Sebelum Pemuda (kembali) Memimpin

Prasyarat kepemimpinan dalam Islam, tidak pernah disangkutkan dengan usia. Bahkan dalam Sholat sekalipun, urutan prioritas menjadi imam bukanlah ditangan mereka yang paling tua, akan tetapi yang paling faham dan hafal dengan kitabullah. Kalaupun ada syarat yang lain, adalah yang lebih dahulu hijrah atau masuk Islam. Lagi-lagi hal ini juga tidak selalu identik dengan prasyarat usia. Bukti yang lebih jelas lagi adalah diangkatnya Usamah bin Zaid ra oleh Rasulullah SAW untuk memimpin pasukan besar menuju Balqo’ arah Palestina pada tahun 11 Hijriyah. Sebagai catatan tambahan, usia Usamah pada waktu itu baru 18 tahun, sementara didalam pasukannya ada nama-nama besar, para sahabat veteran berbagai kancah jihad seperti Abu Bakar ra dan Umar.

Setelah ini semua, berarti tidak ada halangan syar’I yang tegas dari sisi usia untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi permasalahan tidak sesederhana tersebut. Ada pertanyaan lain yang harus di jawab; pemuda seperti apa yang ‘layak’ menjadi pemimpin. Ada sebuah ayat yang patut direnungkan mengenai kepemimpinan pemuda, baik kelebihan ataupun kekurangannya. Sebelum Anda wahai pemuda, berniat memimpin, mari kita kaji ulang tentang kelayakan Anda untuk memimpin.

Allah SWT berfirman : “Dan Nabi mereka berkata kepada mereka “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ?“. (Nabi) menjawab : “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas Maha Mengetahui“ ( QS al-Baqoroh 247 )

Dari ayat di atas, setidaknya diisyaratkan ada tiga kriteria inti dan satu kriteria tambahan untuk menjadi seorang pemimpin. Siapapun dia, pemuda atau orang tua. Nah, dari empat hal tadi, menurut penulis, para pemuda baru lulus satu kriteria dari empat yang ada. Itu artinya, silahkan mengejar tiga kriteria yang lainnya dan barulah Anda bisa dipertimbangkan untuk memimpin. Apa saja empat kriteria tersebut, berikut uraian singkatnya :

Pertama : Al-Isthifa’ ( Pilihan dari Allah )

Dalam ayat jelas disebutkan: ”Allah telah memilihnya“. Artinya ada rekomendasi langsung dari Allah SWT. Ini memang sebuah hal yang mutlak menjadi preogatif Allah SWT untuk memilih diantara makhluknya yang dianggap pantas untuk memimpin. Sekilas ini sama sekali tidakbisa diperjuangkan, akan tetapi ternyata kata ‘pilihan Allah’ itu nyaris identik dengan dicintai oleh Allah SWT. Ini pulalah yang terjadi ketika Usamah ditunjuk menjadi panglima pasukan, dan banyak sahabat yang meragukannya. Maka Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa Usamah adalah pilihan karena ia dicintai oleh Allah dan Rasulnya. Rasulullah saw bersabda kepada mereka yang meragukan kepemimpinan Usamah : “kalian menghina kepemimpinan Usamah, sebagaimana kalian dulu juga menghina kepemimpinan bapaknya ( Zaid bin Haritsah) , Demi Allah sesungguhnya ia berhak atas kepemimpinan itu, dan dia termasuk seorang yang paling aku cintai, dan ini (Usamah) adalah orang yang paling aku cintai setelahnya" ( HR Bukhori ).

Penegasan Rasulullah SAW tentang status Usamah sebagai pilihan dan yang berhak memimpin karena dicintai Rasulullah SAW (dan dicintai Allah juga) membuat para sahabat hanya bisa diam seribu bahasa.Sami’na wa atho’na. Ada juga hadits lain yang menegaskan ulang bahwa kriteria pemimpin pilihan adalah yang dicintai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa yang mengangkat pemimpin suatu jamaah padahal di antara mereka ada orang lain yang lebih disenangi oleh Allah, berarti ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman." (Riwayat Hakim dari Ibnu Abbas, dan Suyuti memberikan kode shahih terhadap hadits ini.)

Nah, menjadi semakin jelas bahwa sebelum menjadi pemimpin, haruslah dicintai Allah SWT terlebih dahulu. Pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah : Bagaimana cara paling tepat untuk dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya dapat kita lihat dalam ayat berikut. Allah SWT berfirman : “Katakanlah (Muhammad) Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” ( QS Ali Imron 31)

Sehingga, syarat dicintai Allah –sebagaimana termaktub dalam ayat – adalah ittiba’ rasulullah saw. Inilah pekerjaan rumah yang panjang bagi para pemuda sebelum kembali memimpin. Arti sederhananya, bagaimana seorang pemuda harus mempunyai kualitas ibadah, aqidah dan akhlak yang kokoh terlebih dahulu, baru kemudian ia bisa dipertimbangkan untuk menjadi pemimpin.

Kedua : Ilmu dan Pemahaman

Kriteria yang ini mutlak tidak bisa tidak harus ada pada diri seorang pemimpin. Untuk urusan imam sholat sekalipun, yang diminta adalah yang paling banyak ilmunya tentang kitabullah. Lantas, bagaimana dengan ilmu dan pemahaman seorang pemuda. Tanpa bermaksud menggeneralisir, sebuah hal yang wajar bagi semua orang bahwa menuntut ilmu dan menambah pemahaman adalah aktifitas yang membutuhkan waktu, proses, dan tahapan-tahapan. Imam Syafi’I pun berseru lantang : ilmu tidak akan didapat kecuali seseorang menempuh masa tholabul ilmi yang panjang. Tinta sejarah Islam menyebutkan bahwa para ilmuwan muslim rata-rata berguru kepada syeikhnya dalam kurun waktu puluhan tahun. Bahkan contoh di jaman milenium ini, seorang mahasiswa doktoral pun diminta menyelesaikan disertasinya minimal selama 2,5 tahun. Itu artinya, sekalipun ia telah merampungkan disertasinya di tahun pertama, karyanya tersebut belum bisa disidangkan.

Pemuda dengan ‘jam terbang’ keilmuan yang terbatas akan sangat riskan jika harus maju menjadi pemimpin. Akibatnya bisa berarti kerusakan dan kehancuran. Tentang hal ini, Rasulullah SAW telah memberikan peringatan dalam sabdanya : “Jika sebuah urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya“ (HR Bukhori ).

Inilah yang seharusnya direnungkan oleh setiap pemuda yang merasa sudah saatnya memimpin. Pengalaman rapat, diskusi berjam-jam, hingga demonstrasi yang berdarah-darah sekalipun tidak lantas membuahkan sebuah pemahaman yang utuh akan manhaj Islam dan dakwah. Pemuda kita masih harus mengkhususkan sebagian waktunya untuk menambah ilmu dan pemahaman yang lebih signifikan. Ada baiknya kita renungkan pesan dua pahlawan Islam sebagai berikut :

Umar bin Khotob ra berkata : Tafaqqohuu qobla an tusawwaddu ( Tingkatkanlah pemahaman sebelum kamu diangkat jadi pemimpin ). Sementara itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bary mengutip ucapan Imam Syafi’I ra : Idza tashoddaro al-hadts faatahu ‘ilmun katsiir ( Apabila anak muda diangkat menjadi pemimpin maka ia kehilangan banyak Ilmu )

Ketiga : Kekuatan Fisik ( jasad)

Diisyaratkan dalam ayat tentang kekuatan fisik menjadi salah satu kriteria untuk menjadi pemimpin. Barangkali ini kriteria yang sepenuhnya dimiliki oleh para pemuda secara umum. Tidak ada yang meragukan kekuatan fisik para pemuda. Karena fase pemuda memang puncak kekuatan dalam fase hidup manusia. AlQuran sendiri melegitimasi kekuatan fisik sang pemuda dalam ayatnya : “Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban“ (QS Ar-Ruum 54)

Berkaitan dengan kepemimpinan, kita meyakini bahwa pemimpin adalah pelayan. Untuk itu, diperlukan sebuah stamina yang kokoh dan kemampuan mobilitas yang tinggi bagi seorang pemimpin. Jadi, kriteria fisik bukan sekedar untuk gagah-gagahan apalagi tebar pesona. Kriteria fisik murni untuk kontribusi bagi umat.

Ada dua hadits yang menyebutkan orang yang paling dicintai oleh Allah SWT. Pertama, Rasulullah SAW bersabda : “Orang mukmin kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah“ ( HR Muslim). Mengapa orang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya ada dalam hadits selanjutnya. Rasulullah SAW bersabda : "Orang yang lebih dicintai Allah adalah yang lebih banyak manfaatnya bagi orang lain“ (HR Thobroni). Dengan demikian, kekuatan fisik yang dimiliki oleh pemuda bukanlah hal yang istimewa disisi Allah kecuali jika telah digunakan untuk kepentingan orang banyak.

Keempat : Penerimaan publik

Ini bukan kriteria utama, akan tetapi tetap saja mempunyai efek yang signifikan. Dalam sholat sekalipun, tidak diperkenankan menjadi imam bagi mereka yang tidak disukai jamaahnya. Contoh sejarah telah banyak membuktikan bahwa kelancaran kinerja sebuah jamaah, organisasi, ataupun pasukan biasanya ditentukan faktor ketaatan pada pimpinan. Pada kondisi tertentu, ketaatan ini sangat berhubungan dengan penerimaan publik atau orang-orang yang dipimpinnya. Jika sejak awal ada ketidakpercayaan pada sosok pimpinan, maka ini akan sangat mengganggu kerja-kerja berikutnya.

Anehnya, inilah tipe masyarakat kita secara umumnya. Mereka mengharuskan pemimpin adalah seorang yang mereka cintai, terima, dan terpercaya. Dalam bahasa sederhana kita adalah kredibilitas dan penerimaan publik. Ini sebenarnya bukan fenomena baru. Rujuk kembali ayat diatas ( Al-Baqoroh 247), ketika Allah menggambarkan ketidakpuasan bani Israil dengan kepemimpinan Tholut: Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ?“. Thalut adalah seorang raja pilihan yang kurang dikehendaki oleh Bani Israil, karena bagi mereka seorang raja haruslah dari kalangan hartawan atau terpandang. Pandangan seperti ini pulalah yang menjadikan ada beberapa sahabat juga meragukan kepemimpinan Usamah sebagai panglima perang. Usamah ra kurang diterima secara publik selain karena masih muda, mungkin juga karena garis keturunan Usamah bukan keturunan bangsawan Arab, bahkan dari golongan budak.

Barangkali pemuda kita akan mengalami hal yang sama dalam kasus Usamah. Usia yang muda akan menjadi hambatan dalam penerimaan publik. Apalagi masyarakat kita masih memiliki nuansa feodal yang kental. Jangankan untuk urusan pemerintahan, untuk menjadi imam sholat pun para pemuda masih dipandang sebelah mata. Lihat saja masjid-masjid di desa atau sudut-sudut kota, para imamnya kebanyakan adalah bapak-bapak tua dengan kondisi fisik yang payah plus bacaan qur’an yang terengah-engah. Anak muda nyaris tidak pernah diijinkan melewati shof pertama untuk menjadi imam.

Dengan demikian, kepada Anda atau kita para pemuda yang mungkin merasa telah datang masanya mengambil tongkat estafet kepemimpinan, lihatlah sejenak diri kita dari semua sisinya. Apakah sekedar semangat reformasi yang menyala-nyala ditambah konsep-konsep idealisme tentang manajemen pemerintahan yang bersih, atau apakah memang kita sudah mengantongi kriteria-kriteria unggulan di atas. Masing-masing kita mempunyai jawabannya, hingga ketika nanti datang momentum yang tepat dimana pemuda kita sudah layak (kembali) memimpin, bolehlah Anda menyanyi dengan lantang:
“PAK TUA SUDAHLAH…ENGKAU SUDAH TERLIHAT LELAH
PAK TUA SUDAHLAH..KAMI MAMPU UNTUK BEKERJA..“.
Wallahu a’lam bisshowab.

Profil Penulis :

Hatta Syamsuddin, alumni Fakultas Syariah International University di Khartoum Sudan, sekarang menempuh studi S2 di Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan Ushul Fikh. Mengajar di Mahad Abu Bakar UMS Surakarta. menulis buku, salah satunya adalah Inspiring Romance (Panduan Romantis Rumah Tangga Nabawi) untuk saran dan kritik email : [email protected], kunjungi juga hattasyamsuddin.blogspot.com