Polkinghorne, Kita dan Nasib Islam

Tidak sengaja membaca sebuah majalah ilmiah terbitan New York membuat saya menemukan perbedaan Barat dan Islam dalam arti fundamental –untuk tidak dikatakan primitif. Bahwa materialisme, yang mewujud dalam logika dan usaha sains (scientific effort), tidak akan pernah kalah oleh sesuatu yang bernama Tuhan.

Manusia dan otaknya adalah kekal, dan Tuhan adalah bayang semu para penulis fiksi yang gila berfantasi –Begitu bunyi peradaban barat yang saya tangkap dari halaman kolom pembaca majalah Discover bulan April 2011. Sangat menyesakkan. Sangat bertolak belakang dengan logika Al Qur’an dan tentu saja peradaban Islam yang menyeluruh.

Kisah bermula dengan kekagetan redaksi majalah Discover yang pada bulan lalu kebanjiran surat protes dari ilmuwan, profesor dan ahli di berbagai kota. Protes itu dilayangkan dalam bentuk surat pembaca. Mereka mengkritik redaksi yang memuat artikel fisikawan John Polkinghorne tentang fisika kuantum yang berjudul “Physics of The Divine”.

Artikel ini pada dasarnya adalah sebuah tulisan yang objektif dan berdasar dari pengamatan teliti John Polkinghorne, ditambah dengan hati nurani sang fisikawan. Ia, yang tentu saja non-muslim, mendapati bahwa fenomena mekanika quantum yang tidak dapat diprediksi, bahkan dengan ketelitian paling rumit, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terkait antara alam dengan Tuhan.

Teori chaos, yang memprediksi ketidakteraturan sebagai keteraturan yang tak terprediksi,membuktikan ada sesuatu yang dimulai dengan desain, ada tujuan tertentu, dan tidak ada kata yang lebih tepat selain dengan Tuhan, untuk menjelaskan semuanya.

Namun, sambutan pembaca terhadap tulisan ini adalah miring. Mereka malah mengkritik sang fisikawan yang tidak fair dalam mengungkapkan pemikirannya. Para pembaca majalah yang terutama berbasis pada komunitas ilmuwan Barat melayangkan surat, menunjukkan sentimen mendasar bahwa agama dan sains tidak dapat disatukan.

Seorang profesor dari Louisiana State Univ. menulis, “tidak masalah jika Polkinghorne membahas itu sebagai keyakinannya sendiri, namun bukan berarti dia dapat menyatukan fisika dengan agama”. Pembaca lain menulis “Itu tidak membuktikan Tuhan. Bisa jadi memang membuktikan adanya kecerdasan yang mendesain alam semesta, namun kita tahu itu adalah ‘hasil praktikum mahasiswa fisika tahun ketiga di alam lain’. Bukan tuhan. Tuhan yang mistik itu tidak perlu.”

Apakah ini yang dinamakan dengan peradaban barat? Apakah memang Tuhan tidak boleh dicampuri dengan sains? Lalu bagaimana kehidupan ini berasal? Memang inilah perspektif barat yang materialistis. Tidak perlu menambah pertanyaan lebih lanjut. Kisah Polkinghorne di atas adalah satu pembuktian baru, atau penguatan terhadap premis; bahwa peradaban barat memang tidak mempercai tuhan sebagai sesuatu yang teraplikasi.

Sejak zaman renaisans, Tuhan adalah cerita, dan adalah sebuah pilihan mempercayainya atau tidak, apalagi mengaplikasikan perintah-Nya. Tidak ada urusan keseharian yang dapat diatur menggunakan sesuatu yang mengatasnamakan tuhan. Kehidupan ini memiliki aturan ilimiah, dan harus didekati secara ilmiah pula. Begitulah sesungguhnya narasi dari apa yang kita sebut ‘peradaban barat’.

Kita bisa menelusuri awal dari sejarah peradaban ini sebagai penolakan terhadap ketidakjelasan konsep ketuhanan Kristen Eropa Abad Pertengahan, berlanjut kepada pemberontakan terhadap gereja, lalu perselingkuhan dengan Zionisme. Trauma akan kekejaman gereja ortodoks terhadap para akademisi membuat barat hari ini semakin risih dan acuh dengan segala hal yang menyangkutkan agama dengan sains.

Maka, barat hari ini adalah sekuler liberal. Ia telah gagal membawa ketuhanan yang utuh sebelum kita harus mengujinya. Sayangnya, peradaban inilah yang berkuasa saat ini.

Dalam banyak aspek, dunia telah benar benar tekuk padanya. Di ekonomi kita menemukan kapitalisme, di budaya kita menemukan hedonisme, di politik kita menemukan paradoks demokrasi –yang tentu saja tidak memihak yang tidak menguntungkan. Tidak perlu lagi mempertanyakan kerugian dari permasalahan mendasar peradaban ini; keterasingan, kerusakan lingkungan, kebobrokan moral, meskipun memang tidak semuanya dapat disalahkan pada barat –ini adalah akumulasi, dan sekulerisme liberalisme memberi sumbangan besar.

Sayangnya lagi, kita belum memiliki harapan terhadap sesuatu di luar barat yang akan membawa kembali nilai ketuhanan pada dunia kita, dan betul-betul hadir untuk memperbaiki permasalahan peradaban itu. Jika yang dimaksud adalah Islam, kita akan juga menemukan sesuatu yang parah sedang menggerogoti sisi dalam Islam sendiri.

Kemunculan akademisi berlatar Islam namun memiliki corak barat dalam pemikirannya adalah kerugian besar. Dalam kasus Polkinghorne, kita akan lebih bahagia menemukannya masuk Islam daripada mengetahui orang-orang yang telah Islam bermunculan dengan ide-ide liberalismenya.

Sementara itu, dalam usaha menuju kekuatan peradaban, kita sendiri belum punya banyak modal. Kita akan dihabisi betul jika membantah pemikiran barat, tanpa menggunakan sesuatu untuk digunakan sebagai argumen. Sebagai contoh, seorang ilmuwan biologi di Alaska telah mendedikasikan hidupnya untuk menemukan kecanggihan alam dalam bentuk evolusi selama lebih dari empat puluh tahun (dan tentunya banyak lagi ilmuwan lain).

Dengan modal itu, maka menjadi mudah diterimalah –dan juga menjadi lumrahlah, jika ia berpendapat bahwa “Aku membuktikan adanya evolusi, dan hidup ini memang berubah secara ilmiah, tanpa campur tangan sesuatu yang mistik.” Kita tidak dapat serta merta mengatakan “evolusi itu kebohongan” lalu mengeluarkan dalil-dalil Al Quran. Tentu saja akan ada cemoohan. Atau mungkin juga muncul pertanyaan, “Apa yang telah anda lakukan?”

Inilah pertanyaan kita. Apa yang sudah kita lakukan? Empat ratus tahun terakhir islam dicemooh lantaran tak lagi menyumbang dalam apa yang dinamakan dengan peradaban modern. Alih-alih memperbaiki peradaban dunia yang melenceng, kita bahkan tak mampu mengatasi konflik di negeri kita sendiri. Di Libya, di Iraq. Kita dibantai di Palestina.

Dan tidak ada lagi kehormatan untuk darah ribuan muslim. Hari ini dunia benar-benar menertawakan apa yang dinamakan dengan Islam dan muslimin. Lebih mudah mengasosiasikannya dengan terorisme. Apakah ini sebuah keluhan?

Tentu saja lebih baik menjawab dengan hati nurani. Atau kita memang telah dikecoh untuk hanya menonton life streaming pernikahan pangeran William dan Kate Middleton. Atau mungkin juga remaja kita telah capai menangis untuk sang maha bintang Justin Beiber. Dan kita tidak lagi punya harapan untuk bangkit. Ah benarkah? Silahkan jawab sendiri.

Yogya-Magelang, 26/4/2011

Ashif Aminulloh Fathnan, Mahasiswa Teknik UGM