Merubah Paradigma Tauhid

Tauhid dalam Islam merupakan suatu disiplin keilmuan yang mempelajari tentang keesaan Allah. Dalam konsepsi teoritisnya, ilmu ini menjelaskan segala sesuatu tentang kekuasaan zat Allah Tuhan semesta alam. Bahwa Allah itu zat yang Maha Melihat, Maha Mengatur, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, memiliki nama-nama yang bagus(asmaul husna) dan sebagainya. Tauhid juga mengajarkan seorang hamba untuk meninggalkan semua sembahan selain kepada Allah Swt.

Namun, dalam praktek aplikatifnya, teori tauhid ini seakan menjadi bagian yang terpisahkan dari realita kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pengaruh yang signifikan dalam upaya rekonstruksi kebangkitan umat dan tranformasi kehidupan sosialnya.

Pengingkaran dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai ketauhidan menjadi hal yang sangat lumrah dilakukan. Baik oleh rakyat biasa, maupun pejabat dan petinggi negeri yang mengingkari janjinya dengan memakan uang yang seharusnya tidak mereka makan. Faktanya, penolakan terhadap hukum Allah dan berbagai pelanggaran terhadap norma-norma agama dan sosial lainnya masih terus berlanjut.

Misalnya praktek perdukunan, guna-guna, sombong, angkuh, syirik, korupsi, kolusi, nepotisme(KKN), kemaksiatan dan berbagai tindak kejahataan serta perbutan tidak bermoral lainnya terus berlangsung setiap saat dan bahkan semakin sulit untuk dihentikan. Dan yang sangat ironis adalah, bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut justru dilakoni oleh umat Islam yang hafal betul dengan dalil-dalil tauhid dan ruang lingkupnya.

Apakah para pelakunya tidak memiliki pengetahuan tentang disiplin ilmu tauhid?. Apakah para pelakunya tidak mengetahui bahwa Allah itu Maha Melihat, Maha Mengetahui dan sebagainya?. Bukan, namun hal itu terjadi karena ‘tauhid’ yang dipahami hanya sebatas ilmu pengetahuan tentang kekuasaan Allah. Pengetahuan tersebut tidak dijadikan sebagai paradigma (cara pandang) yang berimplikasi dalam kehidupan nyata.

Hal ini menurut saya merupakan sebuah persoalan yang layak untuk dibicarakan dan didiskusikan. Konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Padahal, seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, tetapi juga harus menjalankan perintahNya dan peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Maka, mestinya pemahaman seorang muslim terhadap Tauhid ini harus memberi pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan empiris(nyata). Selain itu, paradigm tauhid seharusnya mampu

Selain itu, aplikasi sosialnya mestinya tidak adanya peramal dan dukun, artinya kita hanya percaya bahwa Allah-lah yang bisa memberikan pertolongan, bukan dukun, bukan pula peramal.Karena jika kita tidak berpikiran demikian, maka berarti kita telah menduakan Dia sebagai Yang Maha memberikan pertolongan. Akan tetapi, hal ini mulai terhapus dan dihapus pada masa ini. Hal ini bisa kita saksikan dengan munculnya dukun-dukun entertainer yang sering muncul di televise.

Seperti Romi Rafael, Mama laurent, Ki Bodo atau yang lainnya. Ketika kita mengakui bahwa Allah itu Maha Esa, maka mestinya tidak ada praktek perdukunan dan apalagi mempercayainya. Tidak ada lagi yang masih percaya dengan takhayyul, khurafat. Tidak ada lagi yang masih suka mengamalkan ilmu sihir untuk guna-guna(pelet) dan pekerjaan syirik lainnya yang dilarang Allah.

Tauhid pada hakikatnya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Konsepsi ketauhidan sangat tidak memada dengan hanya perulang-ulangan materi pelajaran atau pengetahuan saja. Konsep ketauhidan ini mestinya bisa membawa umat Islam ke dalam sebuah kehidupan yang diimpikan. Pengetahuan terhadap Konsep pengesaan Allah mestinya tidak hanya berhenti di sini saja. Harus sinergi antara pengetahuan dan implementasi dalam kehidupan sosial. Ketika dikatakan bahwa pengesaan Tuhan berarti hanya fokus kepada satu Tuhan, maka dalam kehidupan sehari-hari kita juga harus fokus tehadap kewajiban yang kita emban, tidak boleh menduakan kewajiban itu dengan kepentingan lain apalagi kepentingan atau hawa nafsu pribadi, apalagi sampai menuhankan tuhan selain Allah seperti hawa nafsu matelisme dan sebagainya. Dengan pengetahuan tentang tauhid tersebut dan mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar, maka mestinya realita-realita menyedihkan di atas tidak muncul.

Jika bagian dari ajaran tauhid itu mengajarkan bahwa Allah itu maha melihat, maka mestinya seorang muslim itu akan malu melakuakn kemaksiatan karena ia yakin betul bahwa Allah selalu memperhatikannya. Alhasil, mestinya kita tidak pernah mendengar kasus praktek KKN yang dewasa ini sudah begitu membudaya. Jika bagian dari Tauhid itu mengajarkan bahwa Allah itu Maha Mengetahui, mestinya hal ini kita implementasikan dalam realita kehidupan dengan cara meninggalkan semua perbuatan yang tidak diridhaiNya seperti kasus-kasus yang penulis sebutkan diatas.

Jika bagian dari ketauhidan tersebut mengajarkan bahwa Allah itu Maha Melihat, maka mestinya tidak ada lagi praktek penipuan, tidak ada lagi golonngan yang resistensi terhadap syari’at Allah. Tidak ada lagi semua bentuk kemaksiatan dan pelanggaran terhadap syari’atNya. Maka, hendaknya kita selalu mempertanyakan kepada diri pribadi kita, sudahkah kita menjadi hamba Allah yang mengimplementasikan semua nilai-nilai ketauhidan dalam realita kehidupan?

Sudahkah kita menjadi seorang muslim yang benar-benar mengesakan Allah? Sudah kita menjadi hambaNya yang Ataukah kita masih memiliki tuhan-tuhan kecil selain Allah yang ternyata selalu menjadi sesembahan kita seperti hawa nafsu, materialisme dan sebagainya? Masihkah kita menjadi manusia yang selalu resistensi dengan syari’at Allah?. Na’uzubillahi min zalik.

Maka, saya pikir merubah paradigma tauhid adalah hal yang niscaya. Bahwa kajiannya tidak lagi hanya memada dengan teologi-antropologis, akan tetapi juga sosio-antropologis. Bahwa konsepsi ketauhidan bukanlah sebatas pada pengetahuan tentang keesaan Allah. Akan tetapi harus disertai dengan praktek aplikatif yang nyata dalam kehidupan empiris. Tanpa itu, maka layak dipertanyakan kesempurnaan syarat-syarat keimanan dan ketauhidan kita. Layak dipertanyakan, sudahkah kita mengakui bahwa Allah itu adalah Tuhan kita?. Wallahu a’lam bisshawab.

Penulis adalah Mahaiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh dan aktivis Ikatan Penulis Santri Aceh(IPSA).