“Islam Yes, Partai Islam Yes”: Hegemoni Wacana, Cara Mudah Melumpuhkan PKS

Pada wawancara itu, sekelompok umat berdesak-desakan di belakang Rahma Sarita. Ada yang mau masuk TV, mengibarkan baju Argentina, sampai menyerobot tubuh Rahma Sarita karena ingin diwawancara. Apa mereka tidak tahu bahwa Rahma itu perempuan dan ada Hijab dalam Islam, kemana hasil pengajian selama ini? Padahal mereka adalah utusan-utusan terhormat dari masing-masing daerah atas nama mengemban misi “dakwah”

Jika anda ingin menaklukan kekuasaan, anda tidak perlu menyerang fisiknya, tapi jajahlah wacananya

Kita ketahui bersama, Partai Keadilan Sejahtera telah melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) keduanya di Hotel Ritz Charlton 16-20 Juni ini. Hotel super Mewah berbandrol 8 Miliyaran rupiah ini menjadi tempat PKS cuci muka dari wajah ekslusifnya selama ini. Menurut sekretaris Organize Comitte (OC) Munas, Yudi Widiana Adia, seperti yang diberitakan detiknews.com, tujuan PKS memilih hotel mewah ini untuk meningkatkan citra partai. Jadi bukan semata-mata dalih harga diskon, yang kemudian pernah dibantah Pihak Ritz Carlton sendiri, seperti yang diklarifikasi ke media Indonesia Monitor.

Beberapa orang sepenuhnya tidak bisa menyangka perubahan drastis PKS dari waktu ke waktu. Sejak era sebelum berdirinya Partai keadilan (PK), basis masa Islam berkarakter Tarbiyah ini sudah melayangkan pro kontra apakah kemudian Tarbiyah harus nyemplung ke pusara Politik Praktis atau tidak, mengingat wilayah ini berada pda dua sisi mata uang: Godaan dunia dan Kuasa.

Akhirnya, berdirinya PK disertai dengan catatan. PK betul-betul diamanahi umat untuk membawa Islam ke wilayah tertinggi. Dalam arti meninggikan kalimat Tauhid tapi tidak meninggalkan karakteristik tarbiyah yang sangat istikomah untuk melebarkan syariat Islam.

Namun, buah sudah jatuh ke tanah… setangkai demi setangkai dahan mulai tumbang.

Kontroversi Amerika dan Azra

Banyak hal menarik untuk kita cermati pada acara Munas PKS II kemarin. Acara yang menghabiskan dana Miliaran rupiah di Hotel dengan bandrol Amerika tersebut, ternyata tidak banyak menghasilkan gagasan brilian. Tidak pula melahirkan hegemoni pemikiran Islam yang layak menjadi acuan. Apalagi workshop pemikiran Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb, sebaliknya, Munas dari partai bernomor 8 itu malah menelurkan ide-ide yang menyulut kontroversi di tengah publik.

Belum lepas rasanya, statemen-statemen petinggi PKS yang sarat ”kekanak-kanakan”, seperti ”agenda syariat Islam sudah tidak relevan lagi” atau ”apalah arti sehelai kain”, kini PKS malah terang-terangan mengatakan untuk menerima orang non Muslim sebagai pengurus, ingat bukan hanya sekedar sebagai anggota.

Tidak hanya itu, PKS pun mengundang Kedubes Amerika Serikat (AS) untuk tampil membahas Islam di mata AS. Menurut pejabat PKS, hal ini untuk menindak lanjuti pidato Obama di Umiversitas Al Azhar beberapa waktu silam. Ya negara yang justru membunuh umat muslim di Afghanistan, Irak, Somalia, Sudan, dan juga Palestina.

Para pengkritik kebijakan PKS itu justru hanya ditanggapi singkat oleh Ketua Majelis Syura PKS, bahwa ”Kita memandang Amerika sebagai bangsa bukan Rezim”. Padahal kita tidak bisa melepaskan bahwa Obama sekarang tidak hanya sebagai sebuah bangsa AS, tapi juga Rezim Yahudi Kufur yang tengah berkoalisi dengan Israel untuk membumi hanguskan Gaza.

Dalam Munas kemarin, PKS pun juga memberikan Award kepada Azyumardi Azra. Menurut Hilmi Aminuddin, Azyumardi Azra dinilai sebagai tokoh cendekiawan muslim yang memiliki analisa politik yang cerdas dan tajam. Padahal yang terjadi di medan sesungguhnya justru sebaliknya. Sebagai alumnus UIN Syarif Hidayatullah, saya mengenal baik pemikiran beliau. Publik mesti mengenal siapa Azyumardi Azra.

Tokoh yang dianggap aktor Pemurtadan di IAIN menurut KH. Hartono Ahmad Jaiz ini, malah terkenal dengan gagasannya yang sarat liberalisme Islam. Bahkan menurut, cendikiawan muslim Adian Husaini, seperti dikutip oleh voa-islam.com, Azyumardi Azra menganggap Kebangkitan Islam ditandai dengan toleransi dan gagasan pluralisme. Islam gaya Timur Tengah justru ‘ancaman Islam’.

Selanjutnya, Adian mencontohkan, faham pluralisme agama (menyamakan semua agama) yang dibanggakan Azra karena kini tumbuh di Indonesia, padahal itu seharusnya sangat harus diprihatinkan, bukan dibanggakan. Makanya, Adian sampai mengatakan, Azra telah menelan mentah-mentah pernyataan orang Israel, yang hal itu sangat disayangkan, lalu Adian mempertanyakan, apakah itu untuk menjilat Barat.

Entah berhubungan dengan sikap PKS yang semakin Plural atau tidak, gelar itu justru disematkan ke Azra pada sebuah pargelaran ”Suci” yang dihadiri seluruh petinggi PKS dari Sabang sampai Merauke. Karena jika melihat statemen Hilmi Aminudin bahwa ”Azyumardi Azra dinilai sebagai tokoh cendekiawan muslim yang memiliki analisa politik yang cerdas dan tajam, itu sepertinya semakin memperkokoh moto ”baru” PKS, ”Bersih, Peduli, dan Plural”

Terjajah Hegemoni Posmo

Keterbukaan dan Keinklusifan PKS adalah pukulan telak dan tawa lebar penganut liberalisme. PKS memang telah terjajah wacananya. Kekeliruan PKS adalah kesalahannya merespon tantang kaum liberal yang menyatakan Islam itu sempit dan tidak maju. Syariat Islam adalah Fundamentalis dan moderat adalah humanis. Demokrasi adalah Hak Asasi Manusia, sedangkan Tauhid adalah anomali.

Kaum liberal dan musuh-musuh Allah, tahu betul bagaimana menundukkan Jamaah-jamaah Islam. Kegigihan mereka membaca buku dan diskusi, tinimbang kader PKS sendiri mungkin membuat mereka memiliki wawasan dalam mengaburkan definisi-definisi. Ini selaras seperti apa yang diungkap oleh Ahmad Thompson dalam bukunya Sistem Dajjal. Bahwa karakteritik sistem kafir ini ialah mengaburkan definisi Normal dan Abnormal. Legal dan illegal. Kaum muslim sebisa mungkin hanya menerima definisi dari Sistem Dajjal yang sesuai kepetingin sistem kafir tersebut.

Akhirnya, kita tanpa sadar tergiring mereduksi identitas muslim kita. Umat muslim seperti mengalami internal defeat dalam membuka lebar-lebar status keislamannya. Naudzubillah

Selanjutnya, berhubungan dengan terjajahnya PKS oleh Hegemoni Posmomodernime. Bisa terlihat dari ucapan Sekjen PKS dalam wawancara dengan Rahma Sarita dari Tv One. ”Bahwa diskusi Islam dan Nasionalis sudah selesai, kami tidak mau dibatasi pada hal itu, kami ingin melangkah maju menuju internasionalisme partai.”

Selain itu banyak pula militansi PKS tersandar pada idioma ”Yang penting amal”. Amal memang penting. Namun jelas sekali bahwa perbedaan kita dengan orang Kristen yang juga suka ”beramal”, adalah dari faktor keimanan. Amal selalu berkaitan dengan Iman, lalu buat apa Allah menerjunkan kaum Kristiani ke neraka jahanam jika mereka selama di dunia juga banyak beramal? Karenanya moto-moto posmo, juag hampir mirip demiikian, ”Tidak perlu beragama, yang penting jadi orang baik.”

Menurut Michel Foucault untuk menaklukan Kekuasaan dan kelompok, anda tidak perlu memberangus fisiknya, anda tidak perlu menghancurkan tubuhnya, tapi jajahlah wacananya. Wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Distribusi wacana ketengah masyarakat pada era post-moderen ini, dilaksanakan secara strategis melalui media, baik itu media cetak maupun elektronik.

Dengan demikian, seharusnya PKS sadar. Partai ini dahulu besar justru atas keidentikannya sebagai basis masa Islam yang genuine tinimbang partai Islam lainnya. Basis Islam yang lantang menyuarakan syariat Islam. Publik yang pamrih harap terhadap PKS, dulu berbondong-bondong mengelukan PKS, berharap wajah Indonesia berubah manis tersentuh cita-cita Islam. Keringat para umat muslim yang memberikan hidup dan matinya kepada Allah akan menjadi saksi bahwa cita-cita dakwah itu akan terperi walau godaan dunia datang menerjang

Koalisi Permanen dengan Kekuasaan Sekular-Neoliberal

Hal yang perlu dicermati kemudian, bagaimana PKS begitu istiqomahnya tidak memiliki izzah selalu merapat ke Cikeas. Bahkan Koalisi telah permanen sampai 2014, seperti ditegaskan duet maut Hilmi Aminuddin dan Anis Matta. Permasalahannya, pemerintahan SBY, jelas-jelas tidak bersahabat dengan Islam. Bagaimana puluhan Umat Islam dibunuh atas dalih terorisme. Mereka dipenjara, difitnah, dan dipasung kebebasannya. Apakah SBY bertindak? Tidak, SBY malah bungkam, dan membiarkan densus sampai hari ini mengobarak-abrok gerakan Islam.

Tapi koruptor kakap dibiarkan bebas. Sri Mulyani melenggang tanpa dosa setelah meraup banyak dosa yang membuat miskin bangsa. SBY pun tidak pernah terbersit pun untuk tunduk dalam ketetapan Allah dan lebih memilih tunduk pada Asing. Lihatlah sikap SBY yang datar dalam membela Palestina. Hanya satu-dua kata dilontarkan demi meredam arus amarah umat Muslim Indonesia. Tapi petinggi PKS seperti punya kaca mata batin yang seakan-akan bisa melihat panorama sesungguhnya ketimbang masyarakat umum. Mereka-mereka yang mengritik PKS, bisa jadi dianggap memfitnah, terpengrauh zionis, hingga tidak taat.

Penulis menjadi teringat bahwa Sayyid Quthb mengecam umat muslim yang ”cengeng” dan ”manja” dengan menjadikan diri sebagai budak-budak dunia. Sayyid Quthb dengan jelas menulis Satu Bab Penuh mengenai umat Muslim, kelompok, jamaah, yang memilih dirinya menjadi alas kaki dunia dengan mengabdi pada raja-raja Sekular. Berkoalisi dengan ekuasaan thaghut yang memfitnah dan membunuh umat Islam, apalagi mempermanenkan kerjasama jahili itu sampai waktu bertahun-tahun. Sayyid Quthb memberi judul Bab itu dengan nama yang sangat tegas: Pajak Kehinaan!

Saya menerjemahkannya bahwa mereka-mereka itulah yang akan membayar pajak kehinaan, yang menjadikan pipinya sebagai alas untuk diinjak Kebathilan. Yang menjadi budak hina-dina di mata Allahuta’ala, dan selalu tampil manis di depan penguasa Jahili. Ia lebih memilih untuk merasakan hangatnya belaian raja-raja dunia, ketimbang panasnya Api neraka

Padahal dakwah pasti akan mengalami benturan, dimana kekuatan Al Haqq akan berkonfrontasi dengan Al Bathil. Di sini, Islam atau jamaah Islam tidak bisa mengambil jalan damai, meletakkan Kebenaran untuk berkompromi dg kebathilan. Memadukan thesa dan anthithesa antara Islam dengan kejahiliyahan (baca: Inklusifisme). Simpul-simpul Rabbani itu justru akan menguat seiring Islam lebih memilih untuk tunduk di jalan Kemuliaan, dan mengacuhkan nikmat hina-dina itu.

Akhirnya, saya menerjemahkan tulisan Sayyid Quthb dalam Ma’alim Fii Thoriqhnya, bahwa sebagian kelompok yang hanya mau diatur oleh ketetapan Allahuta’ala, mereka akan dihadapkan untuk semata-mata menerapkan filosofi ukhrawi itu, yakni "yukmin billahi wayakfur bi thoghut" Di situlah seluruh jiwa insani mereka akan mendapatkan ketenangan berupa Sistem Rabbani, Musholi, dan Muzaki yang melingkupi kepribadian Islami. Jika itu sudah terjadi, tunggulan kemenangan itu.

Alhasil, jika saja Nurcholish Madjid masih hidup dan melihat Partai Islam saat ini, mungkin beliau akan menarik ulang kata-katanya, ”Islam Yes, Partai Islam No” menjadi ”Islam Yes, Partai Islam Yes”

Ya pemikiran Inklusif Cak Nur yang justru dulu di-counter oleh Komunitas Tarbiyah dengan pembicara Ustadz Daud Rasyid, Ustadz Hidayat Nur Wahid, KH. Khalil Ridwan, UstadzAhmad Sumargono. Dan Media cetak saat itu dengan lantang menyuarakan kritik adalah Majalah Media Da`wah yg saat itu banyak memuat tulisan Ustadz Abu Ridha.

Wallahua’alam.

Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim