Perang Pencitraan (bagian dari Ghowzul Fiqri)

Masih ingat dengan pembantaian yang dialami muslim Bosnia oleh tentara Serbia. Pada kasus ini, menurut catatan Adian Husaini dalam bukunya wajah peradaban barat, Amerika Serikat dan Inggris menjadikan tindakan mereka (melalui NATO) yang melakukan pengeboman terhadap Serbia dan membela muslim Bosnia (sebagai bangsa yang terjajah) sebagai sebuah bukti bahwa mereka adalah pembela umat islam.

Bahkan, dalam sebua perdebatan tentang “jihad” di SCTV pada pertengahan oktober 2001, dubes inggris, Richard Grosney, ketika itu mengungkapkan bukti bukti tindakan NATO terhadap Serbia sebagai alasan bahwa Inggris dan AS tidak memusuhi islam.

JIka kita membaca sekilas pengakuan ini, barangkali kita akan menyatakan betapa baiknya mereka, mengerahkan kekuatan mereka dalam membebaskan muslim bosnia dari penjajahan tentara Serbia. Namun ketika kita mencoba menggali lagi segala fakta dan realitas yang ada dibalik penjajahan muslim bosnia tersebut kita akan mengambil sebuah kesimpulan baru yang bisa saja bertolak belakang dari kesimpulan awal yang kita ambil.

Masih menurut catatan Adian Husaini, bahwa fakta fakta semua yang diungkapkan oleh Amerika Serikat dan Inggris tersebut tidak lebih dari sebuah bentuk klaim mereka agar diterima sebagai sahabat kaum muslimin. Sedangkan cerita sebenarnya adalah, mereka (melalui NATO) baru bergerak “menyelamatkan” muslim bosnia setelah “mengizinkan” terlebih dahulu pembantaian terhadap ratusan ribu muslim bosnia tersebut (lengkapnya baca: Adiann Husaini, Wajah Peradaban Barat, hlm 198-202).

Pencitraan imperealis sebagai teman kaum muslimin, bukan lah hal yang baru, Napoleo Bonaparte pernah melakukan hal sama ketika menduduki mesir dan begitu juga dengan jepang ketika “mengambil alih” Indonesia dari tangan Belanda. Snouck Hurgronye juga pernah melakukan hal yang nyaris sama terhadap masyarakat aceh.

Mereka sama sama menunjukkan sebagai seorang teman yang baik bagi umat muslim. Maka dengan semua itu, mereka akan lebih mudah mencapai apa yang mereka inginkan sebagai seorang teman dari pada seorang musuh.

Sedangkan mengenai umat islam sendiri mereka, lebih tepatnya beberapa dari mereka, menggambarkan umat islam dengan penggambaran yang negative.

Sebagai contoh, mereka menggambarkan bagaimana tindakan bom bunuh diri muslim Palestina tersebut sebagai sebuah tindakan yang radikal. Sedangkan jika kita kaji lagi lebih jauh tentang terlaksananya bom bunuh diri tersebut, kita akan menyimpulkan bahwa bom bunuh diri itu adalah sebuah bentuk perlawanan kaum muslimin Palestina atas kebiadaban dan penjajahan negara Israil terhadap tanah mereka.

Tidak hanya pada lapangan perpolitikan namun juga pada film film Hollywood yang mereka produksi. Sebutlah contohnya, film Sahara (yang dibintangi Penelope Cruz) dan Rambo IV (Silvester Stalone).

Dalam film Sahara, Eva (Penelope Cruz) sebagai seorang dokter dari WHO bersama dengan dua orang teman laki lakinya berjuang sekuat tenaga bahkan dengan membahayakan nyawa mereka sendiri untuk membantu rakyat Mali terhindar dari wabah penyakit. Dan dalam film itu juga di perlihatkan bagaimana tidak berdayanya rakyat negri tersebut (yang mayoritas muslim) dalam menghadapi wabah penyakit dan melawan “diktator” (yang juga seorang muslim) yang menguasai mereka.

Disini wajah kaum muslimin digambarkan dengan dua wajah yang sama sama jelek, tidak berdaya dan jahat. Sedangkan pahlawan mereka adalah bintang film Hollywood itu sendiri. Pahlawan dari WHO dan NUMA yang membebasakan mereka dari wabah penyakit dan kekejaman sang diktator.

Padahal, jika mengacu kepada buku Deadly Mist karya Jerr D Gray, kita dapat mendapatkan fakta, jika memang virus di beberapa negeri tersebut merupakan sebuah senjata pembunuh microbiologist, kita dapat menyimpulkan siapakah sebenarnya yang bertangungg jawab terhadap penyebaran senjata microbiologist tersebut. Dan apakah benar seperti yang di gambarkan di dalam film Hollywood bahwa WHO adalah pahlawannya, bukan malah berperan sebaliknya.

Hal yang hampir sama juga terjadi dalam film Rambo yang dalam salah satu episodenya di katakana bahwa John Rambo (Silvester Stalone) memimpin rakyat  Afganistan dalam melawan penjajah.

Begitu juga dengan salah satu film Bollywood yang menggambarkan sebuah teror bom dari seorang teroris islam, sedangkan jagoannya adalah salah seorang polisi India yang dalam film tersebut di gambarkan begitu mesra dengan pacarnya.

Inilah salah satu bahasa perang yang dilancarkan kepada kaum muslimin, khususnya di Indonesia. Mereka memang tidak menjatuhkan bom disini dan juga tidak mengerahkan satu kompi pasukan untuk menyerang negeri ini. Semua ini bukan karena kebaikan kaum imperealis, namun lebih dikarenakan serangan yang mereka lancarkan melalui media dapat lebih ampuh dan jauh lebih murah dari pada harus menggunakan kekuatan militer. Lebih ampuh karena mereka bisa langsung menyerang kaum muslimin dari dalam rumah mereka masing masing.

Hanya dengan “bermodal” senyum manis dan bahasa cinta yang mampu menutup maksud mereka yang sebenarnya.

Hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama. Apalagi setelah akhir akhir ini media masa banyak memberitakan tentang tindakan “terorisme” yang dilakukan oleh segelintiran orang. Meskipun pada awalnya digambarkan bahwa mereka (media massa) akan bersikap lebih adil dan tidak langsung menuduh, namun pada akhir akhir ini, kita bisa menyaksikan bahwa pemberitaan mulai menjurus kepada sesuatu yang selama ini,barangkali, kita cemaskan.

Jika kita kembali mengkaji sejarah kaum muslimin. Dalam sejarahnya umat islam adalah umat yang besar dan terhormat. Baik secara keilmuan, kepribadian ataupun social budaya. Karen Amstrong juga mengakui bahwa dalam sejarahnya hanya penaklukkan penaklukkan yang dilakukan umat muslimlah yang minim pertumbahan darah. Dan menurut catatan Michel Hart dalam seratus tokohnya, setiap adanya penaklukkan yang dilakukan oleh kaum muslimin, selalu diikuti oleh berbondong bondongnya rakyat negeri tersebut memeluk agama islam.

Dalam sejarah juga di ceritakan betapa umat islam memuliakan kafir dzimmi yang tidak memerangi kaum muslimin. Mereka mendapat hak mereka sebagai bangsa minoritas, hidup dengan layak, dan dilindungi. Umat islam dalam sejarahnya merupakan umat yang cerdas, kuat dan mapan, terutama jika di bandingkan dengan eropa pada waktu itu.

Digambarkan bahwa Andalusia, sewaktu berada di dalam kekuasaan kaum muslimin, sebagai sebuah negri yang indah dan kiblat ilmu pengetahuan. Sarjana barat banyak yang menuntu ilmu di negri itu. Disana umat muslim dikenal sebagai sebuah umat yang maju dan sangat di hargai. Selain itu umat islam juga di kenal sebagai umat yang toleran dengan karena menigizinkan non-muslim untuk menuntut ilmu di negeri islam serta memberikan dan melindungi hak hak mereka sebagai kafir dzimmi.

Kisah kisah dalam sejarah inilah yang menggambarkan citra kaum muslimin sebenarnya dan bukan pencitraan yang coba di bentuk oleh “mereka”.

Jika dibandingkan dengan pencintraan yang sedang dibentuk oleh media masa barat atau film film Hollywood saat ini dengan fakta sejarah umat islam dan hakikat islam itu sendiri, maka kita akan menemukan sesuatu yang bertolak belakang. Sesuatu yang, bisa jadi, terus menerus akan dibangun oleh “mereka” untuk mengikis habis kebanggaan umat islam terhadap islamnya. Sebuah bentuk kebanggaan yang nanti akan mampu mengurangi bahkan meniadakan loyalitas umat islam terhadap agama dan ajaran agamanya.

Maka sudah sepantasanya bagi umat muslim itu sendiri untuk senantiasa tidak membiarkan barat dan sekutunya semakin menegatifkan citra umat islam.
Memang benar kemuliaan itu hanyalah dari Allah dan hanya kepadanyalah kita mengharapkan kemuliaan. Siapapun yang dimuliakan manusia akan sangat mudah di hinakan oleh Allah. Namun siapapun yang dimuliakan oleh Allah, maka manusia tidak memiliki kekuasaan untuk menghinakannya.

Namun menampakkan kemuliaan islam bagi manusia yang lain adalah demi kepentingan dakwah/islam itu sendiri. Seperti dalam sejarahnya, berbondong bondongnya orang orang masuk agama islam karena mereka menyaksikan sendiri bahwa islam itu menyebarkan kedamaian, tidak haus darah seperti kekuatan yang berkuasa sebelumnya, atau memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama lain.

Maka, sekali lagi, citra kemuliaan islam inilah yang coba di hapus oleh musuh musuh islam. Karena tanpa kebanggaan yang besar terhadap islam, umat muslim akan lebih mudah di taklukkan. Dan satu hal lagi yang perlu di catat, bahwa bisa jadi dalam menegatifkan citra umat islam ini. “Mereka” tidak hanya menjadi orang luar yang jelas jelas langsung menyerang, namun bisa juga menjadi orang dalam yang memprovokasi atau menghasut kaum muslimin untuk memperburuk citranya sendiri.
Wallahu’alam bishawab.

Imanuddin Rahman, Mahasiswa S1 FMIPA UI, Alamat Jl, Rawapule No 24 Kukusan Beji, Depok
Email:[email protected].