Mengelola Alasan Kemenangan

Banyak perusahaan yang semula menjadi pemimpin pasar (market leader) tidak mampu menjaga posisinya dan ditinggalkan oleh konsumen.

Hal ini umumnya terjadi karena perusahaan gagal melayani konsumen mereka seperti apa yang diinginkan oleh konsumen. Dalam bahasa marketing, perusahaan gagal menyampaikan customer value yang semula ditemukan oleh konsumen.

Perusahaan terlalu cepat ingin menikmati kemenangan yang diperoleh, sehingga lupa mengelola alasan-alasan kemenangan mereka. Misalnya, mereka segera melakukan ekspansi atau modifikasi terhadap produk dan layanan mereka tanpa mendengarkan suara konsumennya.

Pada era persaingan yang sangat ketat ini, kegagalan mengelola alasan kemenangan ini telah menyebabkan banyak perusahaan tersungkur. Hal ini tidak hanya terjadi dalam bisnis, melainkan juga dalam politik.

Dalam konsteks politik, pemilih dapat diibaratkan sebagai konsumen dalam pasar bisnis. Mereka dihadapkan oleh banyak pilihan partai yang dapat mereka pilih secara bebas. Sepanjang sejarahnya, pemilih selalu bersifat dinamis, sebagaimana juga yang terjadi pada konsumen di pasar bisnis. Mereka menuntut pelayanan yang lebih dari semua partai yang ada, dan hanya akan memilih partai yang mampu memberikan customer value yang tertinggi.

Jakarta merupakan wilayah politik yang paling dinamis di antara berbagai provinsi yang ada. Kalau Jawa Timur identik dengan basis PKB, Jawa Tengah identik dengan PDIP, dan Jawa Barat identik dengan Golkar, maka Jakarta, sejak orde baru telah mengalami pergantian pemenang berkali-kali.

Pada pemilu tahun 1977, PPP tampil sebagai pemenang, pada pemilu 1982 sampai 1997 Golkar menjadi pemenang yang tertakalahkan. Pada tahun 1999 kita menyaksikan PDIP merebut kemenangan dan pada pemilu 2004 PKS berhasil menjadi pemenangnya.

Alasan kemenangan masing-masing partai beragam, namun ada kesamaan mengapa partai-partai lama (PPP, Golkar dan PDIP) gagal mempertahankan kemenangannya, yakni ketidakmampuan mereka menjaga alasan kemenangan mereka. Hal ini bisa disebabkan oleh katidakberdayaan, kehilangan orientasi atau salah dalam menafsirkan kemenangan.

Pada pemilu 1977, suasana perlawanan kelompok Islam terhadap rezim Orde Baru yang memaksakan azaz tunggal begitu kental. Saat itu ummat Islam merasa hanya PPP lah partai yang dapat menjadi wadah mereka untuk mengekspresikan perlawanannya secara politik pada rezim berkuasa. Namun pada kenyataannya, ketika PPP menjadi pemenang di Jakarta, tidak ada perubahan yang terjadi pada iklim politik sebagaimana yang diharapkan.

Para wakil rakyat terpilih tidak mampu mengeluarkan suara kritis, malah larut oleh irama kekuasaan yang hanya menjadikan parlemen sebagai paduan suara. Apa pun partainya yang dikatakan sama. PPP tak mampu menjaga alasan kemenangannya, yakni memenuhi harapan ummat untuk terus menjadi wadah perlawanan politik terhadap rezim otiriter.

Golkar mengambil alih Jakarta dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya. Rakyat melihat adanya perbedaan nyata antara daerah-daerah dimana Golkar menang dengan daerah-daerah dimana Golkar kalah. Misalnya pada daerah-daerah Golkar, pembangunan infrastuktur seperti jalan, berlangsung baik. Sementara yang terjadi pada daerah-daerah non Golkar sebaliknya, terabaikan dari sisi pembangunan.

Dengan kondisi ini, tentu rakyat berfikir, meski mereka tidak suka, mereka lebih baik memilih Golkar. Ketika reformasi terjadi, Golkar tidak lagi memiliki sandaran kekuasaan yang memungkinkannya menciptakan perbedaan antara daerah Golkar dan non Golkar. Golkar kehilangan alasan kemenangannya, karena struktur kekuasaan telah mengalami perubahan.

Pada tahun 1999, PDIP tampil menjadi mayoritas di Jakarta. Rakyat mengidentifikasikan dirinya pada partai ini, karena mereka yakin partai ini adalah simbol perlawanan pada kekuasaan yang zalim dan partai ini diidentifikasikan sebagai partainya wong cilik.

Namun pada kenyataannya, rakyat merasa tertipu. Ketika partai ini berkuasa di Jakarta, justru penggusuran pada wong cilik kerap terjadi secara tidak manusiawi. Rakyatpun menunjukkan protesnya dengan mengalihkan suaranya pada pemilu 2004. PDIP gagal mengelola alasan kemenangannya, yakni tetap menjadi partai yang komit untuk membela wong cilik.

Pemilu 2004 memberi ruang kemenangan bagi PKS. Rakyat melihat PKS sebagai harapan baru. Partai yang diisi oleh banyak orang muda ini dipersepsi sebagai partai yang memiliki komitmen untuk melayani wong cilik secara lebih baik.

Pada tataran praktis, dengan jargon bersih peduli, kader-kader PKS sangat rajin menyapa dan melayani kebutuhan masyarakat. Mereka melakukan pelayanan dan advokasi yang mengundang banyak simpati. Elitnya juga dipersepsi bebas korupsi. Alhasil pada tahun 2004, PKS memperoleh buahnya berupa kemenangan yang nyata.

Tahun 2009, Jakarta akan menjadi arena persaingan politik yang sangat ketat. Partai-partai lama yang pernah berkuasa di sini dengan penuh semangat telah bernyanyi “mari bung rebut kembali”. Pada titik ini, PKS harus belajar dari kekalahan partai-partai lama, jika ingin mempertahankan dominasi politiknya di Ibukota. PKS harus melakukan refleksi yang mendalam, mengenai sebab-sebab kemenangannya di 2004 dan mengelolanya dengan baik untuk meraih kemenangan di 2009. Wallohu’alam.