Belajar Islam ke Barat, Untuk Apa?

Dewasa ini, Barat telah berhasil memberi pesona kemajuannya dibidang ilmu pengetahun dan teknologi kepada dunia Islam. Kemajuan pesat Barat ini telah menjadi magnet kuat yang menarik minat umat Islam untuk belajar di negara-negara mereka. Sehingga banyak umat Islam yang pergi ke beberapa negara maju di Eropa, Amerika dan Australia untuk belajar berbagai disiplin keilmuan seperti teknologi, science dan filsafat atau bahkan tentang agama Islam.

Namun, hingga detik ini saya masih heran kenapa banyak intelektual Islam yang merasa penting untuk belajar Islam ke Barat. Satu kerisauan yang dianggap aneh ketika hal ini saya pertanyakan kepada para alumnus Islamic Studies, atau para intelektual yang pernah belajar Islam di Barat. Jika ke Barat tujuannya untuk belajar bahasa Inggris, komputer, cara membuat mobil dan belajar berbagai teknologi lainnya, saya pikir itu oke lah, karena mereka memang ahlinya berbagai bidang kemajuan industri.

Hal itu adalah sah-sah saja, atau bahkan juga merupakan suatu keniscayaan. Yang mengherankan saya adalah, apa landasan jika kita menjadikan Barat sebagai guru untuk belajar Islam? Dari beberapa diskusi kecil yang pernah saya melibatkan diri dialamnya, terlihat seperti ada kebanggan luar biasa bagi mereka yang telah belajar Islam disana. Suatu pemandangan yang membingungkan saya untuk kali selanjutnya.

Aneh bukan jika belajar Islam justru kepada orang-orang yang sama sekali tidak beriman dan meragukan kebenaran Islam?. Padahal Allah telah mengingatkan agar kita tidak mengambil orang-orang kafir sebagai guru agama Islam. Orang-orang Kristen, Yahudi, Budha, dan Hindu cukup waras untuk tidak belajar agama mereka kepada orang-orang yang bukan seagama dengan mereka. Yang ada adalah mereka datang kepada umat Islam untuk belajar Islam, dimana banyak cerita kemudian kita dengar banyak diantaranya yang akhirnya masuk Islam. Namun, apa sebab ada umat Islam yang belajar agamanya kepada? Tidak waraskah?

Ketika menulis artikel ini, saya baru saja memperoleh informasi seorang mahasiswa dari negeri Jiran yang gagal mendapatkan gelar doktoralnya(Ph.D) karena tidak bersedia menulis disertasi yang sesuai dengan pesanan supervisornya. Sebaliknya, ada satu mahasiswa lagi dari Bangladesh yang begitu mudah mencapai gelar doktoralnya dan bahkan hingga professor ketika dengan senang hati menulis disertasi yang sesuai keinginan supervisor.

Keterangan selanjutnya yang saya peroleh adalah, disertasi yang lulus tersebur intinya adalah sanjungan untuk metodolgi Barat, dan berbagai kritikan untuk metodologi kajian Islam ala dunia Islam(universitas-universitas Islam). Artinya, wajah Islam yang tergambarkan dalam tulisan tersebut telah sesuai dengan dengan cara pandang Barat terhadap Islam. Inilah satu persoalan yang sangat membingungkan saya, sebanarnya, kita ingin melukis wajah Islam sesuai dengan perspektif Al-Qur’an dan Sunnah atau berdasarkan perspektif bangsa Barat yang mayoritas non Islam?

Saya pikir, Barat sejauh ini sudah memiliki sebuah konsep dalam memandang agama Islam. Atau Barat seakan-akan sudah memberikan “bentuk” Islam itu sendiri, agar Islam yang dikonsepkan/dibentuk olehnya bisa “Lunak” terhadap mereka. Lunak terhadap budaya mereka. Lunak terhadap berbagai kepentingan mereka. Dalam hal ini, ummat digiring ke dalam kebiasaan/kepentingan mereka dengan pemikiran-pemikiran yang luar biasa. Dengan logika-logika yang menyentuh, dan lebih hebatnya lagi kalau sudah menyitir ayat-ayat Alqur’an bahwa Islam itu “begini dan begini”.

Ini sudah bisa di pastikan, lahirnya aneka konsep pemikiran itu akan berpihak kepada Barat, seolah-olah mereka berbicara: “ sudahlah teman, jangan terlalu ekstrim terhadap kami, kalau kalian mau menerima sebagian kebiasaan kami, kalian juga yang akan menikmatinya bukan?”. Tanpa terasa, disaat seperti ini secara tidak langsung atau bahkan secara langsung iman kita telah tergadaikan dan kebangkitan Islam justru semakin terhambat.

Muhammad Imarah dalam bukunya Ghazwul Fikri, menyebutkan bahwa, ada beberapa ajaran Islam yang tidak diadopsi oleh Barat ketika mereka mempelajari sains Islam. Di antaranya, pertama, Barat tidak mengadopsi ajaran Islam yang memadukan syariat Islam dengan kehidupan dunia. Mereka memisahkan dunia dari agama. Kedua, mereka tidak mengambil ajaran Islam yang mengutamakan kemaslahatan bersama, akan tetapi kehidupan mereka bersifat individualis. Ketiga, Barat tidak mengambil ajaran yang mengutamakan akhlak dan ganjaran akhirat dalam amalan, akan tetapi mereka beramal sesuai syahwat mereka. Keempat, mereka tidak mengambil ajaran kekhalifahan sebagai sistem negara akan tetapi mereka mengambil sistem demokrasi.

Jadi, sangatlah rugi jika umat Islam sekarang harus terkontamitasi dengan nilai-nilai Barat ketika mereka mencoba mengadopsi peradabannya, seperti liberalisme, sekularisme, feminisme, dan lain-lain. Padahal hal itu hanya akan mendekontruksi nilai-nilai keagungan Islam, yang telah dipegang teguh selama berabad-abad. Mengapa umat Islam tidak mencontoh cara Barat dalam mengadopsi perdaban Islam, sebelum akhirnya mereka berhasil memegang peradaban dunia?

Membenarkan apa yang disebut oleh Muhammad Imarah, saya ingin mengutip sepotong ayat dan hadist. ”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah” (Ali Imran:28). Begitu juga Hadist Rasulullah Saw yang berbunyi, “Yang aku takuti terhadap umatku ialah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan”. (HR. Abu Dawud).

Penting untuk kita catat, bahwa cita-cita tatanan dunia Islam yang maju dan beradab tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi dan intelektualitas yang tinggi, namun miskin spirtualitas seperti bangsa-bangsa Barat; tidak juga sebaliknya: tinggi spirtualitas, namun lemah secara ekonomi dan intelektual seperti yang dialami oleh sebagian bangsa Timur. Islam tidak akan maju dengan mengadopsi total(tanpa filterisasi) semua paradigma dan metodologi (epistemologi, ontologi dan aksiologi) Barat, seperti Hermeunetika(cara tafsir Alquran dengan menggunakan metodologi Bibel), Pluralisme(paham yang intinya mengangap kebenaran agama sifatnya relatif) dan sebagainya.

Sebagai bukti, secara historis kita bisa melihat, kejayaan Islam masa lalu dirintis oleh para ulama dan umatnya yang memegang teguh ajaran Islam yang berlandaskan Alqur’an dan Sunnah. Misalnya saat kejayaan Islam di Abbasiyah, Turki Usmani maupun Andalusia. Semua kemajuan yang diraih ketika itu dilandasi oleh semangat Alqur’an yang menginspirasi mereka untuk menghasilkan begitu banyak karya dan sumbangan untuk peradaban manusia hingga era modern seperti saat ini.

Hal tersebut berbeda dengan apa yang terjadi di Barat, mereka mengawali kemajuannya di abad pencerahan(renesaince) ketika mereka berhasil meninggalkan gerajanya(seculerism). Akibat tidak puas dengan doktrin gereja yang sangat membatasi mereka untuk berpikir, akhirnya Galileo seorang pemikir Barat memberontak terhadap gereja meski pada akhirnya ia mati di tiang gantungan. Selain Galileo juga banyak tokoh pemikir Kristen lainnya yang memberontak terhadap doktrin gereja dan akhirnya harus mengakhiri hidupnya di tiang gantung sebagai hukuman karena melawan doktrin gereja.

Berbeda dengan Ibnu Sina, Ibn Rushd, Alkhawarizmi, Al-Kindi, Aljabar dan sebagainya yang membawa Islam ke puncak kemajuan dengan semangat Islam, semangat Alqur’an dan Hadist. Bahkan para tokoh pemikir Islam ini pula telah turut meletakkan peletak fondasi dasar kemajuan bangsa Barat. Jadi tugas kita sebagai intelektual Islam adalah tetap teguh memegang nilai-nilai Islam dengan apapun resikonya dan mengambil nilai-nilai positif dari kemajuan Barat untuk kemudian mentransfernya ke dunia Islam, karena memang kemajuan Barat dari segi teknologi adalah juga sesuai dengan ajaran Islam. Saya pikir adalah kekeliruan yang besar ketika semua paradigma Barat tentang Islam ditelan mentah-mentah oleh sebagian intelektual Islam seperti Ulil Absar dengan komunitas Jaringan Islam Liberalnya di Indonesia.

Apa yang saya tulis ini hanyalah sebuah kerisauan, keheranan sekaligus sebagai tanggung jawab moral saja. Bukan karena anti terhadap Islamic Studies. Terakhir, kita tidak dilarang memiliki pendapat atau bahkan menyebarkan pendapat tersebut. Yang dilarang/salah adalah ketika kita tidak bisa berpendapat atau berdialog dengan santun sesuai etika Islam yang telah diterjemahkan oleh Rasulullah selama hidupnya. Semoga tulisan ini bisa membuka kembali ruang dialog tentang diskursus pemikiran Islam dalam konteks bagaimana metodologi yang tepat untuk meraih kembali kejayaan Islam. Wallahu a’lam bishsawab.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Aceh, Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia(DDII) Kota Banda Aceh.