Masih Layakkah LDK Untuk Diharapkan

Lembaga Dakwah Kampus (LDK) adalah harapan umat dan bangsa akan krisis kepemimpinan yang seakan tak berujung. LDK ada untuk meciptakan sejarah berupa solusi. Kebutuhan dan harapanlah yang telah melahirkan LDK. Namun, apa jadinya jika harapan itu disia-siakan oleh LDK.

Saat ini LDK terus berkutat pada permasalah internalnya dan sepertinya akan masih terus berkutat di sana sementara umat sedang pada posisi dimana hampir tertutupnya semua pintu harapan. Banyak kalangan yang menilai saat ini lembaga dakwah kampus semakin kerdil. Perannya baik di pentas nasional maupun lokal dinilai sangat tidak signifikan. Yang lebih pedih adalah ketika keberadaan LDK dinilai sudah tidak akomodatif lagi saat ini. Ada dan tiada sepertinya sama saja. Padahal, tidaklah diciptakan LDK kecuali untuk menjadi besar dan menghasilkan karya-karya besar.

Melihat kondisi saat ini sangat wajar ketika banyak orang semakin memandang skeptis peran lembaga dakwah kampus. Realita problematika umat dan bangsa yang semakin kompleks tidak mampu diimbangi dengan kapaitas lembaga dakwah kampus. Dan inilah sebuah warisan sejarah yang harus dikebiri habis.

Jika dianalisis lebih mendalam, setidaknya ada 3 akar permasalahan yang terjadi dan selalu terjadi pada diri LDK saat ini :

Pertama, mayoritas LDK saat ini (atau bahkan semua) memiliki pandangan yang cenderung pendek. Bahasa sederhananya, LDK saat ini masih belum memiliki rencana stategis (Renstra) yang jelas. Belum ada cetak biru dari sebuah LDK ideal, apalagi langkah-langkah strategis menujunya. Kita sedang membangun sebuah peradaban, Bung. Apa jadinya sebuah peradaban apabila orang-orang yang hendak membangunnya tidak tahu model peradaban yang hendak dibentuk. Tak ayal jika hasil akhirnya adalah peradaban yang gagal karena tujuan yang kabur dan proses yang serabutan. Dan di sinilah LDK memiliki beban sejarah untuk menuntaskan peradaban yang saat ini mengalami stagnasi.

Kedua, Pembinaan yang masih jauh dari ideal. Ada dua segmentasi utama dari pembinaan: organisasi dan manusia. Inilah yang kemudian dinamakan manajemen. Sebuah LDK dituntut untuk mampu memanajemen itu semua secara efektif dan efisien, baik manajemen internal organisasi (baca: sistem) maupun manajemen internal manusia (baca: kader). Dari sini, dibutuhkanlah sebuah pembinaan yang mengarah padanya. Jika ini berhasil maka tidak ada lagi kasus-kasus ketidakprofesionalan kerja, syiar yang tak efektif, kaderisasi yang gagal, dan sebagainya. Ingat, LDK memiliki sebuah proyek besar untuk mencetak manusia-manusia pilihan yang dibingkai dalam koridor jama’ah (baca: organisasi bernama LDK) untuk mengemban amanah dakwah ini.

Ketiga, kultur LDK (termasuk di dalamnya manusia) yang masih buruk. LDK merupakan representasi dari sebuah peradaban dan manusia-manusia beradab yang memiliki sebuah kultur asasinya. Sebaik apapun sebuah sistem dan manusia kultur asasinya adalah kultur yang terbelakang maka tunggu waktunya sistem tersebut akan hancur dengan sendirinya yang diikuti dengan kehancuran manusianya.

Pertanyaan terakhir adalah masih layakkah LDK untuk diharapkan. Hanya ada tiga pilihan saat ini: melakukan transformasi total, atau membubarkan LDK dengan tangan sendiri, atau diam sembari menunggu kehancurannya secara pasti. wallahu a’lam

Profil Penulis :

Sofiet Isa Mashuri Setia Hati (Sofiet), Mahasiswa Universita Gadjah Mada, Jurusan Teknik Elektro, E-Mail : [email protected], website : www.sofietisamashuri.blogspot.com