebih baik daripada mereka.

Ketiga, memahami kebenaran bahwa Allah Swt. tidak membebani kewajiban kepada kita kecuali sebatas apa yang kita mampu. Allah tidak menetapkan tujuan/target yang mustahil kita capai. Apalagi Allah Swt. telah memuliakan kita dengan tugas mengemban risalah terakhir dan mewakilkan kepada kita tanggung jawab kepemimpinan umat manusia untuk membawa mereka pada petunjuk. Ini saja sebenarnya cukup untuk mengatasi rasa frustasi.

Keempat, memahami nash syariat yang menunjukkan akan dimenangkannya Islam. Allah Swt., misalnya, berfirman:

﴿وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ﴾

Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang Mukmin. (QS ar-Rum [30]: 47).

﴿إِنْ تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ﴾

Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian. (QS Muhammad [47]: 7).

﴿وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ﴾

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. (QS an-Nur [24]: 55).

Di dalam as-Sunnah, kita juga akan menjumpai banyak sekali janji itu. Nabi saw., antara lain, pernah bersabda:

«لَيَبْلُغُنَّ هَذَا اْلأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيِلَ وَالنَّهَارَ وَلاَ يَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللهُ هَذَا الدِّيْنَ»

Sungguh, urusan ini (dakwah Islam) pasti akan sampai (ke seluruh alam) sebagaimana sampainya siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun, baik di tengah penduduk kota maupun di tengah penduduk kampung, kecuali agama ini masuk ke dalamnya. (HR Ahmad).

Pemahaman terhadap nash-nash di atas dan semacamnya sejatinya akan menghilangkan rasa frustasi.

Kelima, memahami bahwa mengatasi frustasi merupakan metode untuk sampai pada solusi, dan bahwa harapan/pertolongan selamanya akan datang setelah datangnya berbagai kesulitan. Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt.:

﴿حَتَّى إِذَا اسْتَيْئَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا﴾

Hingga jika para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami. (QS Yusuf [12]: 110).

Keenam, memahami bahwa berbagai peristiwa yang lahiriahnya buruk sejatinya sering merupakan kebaikan. Allah Swt. berfirman:

﴿فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئَاً وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْراً كَثيراً﴾

Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisa’ [4]: 19).

Pada peristiwa Hijrah, Nabi saw. melaksanakan sebab-sebab fisikal. Beliau bersama sahabatnya, Abu Bakar, bersembunyi di Gua Tsur, lalu keduanya pergi melanjutkan perjalanan. Kemudian Suraqah berhasil menyusul keduanya hingga mendekati mereka. Orang yang membaca peristiwa itu saat ini, yang menjalani hidupnya dan limbung, maka yang langsung terlintas dalam benaknya adalah bahwa bahaya itu akan terjadi.

Keguncangan dan kekhawatiran terhadap keselamatan Nabi saw. juga menimpa Abu Bakar. Adapun Nabi saw. memandang peristiwa itu dengan diterangi cahaya Ilahi. Tiba-tiba, kaki-kaki kuda Suraqah terjerembab, dan Nabi saw. memang mendoakan demikian. Peristiwa ini pada awalnya tampak sebagai peristiwa buruk, tetapi berubah menjadi sebab pertolongan kepada Nabi saw. dan sahabatnya.

Orang-orang yang optimis adalah mereka yang di tengah peristiwa-peristiwa itu mencari berita gembira. Mereka bukanlah orang-orang yang dikuasai rasa frustasi dan kelemahan. Ketika kita menghidupkan ruh optimis, maka peristiwa-peristiwa yang menghadang kita harus kita perlakukan secara seimbang. Benar, kita hidup di alam angan-angan (harapan), dan kita tidak melupakan bahaya-bahaya yang mungkin muncul.

Akan tetapi, jika kita menghendaki perubahan total (taghyîr), maka hendaknya kita mencari aspek-aspek dan celah-celah yang darinya kita mungkin bertolak ke arah perubahan total hingga sampai pada tujuan yang kita maksud.

Di sini kami ingin memberikan satu contoh. Ketika Imam Ahmad ra. dibawa untuk dicambuk dalam peristiwa fitnah yang menimpa beliau, dan beliau dimasukkan ke dalam penjara bersama dengan para pencuri dan pembegal jalanan, salah seorang dari mereka menghentikan beliau dan berkata, "Apakah Anda mengenal saya?" Beliau menjawab, "Tidak." Lalu orang itu menceritakan kepada beliau pencurian dan pembegalan yang sering ia lakukan. Ia kemudian berkata, "Aku telah dicambuk sekian kali dalam sejumlah kasus pencurian, dan itu tidak membuatku kapok untuk mencuri. Adapun Anda, Anda dicambuk karena kebenaran. Karena itu, Anda lebih utama daripada saya untuk tetap teguh di atas kebenaran itu."

Ketujuh, mengambil pelajaran dari sejarah. Ketika kita membaca sejarah, kita akan menjumpai bahwa jalan keluar itu selalu datang setelah kesempitan dan kesusahan. Di dalam Sirah Nabi saw. banyak terdapat contoh. Di antaranya:

1. Peristiwa Hijrah.

Kaum musyrik benar-benar telah mengepung rumah Nabi saw. hingga beliau tidak tidur di rumah beliau dan keluar bersama sahabat beliau ke Gua Tsur untuk bersembunyi, lalu keluar ke Madinah melalui jalan yang tidak biasanya. Kaum musyrik telah mengerahkan kekuatan mereka untuk mendapatkan Nabi saw. dan sabahatnya, hidup atau mati. Saat itu keadaannya telah sampai pada kesulitan luar biasa. Apa yang terjadi kemudian? Kaum Muslim merasa tenang, mereka berhasil mendirikan negara, serta membangun masjid dan melaksanakan shalat dengan penuh ketenteraman.

2. Peristiwa Perang Ahzab datang setelah kesedihan menimpa kaum Muslim akibat kekalahan pada Perang Uhud. Kaum Quraisy ingin menumpas habis kaum Muslim. Mereka lalu membangun pasukan besar. Ribuan pasukan yang terdiri dari Quraisy dan sekutunya datang dan mengepung Madinah. Pada saat yang sama, kaum Yahudi menyerang dari arah belakang kaum Muslim. Akan tetapi, Allah Swt. kemudian memberikan pertolongan-Nya kepada kaum Mukmin. Allah Swt. menggambarkan kondisi ini:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ ريِحاً وَجُنُوداً لَمْ تَرَوْها﴾

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepada kalian ketika datang kepada kalian pasukan, lalu Kami mengirimkan kepada mereka angin topan dan pasukan yang tidak dapat kalian lihat. (QS al-Ahzab [33]: 9-11).

3. Perdamaian Hudaibiyah dan syarat-syaratnya telah membuat sebagian sahabat merasa sempit. Akan tetapi, kebaikan perjanjian damai itu baru tampak jelas dalam kisah Abu Bashir dan dalam berubahnya Perdamaian Hudaibiyah itu menjadi pembuka jalan bagi Penaklukan Makkah (Fath Makkah).

4. Nabi saw. wafat dan musibah menimpa kaum Muslim. Kabilah-kabilah Arab murtad keluar dari Islam. Tidak tersisa kecuali Madinah, Makkah, Thaif, dan orang-orang yang benar di sekitar mereka. Bahkan sekelompok dari mereka merasa frustasi. Kemudian Allah memberikan jalan keluar. Dalam masa dua tahun beberapa bulan Kekhilafahan Abu Bakar, seluruh jazirah Arab telah tunduk, dan orang-orang yang murtad telah kembali kepada Islam. Kemudian mulailah terjadi penaklukan atas Persia dan Romawi.

Inilah contoh-contoh yang dimiliki umat ini. Pembacaan terhadap sejarah ini akan memberikan banyak pelajaran dan ‘ibrah kepada kita, bahwa Allah Swt. pasti akan selalu menolong Islam dan para pejuangnya yang lurus dan ikhlas.

Ya Allah, kami memohon perlindungan kepada-Mu dari rasa frustasi (putus asa) terhadap rahmat dan karunia-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Mendengar dan Maha Menjawab Doa. []

Arief B. Iskandar, Redaktur Majalah Al-Waie