Republik “Pornografi”: Dari Densus 88 Hingga Luna Maya

Jakarta, 31 Oktober 2008. Bertempat di Kafe Euphoria, Gedung Menara Prima, Mega Kuningan, seorang artis papan atas mengomentari pengesahan UU Pornografi oleh DPR. “Itu sama saja dengan upaya untuk membodohi masyarakat,” kata artis cantik tersebut. Apa alasannya?

“Saya kasih contoh, sekarang ini Jakarta kan semakin panas, seandainya ada perempuan memakai busana tanktop keluar rumah apa langsung ditangkap? Nah, terus saudara-saudara kita di Papua yang masih memakai koteka bagaimana? Apa ditangkepin juga?” ujarnya lagi.

Padahal, lanjut dia, setiap orang dilahirkan dalam keadaan telanjang dan nafsu setiap orang tidak bisa dibatasi oleh aturan. “Yang pasti aku enggak akan pernah terpengaruh dengan undang-undang itu dan aku enggak mau dibatasi,” kata dia lagi. (kompasonline)

Dua tahun berselang, ucapan tersebut seperti senjata makan tuan. Artis cantik itu adalah Luna Maya. Dan dua pekan terakhir ini, wanita kelahiran Bali, 26 Agustus 1983, itu dikagetkan dengan tayangan video mesum yang mirip dirinya dan Ariel, di internet. Publik heboh. Tontonan porno itu dengan sangat mudah diperoleh semua orang, termasuk anak-anak.

Tulisan ini bukan hendak mengulas lebih mendalam kasus tersebut layaknya infotainment. Saya hanya ingin mengajak pembaca melihat dari perspektif yang lebih luas. Sesungguhnya tidak hanya orang-rang yang mirip Ariel-Luna Maya dan Cut Tari yang melakukan pornografi, tapi juga Anggodo, para politisi, koruptor, Densus 88, dan mungkin diri kita sendiri. Kok bisa? Bagaimana penjelasannya?

Dalam UU Pornografi, yang disebut pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Video mesum mirip Ariel-Luna dan Cut Tari jelas-jelas merupakan pornografi seksual. Tak bisa dibantah. Lalu bagaimana dengan Angodo, Gayus dan nama-nama lain yang saya sebut di atas? Bukankah mereka tak memiliki video mesum? Esensi pornografi adalah tayangan yang vulgar/apa adanya dalam bentuk gambar, suara, bunyi dan lain-lain yang dapat membuat orang berhasrat mengikutinya.

Pornografi tak harus kita maknai sempit yakni hanya menyangkut seks. Ia juga bisa merambah ke dunia politik, hukum, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Pada titik inilah mengapa orang-orang seperti Anggodo, Gayus, politisi, Densus 88 juga dapat disebut pelaku “pornografi”.

Kita tentu masih ingat rekaman pembicaraan Anggodo dengan para penegak hukum yang diputar di Mahkamah Konstitusi? Secara telanjang terdengar jelas bagaimana proses hukum bisa direkayasa. Bukankah tak ada bedanya dengan video mesum yang menghebohkan saat ini? Inilah “pornografi” hukum.

Kita tentu masih ingat bagaimana para politisi kita berkelahi dan berdebat kusir di parlemen saat membahas kasus Century? Ruhut Sitompul yang adu mulut dengan Gayus Lumbuun; Ruhut yang menghina JK; sampai insiden memalukan ketika beberapa anggota DPR yang terhormat merangsek maju hendak menyerang Ketua DPR Marzuki Ali. Kita bisa melihat semua aksi itu melalui layar kaca. Bukankah tak ada bedanya dengan video mesum? Inilah “pornografi” politik.

Kita tentu masih ingat dengan aksi penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 terhadap para tersangka teroris? Dor…dor…dor…Sebuah rumah dikepung dari tujuh penjuru mata angin dan dihujani peluru panas. Kita bisa menonton adegan ini layaknya film Hollywood karena ditayangkan secara live oleh stasiun tv. Adakah bedanya dengan video mesum? Inilah “pornografi” kekerasan.

Kita tentu masih ingat massa yang bentrok dengan Satpol PP dalam kasus Mbah Priok? Atau kerusuhan yang terjadi di Tangerang hanya gara-gara terjadi serempetan mobil, baru-baru ini? Inilah “pornografi” sosial.

Kita tentu masih ingat bagaimana koruptor-koruptor kelas kakap beraksi? Mulai dari Gayus, Anggodo, hingga anggota dewan. Aksi mereka bisa kita bisa ikuti perkembangannya di media massa. Dan saya yakin begitu banyak orang yang berhasrat mengikuti jejak mereka: menjadi kaya tanpa kerja keras. Inilah “pornografi” korupsi.

Kita tentu masih ingat bagaimana buramnya potret pendidikan kita? Soal Ujian Nasional yang seringkali bocor; murid-murid yang mencontek; para guru yang menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan sertifikasi dan insentif; sekolah yang mengkatrol nilai ujian siswanya agar lulus 100%; hingga konflik yang sering terjadi antara yayasan dan guru. Inilah “pornografi” pendidikan.

Kita tentu masih ingat dengan kelakuan para pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menyerang akidah umat? Mereka ini pantas disebut pelaku “pornografi” ideologi.

Terakhir, jangan-jangan kita sendiri juga telah melakukan aksi “pornografi”, entah disadari atau tidak. Misal: membuang sampah sembarangan, datang ke kantor terlambat, bergosip, tidak bertanggungjawab, membuang-buang waktu, dan perilakuk negatif lain yang dengan mudah dilihat orang sehingga mereka berhasrat mencontoh kelakukan kita. Mulailah dari diri kita sendiri.

Mulailah dari hal-hal kecil. Dan mulailah saat ini juga untuk berbuat hal-hal positif agar bangsa ini tak menjadi Republik “Pornografi”.

Erwyn Kurniawan; Editor Maghfirah Pustaka