Menjaga Sejarah Kepahlawanan

Indonesia kita adalah negeri yang bertaburan para pahlawan. Setiap jengkal tanahnya menyimpan bekas kucuran darah, keringat dan air mata para pahlawan. Namun entah mengapa setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, setelah tak ada lagi wajah-wajah asing yang berkeliaran memanggul senjata di pelosok-pelosok negeri ini, tiba-tiba saja kita kesusahan untuk menemukan para pahlawan. Kita kesulitan untuk menyebut seseorang itu pahlawan atau bukan. Indonesia kita kesulitan mencari para pahlawan. Mengapa demikian ?

Kesulitan menentukan siapa saja para pahlawan adalah sebuah masalah tersendiri. Ini kesalahan terbesar yang harus segera diselesaikan. Permasalahannya, yang sering tergambar dalam benak kita adalah sosok penuh ketenaran yang berjuang dengan dedikasi tinggi membela rakyat, bangsa, dan negara. Bayangan yang langsung muncul adalah sosok Pangeran Diponegoro, Bung Tomo, atau Sultan Hassanuddin. Sama sekali kita tidak menemukan kesulitan untuk menyebut mereka sebagai pahlawan.

Jika benar, ini berarti memang membutuhkan syarat yang banyak untuk menjadi seorang pahlawan. Pertama, setidaknya dia harus dikenal dan karismatis. Selanjutnya, ia mempunyai prestasi besar yang mengubah jalannya sejarah. Jika kriteria ini yang kita pakai, maka jangan berharap kita akan menemukan kembali para pahlawan itu di masa kini, era reformasi. Terlalu banyak sosok yang dikenal saat ini, namun prestasinya tak lebih dari sekedar mewarnai pemberitaan media massa
negeri ini, bukan mewarnai sejarah apalagi mengubahnya. Sebut saja nama-nama besar dari mulai pejabat, tokoh bangsa, atau aktifis mahasiswa sekalipun, manakah diantara mereka yang prestasinya bisa setara dengan para pahlawan jaman perjuangan ? Jangan-jangan, negeri kita ini memang sudah tidak produktif lagi mencetak para pahlawan ?

Ada sebuah jawaban yang ingin saya tawarkan pada Anda semua. Mencari para pahlawan adalah bukan pekerjaan yang bisa menyelesaikan permasalahan bangsa kita ini. Bahkan sekalipun benar bahwa para pahlawan itu ada, tanyalah pada diri mereka apakah mereka terlahir untuk dikenang orang dan disebut sebagai pahlawan. Mari mundur sejenak kita tengok sejarah, tanyakan pada para pahlawan yang kita kenal, apakah semua prestasi dan kerja besarnya didekasikan hanya untuk disebut dengan gelar pahlawan ?

Jawabnya, Kalla ballaa. tidak sekali sekali tidak. Banyak diantara mereka masih merasa menjadi orang biasa-biasa saja, hingga puluhan tahun terlewat barulah gelar pahlawan itu tersemat disamping namanya. Ini berarti, yang disebut-sebut banyak
orang sebagai pahlawan bukanlah karena sosoknya, namun karena kerja-kerja kepahlawanannya. Tidak penting ia dari mana dan seperti apa bentuknya, apa saja deretan gelarnya, namun yang penting adalah sudahkah ia menuai prestasi bagi bangsa ini. Singkatnya, gelar pahlawan sangat debatable, memungkinkan untuk ditolak dan diterima.

Ada yang mengakui seseorang itu pahlawan dan ada pula yang dengan tegas menolak. Namun kerja-kerja kepahlawanan, hampir semua orang dengan serta merta akan mengakuinya. Membalasnya dengan simpati atau apa saja terserah, tapi bukan gelar sebagai pahlawan.

Jadi, tak perlu susah-susah mencari para pahlawan. Karena pahlawan bukanlah siapa tapi apa pekerjaannya ? apa saja prestasinya ?. Biarlah yang sudah terlanjur disebut pahlawan pada masa dulu tetap menjadi pahlawan. Tugas kita sekarang bukan lagi menjadi pahlawan, namun menjaga sejarah kepahlawanan mereka. Ini berarti kita harus meneruskan kerja-kerja mereka, namun kali ini tanpa diiringi dengan embel-embel sebagai pahlawan. Siapapun kita dan dimanapun posisi kita. Para pelajar, mahasiswa harus menghargai sejarah kepahlawanan bangsa ini. Ini artinya, kerja-kerja kita haruslah membangun bangsa ini, lewat karya intelektual, usulan dan gagasan ilmiah, atau sekedar ‘pressure’ moral unjuk aspirasi di jalanan. Bukan sebaliknya, menodainya dengan tawuran brutal atau aksi hedonis di mall-mall dan kebebasan yang keblabasan.

Menjaga sejarah kepahlawan bagi para pejabat dan seluruh aparat negara berarti bertobat untuk tidak lagi ‘menumpang’ jabatan dan fasilitas untuk mengumpulkan kekayaan secara tidak sah. Selain itu, menghapus bersih dan membuang jauh-jauh keinginan untuk dihormati dan dilayani.
Namun sebaliknya, menghormati dan melayani. Itulah kerja-kerja kepahlawanan, sama sekali tidak mempedulikan pujian ataupun cemoohan. Begitu seterusnya, karena kerja-kerja kepahlawanan tak mengenal situasi, kondisi, momentum dan yang semacamnya.

Indonesia kita sekarang lebih membutuhkan kerja-kerja kepahlawanan dari pada sosok-sosok pahlawan. Kita membutuhkan semangat kepahlawanan dari pada pahlawan itu sendiri. Biarkan saja para pahlawan itu muncul dengan sendirinya ataupun dinobatkan banyak orang, itu bukan urusan kita. Yang terpenting bagi kita saat ini adalah, setiap kita mempunyai kerja-kerja kepahlawanan. Jika dulu mengusir penjajah, maka sekarang menolak setiap bentuk penjajahan dan infiltrasi asing. Jika dulu memakai bambu runcing, pedang, dan senjata api, maka saat ini biarkan akal kita berkerut, lidah kita bicara dan pena kita menuangkannya, kemudian tangan dan kaki kita menjalankannya sepenuh rasa. .Masih teramat banyak kerja-kerja kepahlawanan menunggu kita.

Menjaga sejarah kepahlawanan itu berat. Karena itu berarti kita tidak boleh mengkhianati kepahlawanan mereka. Pekerjaaan-pekerjaan rumah yang ditinggalkan harus kita teruskan dengan lebih baik lagi. Bukan meninggalkan apalagi menghancurkannya. Masih terngiang jelas bagaimana Khalifah Abu Bakar as Shiddiq begitu teguh menjaga sejarah kepahlawanan pendahulunya , Rasulullah SAW, ketika mulai muncul fenomena penolakan atas penarikan zakat. Dengan lantang ia berkata, " Demi Allah, sungguh aku akan memerangi mereka yang menolak membayar zakat, sementara dulu mereka menunaikannya pada zaman Rasulullah SAW hidup. Aku akan memeranginya meskipun aku tinggal sendirian ". Wallahu A’lam bisshowab

Hatta Syamsuddin, Lc -penulis adalah alumni Fakultas Syariah Universitas Internasional di Khartoum, Sudan. Saat ini mengajar di Mahad Abu Bakar Universitas Muhammadiyah Surakarta, sambil meneruskan kuliah di S2 Ushul Fikih di Program Pascasarjana UMS. Buku yang sudah diterbitkannya antara lain : Muhammad SAW The Inspiring Romance (Indiva Media Press, 2007). Untuk saran dan kritik : [email protected] , kunjungi pula : http://hattasyamsuddin.blogspot.com