Bapak Menteri, Jika Diskotik dan Klub Malam Bisa Bebas Pajak, Mengapa Buku Yang Mencerdaskan Bangsa Tidak Bisa?

buku arabYang Terhormat, Bapak Menteri Keuangan, merdeka!
Salam kemerdekaan ini saya ucapkan sembari berdoa agar Bapak diberikan lautan keberkahan, rahmat dan hidayah. Saya tahu sekali, tak mudah menjadi menteri di republik yang menjadi tempat bernaung sekitar  seperempat milyar jiwa ini. Pasti Bapak menghadapi hari-hari yang sulit, penuh tekanan dengan begitu banyak belitan problem yang saling sengkarut. Semoga Bapak kuat dan terus mampu memberikan keputusan yang terbaik.

Yang Terhormat Bapak Menteri, maafkan kelancangan saya dengan ditulisnya surat terbuka ini. Tetapi, beberapa hari ini, saya benar-benar merasa gelisah. Kegelisahan itu muncul ketika saya membaca berita di beberapa media tentang diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015.

Saya kutip beberapa paragraf yang saya baca dari Vivanews sebagai berikut:

“Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 158/PMK.010/2015 yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro pada tanggal 12 Agustus 2015, telah menetapkan sejumlah jenis jasa kesenian dan hiburan dalam kelompok yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).”

Menurut bunyi pasal 2 ayat (1) PMK tersebut, jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai itu meliputi semua jenis jasa yang jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.  Ada pun jenis kesenian dan hiburan yang termasuk tidak dikenai PPN itu adalah, tontonan film, tontonan pagelaran kesenian, pagelaran musik, pagelaran tari, dan pagelaran busana. Selain itu, tontonan kontes kecantikan, kontes binaraga, dan kontes sejenisnya, serta tontonan berupa pameran. Jenis tempat hiburan seperti diskotek, karaoke, klab malam, dan sejenisnya juga dibebaskan dari PPN.”

Bapak Menteri… apakah betul kabar tersebut? Jika betul, sebagai seorang penulis dan juga seorang pelaku industri perbukuan, saya merasa iri, sangat iri. Mengapa hal yang sama tidak berlaku di dunia perbukuan?

Memang betul, berdasarkan PMK RI no. 122/PMK.011/2013, terdapat buku-buku yang dibebaskan dari PPN, tetapi itu hanya meliputi buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama. Padahal, selain tiga jenis buku tersebut, masih banyak jenis-jenis buku lain. Dan, jika kita mau menelisik satu per satu, nyaris semua buku yang diterbitkan para penerbit Indonesia, adalah buku-buku yang mendidik. Jikapun ada buku-buku yang memang melulu untuk hiburan, menghibur lewat dunia aksara, menurut hemat saya tetap memberikan andil dalam pembangunan dunia literasi di negeri ini. Maka, jika PPn diskotek dan klab malam kemudian dihapus, sudah semestinya PPn untuk buku pun dihapus, untuk buku apapun.

Bapak Menteri, selain PPn yang harus dibayarkan pada setiap buku yang terjual, yang berarti akan menambah mahal harga buku, royalti penulis juga harus dipotong PPh sebesar 15%. Berapa sebenarnya kisaran royalti yang diterima penulis? Ah, tak sampai milyaran. Mencapai jutaan dalam empat bulan saja sudah bagus. Kadang ada yang hanya ratusan ribu, bahkan puluhan ribu. Sementara untuk menghasilkan sebuah tulisan, seringkali kami para penulis harus bersusah payah melakukan riset, begadang bermalam-malam, mengorbankan waktu untuk keluarga dan sebagainya.  Memang betul, di SPT yang kami buat, akhirnya kami akan mengkalkulasi seluruh penghasilan, dan jika total royalti kami kurang dari Rp 50.000.000,- setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), akhirnya kami hanya membayar 5% saja sisa royalti dikurangi PTKP tersebut. Tetapi, yang terjadi saat ini, penerbit-penerbit langsung memotong 15% dari secuil royalti yang harus kami terima, dan kami kesulitan untuk menarik kembali sisa uang yang telanjur dipotong tersebut. Selain kami tidak tahu, prosesnya juga ribet, membuat kami akhirnya memilih mengikhlaskan saja, karena jumlahnya juga tak seberapa.

Bapak menteri, jadi penulis di negeri yang tidak ramah terhadap perbukuan itu susah. Bapak lihat, di toko-toko buku, baru beberapa bulan buku kami sudah diobral. Setiap saat orang-orang berlomba-lomba beli gadget baru, mengalokasikan ratusan ribu untuk beli pulsa, tak segan-segan membayar sejumlah uang untuk makan di restoran, tetapi, untuk beli buku saja enggan. Senangnya cari gratisan. Jika saat ini banyak penulis yang bertahan, kebanyakan karena faktor idealisme. Sebab bagi mereka, menulis adalah bagian dari proses aktualisasi diri, atau kalau dalam bahasa agamanya: ibadah.

Apakah Bapak percaya, bahwa tradisi literasi yang baik bisa membentuk bangsa ini menjadi lebih cerdas, dewasa dan beradab? Kalau iya, mari beri ruang yang leluasa agar para penulis di negeri ini bisa tetap berkarya, tanpa harus memikirkan urusan dapur yang harus tetap mengepul. Banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya adalah mohon hapuskan PPn buku dan PPh royalti penulis. O, ya, selain PPn 10%, PPh royalti 15%, penerbit yang menerbitkan buku-buku kami juga terkena pajak 1% dari total penghasilan bruto per bulan. Oh, betapa banyak pajak yang harus dibayarkan dari dunia perbukuan.

Maka, Pak Menteri yang budiman… jika PPnBM untuk 33 jenis barang mewah sudah dihapuskan per 9 Juli 2015  (PMK Nomor 106/PMK.010/2015), dan kini menyusul PPn untuk tempat-tempat hiburan, kami tunggu gebrakan Bapak untuk menghapus PPn buku apapun, tanpa terkecuali. Kecuali, jika bapak menganggap tas Louis Vitton dan Hermes yang biasa ditenteng para sosialita, atau emas dan logam mulia, jauh lebih murah ketimbang buku-buku yang kami tulis. Atau, jika Bapak menganggap masuk ke diskotek atau klab malam itu lebih mendidik ketimbang baca buku. Tapi, saya kira tidak! Saya tahu, Bapak insan terpelajar, dan merupakan salah satu manusia terbaik di Indonesia. Saya lebih memilih melantunkan harap manis kepada Anda.

Salam cinta damai,
Afifah Afra

(rd/intriknews)