Catatan Kritis untuk Pengagum Demokrasi

islam demokrasiUmar Syarifudin (lajnah siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri)

Salah satu yang sering disebut-sebut merupakan nilai unggul demokrasi adalah sistem ini cerminan dari suara rakyat. Sebab dalam demokrasi, semuanya diukur berdasarkan kedaulatan rakyat. Siapa yang akan memerintah ditentukan oleh rakyat, lewat pemilu yang digelar secara priodik. Termasuk, kebijakan apa yang akan diterapkan, sering diklaim juga ditentukan oleh rakyat. Yakni, lewat wakil-wakilnya di parlemen. Karena itu pemerintahan yang dihasilkan lewat pemilu, dengan demikian adalah pemerintahan rakyat.

Seperti telah banyak dipahami, inti dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat (sovereignty belongs to people), yang perwujudannya tampak pada dua perkara. Pertama, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Kedua, dalam pemilihan pemimpin.  Dengan kewenangan (wakil) rakyat menyusun peraturan perundang-undangan dan memilih pemimpin, diyakini bahwa peraturan perundangan yang dihasilkan akan selaras dengan kepentingan rakyat, dan pemimpin yang terpilih akan benar-benar bekerja demi rakyat.

Pendek kata sistem ini merupakan yang terbaik, karena atas nama rakyat. Namun, kenyataan dalam prakteknya, tidaklah seperti yang diangankan dalam teorinya. Pemilu dan pemerintahan atas nama rakyat sering kali dicatut untuk kepentingan yang justru bertentangan dengan rakyat.

Antara Idealita dengan Realita
Lingkaran setan hubungan kekuasaan dan kekayaan dipercaya banyak terjadi di dalam sistem politik demokrasi. Lingkaran dimana uang dipakai untuk mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan digunakan untuk mengeruk uang (money to power, power to money).Anggapan yang sudah berkembang di tengah masyarakat. Hal ini kemudian yang diperkuat oleh hasil penelitian wakil ketua DPR Pramono Anung untuk menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Padjadjaran Bandung. dari penelitian itu didapat kesimpulan bahwa DPR memang banyak dihuni para pekerja yang sekadar mencari nafkah, bukan tempat para idealis memperjuangkan kepentingan rakyat.

Penelitian dengan tema motivasi menjadi anggota dewan itu hasilnya menunjukkan bahwa motivasi terbesar seseorang masuk ke DPR ialah faktor ekonomi. Hasil penelitian itu membuat kita kian paham mengapa anggota DPR rajin membuat kebijakan yang langsung menambah pundi-pundi mereka. Selain mendapat honorarium tetap sebagai wakil rakyat, mereka menerima pula tunjangan komunikasi, transportasi, listrik, beras, dan aneka tunjangan lainnya.
Mereka membangun kompleks perumahan DPR dengan biaya ratusan miliar rupiah. Akan tetapi, rumah tersebut tidak dihuni. Sebagai gantinya mereka malah minta uang akomodasi. Meski dikecam, mereka tetap saja pelesiran ke luar negeri dengan kemasan studi banding. Di mancanegara mereka berbelanja. Mereka pun tetap malas mengikuti rapat. Sering rapat dimulai terlambat, bahkan ditunda-tunda, karena tidak memenuhi kuorum. Begitulah, DPR berubah menjadi tempat orang-orang malas yang mencari nafkah, bahkan menjadi kaya dengan bergelimang tunjangan dan kemudahan. (lihat mediaindonesia.com/read/2012/05/08/318084/70/13/Mencari-Nafkah-di-DPR).

Demokrasi mendasarkan diri pada prinsip etnosentrisme, paham yang menganggap manusia sebagai makhluk terunggul. Padahal kenyataannya manusia adalah makhluk yang lemah. Lihatlah, bagaimana peraturan perundangan buatan manusia yang lahir dari kesepakatan-kesepakatan demokratis selalu berubah-ubah. Yang dulu dibenci sekarang disukai. Yang dulu dilarang sekarang menjadi boleh. Yang ganjil bisa berubah menjadi wajar. Yang semestinya dibenci malah disuka. Yang harusnya disuka malah dibenci. Jadi, bagaimana bisa suara dari makhluk yang lemah itu disamakan dengan suara Al-Khaliq Yang Mahagagah? Benarlah kata filsuf Yunani kuno Aristoteles, demokrasi adalah buah pikir manusia purba. Menurut Winston Churchill, mantan PM Inggris, demokrasi merupakan alternatif terburuk dari bentuk pemerintahan manusia.

Pada hakikatnya sistem Demokrasi memiliki sisi gelap yang disebut kekuasaan kapitalis. Sisi gelap inilah yang selalu ditutupi oleh para kapitalis yang menjadi motor gerakan Demokrasi. Biasanya para kapitalis dan orang-orang kaya adalah mereka yang memiliki kesempatan pertama untuk duduk di dewan perwakilan. Sedangkan orang-orang miskin dan rakyat jelata pada umumnya tidak memperoleh kedudukan apa pun dari pengorbanan yang mereka keluarkan saat pemilihan umum, sebagaimana mereka tidak akan mendapatkan keuntungan sosial apa pun setelahnya.
Akibat logis dari penerapan sistem kapitalisme dengan politik demokrasinya. Kapitalisme mengajarkan asas manfaat sebagai pondasinya dan keuntungan materi sebagai tolok ukurnya. Kapitalisme mengajarkan bahwa segala upaya dan pengorbanan manusia itu harus bisa mendatangkan keuntungan materi. Kapitalisme mendorong setiap orang menghitung apa saja yang dilakukannya dalam konteks untung rugi materi. Dalam kamus kapitalisme tidak dikenal yang namanya pengorbanan. Sebab yang ada adalah investasi. Berapa yang dikeluarkan dan berapa yang didapat sebagai imbalannya atau berapa yang harus diperoleh untuk mengembalikan modal atau biaya yang dikeluarkan disertai sekian persen keuntungan.

Dalam pentas politik, doktrin-doktrin itu diwadahi dalam sistem politik demokrasi. Sistem ini bertumpu pada sistem perwakilan dimana “wakil-wakil rakyat” dipilih secara periodik oleh masyarakat, disamping penguasa yang juga dipilih langsung oleh masyarakat secara periodik yang sama. Sistem politik demokrasi ini sarat modal. Mengingat untuk pencalonan dan proses pemilihan diperlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya itu bisa berasal dari kantong sendiri atau kebanyakan dari sponsor yaitu para pemodal. Karena itu dengan doktrin kapitalisme diatas, ketika seorang wakil berhasil terpilih, hal pertama yang menjadi fokus dia adalah bagaimana mengembalikan modal yang dikeluarkan dan berikutnya mengumpulkan modal untuk proses periode berikutnya.

Demokrasi semakin jauh dari realisasi politik “demi kepentingan rakyat.” Para pemilik modal itulah yang akhirnya secara efektif memiliki akses dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tak heran bila kemudian kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih cenderung menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya yang tidak lain adalah mereka yang telah mendukung rezim naik ke tampuk kekuasaan sehingga yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin tersisihkan.

Keadaan inilah yang menimbulkan  ketimpangan ekonomi di berbagai negara di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, dari tahun 1980 hingga 2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1% penduduk. Dari tahun 1979 hingga tahun 2007 pendapatan rata-rata 1% terkaya orang naik 272% dari 350.000 USD ke 1.300.000 USD. Pada kurun waktu yang sama, pendapatan rata-rata 20% penduduk AS termiskin hanya naik 13% dari 15.500 USD ke 17.500 USD.

Di Indonesia, kesenjangan serupa juga terjadi. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33.

Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011). Kekayaan 40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB, dan itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang.

Dalam konteks global, terjadi pula kecenderungan peningkatan ketimpangan kekayaan. Hingga tahun 2010, sebanyak 0,5% penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki 35,6% kekayaan global; 8% penduduk terkaya (358 juta) memiliki 79,3 kekayaan global. Sebaliknya, 68,4% penduduk miskin (3,038 miliar) hanya memiliki 4,2% kekayaan global. Maka tak heran, dalam demo yang marak terjadi di berbagai negara Barat menyusul krisis ekonomi yang tak kunjung surut, mereka membawa poster atau spanduk berbunyi: “Capitalism is not working”, “Capitalism is merely for 1%, we are the 99%”.

Konsentrasi kekayaan hanya pada kelompok kecil itu tentu saja mengakibatkan melajunya proses pemiskinan dan peningkatan jumlah orang miskin di dunia.  Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan juga naik 200% sejak 1980-an.  Kemiskinan adalah pembunuh massal yang sangat kejam. Dilaporkan 22.000 anak-anak di dunia meninggal tiap hari akibat tidak cukup mendapatkan makan, air bersih dan layanan kesehatan. Belum lagi mereka yang terpaksa hidup seadanya, tanpa tempat tinggal yang layak, nutrisi yang mencukupi dan layanan pendidikan dan kesehatan yang semestinya.

Pendapat Aristoteles perlu dicermati, dia seorang pemikir politik Empiris-Realis yang juga murid Plato di zaman Yunani klasik, yang kemudian banyak merumuskan gagasan-gagasan tentang Demokrasi dan melahirkan karya-karya besar di bidang pemikiran ketatanegaraan. Diantara karyanya yang monumental dan kemudian menjadi bahan kajian bagi pemikir-pemikir Demokrasi generasi berikutnya adalah ‘Politics’ The Athenian Constitution. Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan) dan bertujuan hanya demi kepentingan mereka, maka bentuk negara itu adalah Demokrasi.

Demokrasi seakan memiliki konotasi negatif dan Aristoteles tidak menyebutnya sebagai bentuk negara ideal. Dalam ‘Politics’, Aristoteles menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (atau pertentangan) kepentingan, perbedaan latarbelakang sosial ekonomi, dan perbedaan tingkat pendidikan.

Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. Perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kendala bagi terwujudnya pemerintahan yang baik. Konsensus sulit dicapai dan konflik mudah terjadi.

Ia (Aristoteles) kemudian mengakui bahwa negara ideal adalah negara yang diperintah oleh seorang penguasa yang filosof, arif dan bijaksana dan kekuasaannya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Aristoteles menyebut bentuk negara seperti ini sebagai Monarkhi. Tetapi Aristoteles kemudian menyadari bahwa bentuk negara seperti ini (Monarkhi) nyaris tak mungkin ada dalam realitas. Ia hanya refleksi gagasan normatif yang sukar terealisasi dalam dunia empiris. Meskipun kemudian pada kenyataannya corak pemerintahan yang identik dengan pandangannya itu, lahir secara nyata di belahan bumi lain berabad-abad kemudian setelah kematiannya, yaitu pemerintahan atau daulah kekhilafahan Islamiyah di jazirah Arab yang dipimpin oleh seorang Khalifah atau pemimpin (bukan penguasa) yang filosof, arif dan bijaksana, yang berpedoman pada Kitabullah dan As-Sunnah, serta kepemimpinannya digunakan untuk membawa manusia kepada fitrahnya sebagai hamba Allah untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain jauh sebelum kemunculan Islam, ternyata sistem pemerintahan yang digunakan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya sepeninggal Beliau Saw, telah diakui oleh pemikir-pemikir besar dunia sebagai sistem yang terbaik dan ideal.

Perlu diingat, sistem demokrasi telah dijadikan salah satu senjata Barat untuk menghancurkan Islam. Ini nampak ketika ketika negara-negara Barat mengadakan Konferensi Berlin pada akhir abad ke-18 M. Negara-negara penjajah itu memang tidak mencapai kata sepakat bagaimana membagi-bagi Negara Khilafah Utsmaniyah –mereka sebut sebagai The Sick Man– andaikata “orang sakit” ini telah masuk liang lahat. Namun mereka menyepakati satu hal, yaitu memaksa Khilafah untuk menerapkan sistem demokrasi. Akhirnya Khilafah menerapkan sistem kementerian (al-wuzarah) seperti dalam sistem demokrasi, akibat tekanan dan paksaan Barat. Ketika Khilafah hancur pada 1924, Barat segera meracuni pemikiran umat Islam dengan menulis berbagai buku yang menyatakan bahwa Islam adalah agama demokratis, atau bahwa demokrasi berasal dari ajaran Islam.

Ya, Islam. Bukan Demokrasi
Ditinjau dari akar kelahirannya, Islam jelas berbeda dengan demokrasi. Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu Allah Swt. Memang, ada sementara pihak yang mencoba menyebut Islam sebagai Mohammedanism untuk menimbulkan kesan sebagai agama buatan Muhammad, seperti yang dinyatakan oleh H.A.R. Gibb Selain dari segi akar kelahirannya, pilar-pilar demokrasi bertentangan secara diametral dengan Islam. Beberapa elemen pokok demokrasi adalah: (1) Kedaulatan ada di tangan rakyat; (2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan; (3) Penjaminan terhadap empat kebebasan pokok, yaitu kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan pemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan bertingkah laku (personal freedom). Adapun sorotan kritis akan kita selesaikan, menyikapi 3 aspek demokrasi yang secara frontal berbeda dengan konsep Islam.
1. Kedaulatan
Dalam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk. Siapa pun berhak mengklaim baik-buruknya sesuatu. Masyarakat bersikap “apa pun boleh”. Di San Fransisco, para eksekutif makan siang di restoran yang dilayani oleh pelayan wanita yang bertelanjang dada. Sebaliknya, di New York (masih di AS), seorang wanita telah ditangkap karena memainkan musik dalam suatu konser tanpa pakaian penutup dada. Newsweek menyatakan, “…Kita adalah suatu masyarakat yang telah kehilangan kesepakatan….suatu masyarakat yang tidak dapat bersepakat dalam menentukan standar tingkah laku, bahasa, dan sopan santun, tentang apa yang patut dilihat dan didengar.”

Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah. Penetapan hukum tidak bermakna teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk dan halal-haram. Allah Swt. berfirman:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An’am [6]: 57).

Jika kalian (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya). (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Tentang apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (QS asy-Syura [42]: 10).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum). Segala produk hukum dalam sistem Islam harus merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah yang ditunjuk oleh keduanya, yakni Ijma Sahabat, dan Qiyas (ijtihad).

2. Kekuasaan
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat. Rakyat lalu “mengontrak” seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak mereka. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena ia hanya sekadar “buruh” yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan kontrak sosial.

Dalam sistem Islam, kekuasaan memang berada di tangan rakyat. Atas dasar itu, rakyat dapat memilih seorang penguasa (khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan seorang khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan sukarela tanpa paksaan (ridhâ wa al-ikhtiyâr). Akan tetapi, berbeda dengan sistem demokrasi, khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk melaksanakan dan menjaga hukum Islam. Seorang khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya. Ia hanya boleh dipecat jika tidak lagi melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat.

Untuk memutuskan apakah seorang khalifah lalai dalam pelaksanaan hukum Islam, negara mempunyai instrumen hukum berupa Mahkamah Mazhalim yang berhak mengadili dan memecat penguasa. Kaum Muslimin juga didorong untuk selalu mengoreksi penguasa. Rasulullah saw. bersabda:

Pemimpin para syuhada adalah Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat munkar, kemudian penguasa itu membunuhnya.

3. Kebebasan
Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya—apa pun bentuknya—secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.
Masyarakat demokratis bebas memeluk agama apapun, berpindah-pindah agama, bahkan tidak beragama sekalipun. Juga bebas mengeluarkan pendapat, walaupun pendapat itu bertentangan dengan batasan-batasan agama. Bebas pula memiliki segala sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, bahkan bulan dan planet jika sanggup. Harta dapat diperoleh dari segala sumber, baik dengan berdagang ataupun dengan berjudi dan korupsi. Dalam sistem demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah laku tanpa peduli dengan mengabaikan tata susila dan kesopanan.

Sebaliknya, Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Islam telah merinci dengan jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban manusia. Islam bukan hanya berorientasi kepada kewajiban, tetapi juga hak sebagai warganegara dan individu.

Islam, misalnya, melarang seorang Muslim untuk mempermainkan agama dengan cara berpindah-pindah agama. Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa mengganti agamanya (Islam), bunuhlah. (HR Muslim dan Ashab as-Sunan).

Islam juga melarang seseorang untuk memiliki benda-benda yang tidak berhak dimilikinya, baik secara pribadi maupun kelompok. Islam telah merinci beberapa cara pemilikan yang terlarang, misalnya pencurian, perampasan, suap (riswah), korupsi, judi. Sebaliknya, Islam menghalalkan beberapa sebab pemilikan, yaitu bekerja, waris, mengambil harta orang lain dalam keadaan terdesak yang mengancam jiwanya, serta harta yang diperoleh tanpa pengorbanan semisal hadiah, hibah, sedekah, atau zakat.

Dalam masalah tingkah laku, Islam memberikan batasan susila yang jelas, terutama masalah interaksi pria-wanita (ijtima’iy). Sebaliknya, di dalam sistem demokrasi, interaksi pria-wanita yang sangat bebas telah memunculkan berbagai masalah pelik, seperti menyebarnya berbagai penyakit menular seksual (PMS)

Khatimah
Bahaya dari penerimaan sistem Demokrasi tidak hanya tersembunyi di balik kegagalan dan ketimpangan aktivitas politiknya, tapi bahaya yang lebih besar adalah ketika sebagian orang-orang Islam mengimani pada suatu sistem yang berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat kehidupan, alam dan manusia. Yang akibatnya bisa menghilangkan pemahaman Islam yang hakiki tentang masalah tersebut.
Kepada para pemimpin berbagai jama’ah Islam yang mendukung sistem demokrasi, hendaknya tulisan ini didudukkan pada tempatnya : sebagai nasehat. Sedangkan bagi selain mereka dari kalangan Liberalis, Nasionalis, Komunis dan yang sepaham dengan mereka boleh jadi tulisan ini justru memberikan kesenangan tersendiri bagi mereka, karena mereka mengira bahwa jika para aktivis Islam meninggalkan dewan perwakilan, maka akan memberikan peluang yang lebih luas bagi mereka dalam kancah politik. Tentu saja ini hanya sekedar asumsi mereka saja. Sebab kancah pertempuran yang sebenarnya ialah pertempuran dalam meraih kemampuan dan kesuksesan memberikan pengaruh dan tekanan di tengah masyarakat, yaitu ketika orang-orang Islam berpegang teguh kepada prinsip-prinsip atau manhaj mereka dan mereka tidak berfikir lagi untuk mencari pengganti dari syari’at.
Jika hal itu terjadi maka tinggal menunggu waktu saja sampai terwujud kemenangan umat melalui gerakan-gerakan Islam yang menghendaki perubahan mendasar terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan umat, dan pergerakan ini tidak akan mampu dihalang-halangi bahkan oleh konspirasi negara adidaya sekalipun. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw melalui perjuangan Beliau Saw pada periode awal pergerakan Islam di Makkah dan Madinah sampai Islam tegak dan syiarnya tersebar luas hingga sampai ke rumah kita. Oleh karena itu sudah saatnya energi kaum muslimin tidak terkuras untuk memikirkan kebergantungan kepada demokrasi dan DPR, maka inilah nilai sebenarnya yang mulia, bukan sekedar dugaan atau asumsi.