Demokrasi Penuh Ilusi, Saatnya Syariat Islam menjadi Solusi

Saat ini, Sistem Demokrasi  sering dianggap sebagai sistem ideal bagi suatu negara. Baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Demokrasi ideal karena menawarkan banyak harapan, seperti kedaulatan di tangan rakyat,  kekuasaan mayoritas, serta jaminan keadilan dan kesejahteraan. Negara lain meyakininya karena melihat negara Barat yang berhasil menjadi negara maju dengan menerapkan sistem ini. Namun faktanya, semua itu hanya ilusi yang diwujudkan oleh sulap demokrasi. Mengapa? Mari kita buktikan.

Ilusi pertama, Ilusi Kedaulatan Rakyat. Demokrasi memiliki inti konsep bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang memiliki hak membuat hukm dan peraturan. Wujudnya adalah dengan adanya para wakil rakyat (MPR/DPR) yang menjadi representasi rakyat dalam menyampaikan aspirasi rakyat dan akan mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan rakyat.

Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Faktanya, para wakil rakyat ternyata tidak mewakili kepentingan rakyat, tapi mewakili kepentingan partai dan golongannya. Ini diawali dari proses untuk menjadi anggota DPR/MPR yang mahal. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapat fakta , untuk pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan dana minimal Rp. 600 juta. Bahkan sampai ada yang menghabiskan Rp. 6 Miliar. Begitu pun

Dana sebesar itu tidak berasal dari kantong sendiri saja, tapi juga disumbang oleh pihak pmodal/pengusaha. Tentu tidak ada makan siang yang gratis. Sumbangan tersebut harus dibayar dengan kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal daripada kepentingan rakyat. Hal ini tercermin dalam UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pangan, dsb.

Hal yang sama juga terjadi pada para penguasa. Pemilihan langsung yang membutuhkan biaya besar, berdampak pada kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pemilik modal.

Ilusi kedua, Ilusi Keadilan Hukum. Ilusi kedaulatan di tangan rakyat yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya menghasilkan ilusi yang berikutnya. Yakni keadilan hukum. Demokarasi memberikan hak kepada manusia untuk membuat hukum. Produk hukum/peraturan yang dihasilkan oleh para wakil rakyat tidak hanya cacat dari sisi substansi, tetapi juga pada proses pelaksanaan.

Korupsi, saat ini menjadi jamur dimusim hujan. Tumbuh dan melanda di berbagai tempat. Marzuki Ali bahkan mengatakan korupsi ini ibarat ‘hujan yang merata’ . Artinya, semua melakukan. Mulai dari anggota dewan, kepala daerah, sampai PNS. Kementrian Dalam Negeri mencatat hingga 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat korupsi. Adapun jumlah Anggota dewan di daerah, ada sekitar 431 yang terlibat korupsi. Maka tidak heran, indeks Korupsi RI naik dari peringkat 100 menjadi118 pada2012.

Sayangnya, penyelesaian kasus korupsi pun hingga saat ini belum tuntas. Yang terjerat baru ikan kecil. Sementara ikan besar masih belum tersentuh hukum. Belum lagi kasus kriminalitas yang semakin hari semakin meningkat. Menambah ruwet permasalahan hukum di negeri ini.

Inilah konsekuensi dari hukum buatan manusia. Standar keadilan dan kebenaran ditentukan oleh persepsi manusia. Baik dan buruk diukur menurut kepentingan dan manfaat. Akhirnya, hukum diperjualbelikan. Siapa yang kuat /punya uang atau relasi, dialah yang menang. Maka, keadilan hukum menjadi ilusi yang nyata dalam demokrasi.

Ilusi ketiga, Ilusi Kesejahteraan Rakyat. Slogan goverment of people, by the people, for the people yang dikemukakan Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16, menjadikan demokrasi dipuja,karena dianggap mampu memuaskan aspirasi seluruh rakyat.

Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa demokrasi sama sekali tidak pernah berpihak kepada rakyat. Yang diuntungkan adalah kelompok elit. Yakni para penguasa dan pemilik modal. Sementara rakyat hanya menjadi tumbal yang hanya diambil suara untuk melegalkan kekuasaan.

Di AS, antara tahun 1980-2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1% penduduk. Dari tahun 1979-2007 pendapatan rata0rata 1% orang terkaya naik 272% sementara pendapatan rata-rata 20% penduduk AS termsiskin hanya naik 13%. D Indonesia , kesenjangan yang sama terjadi. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) Gini Rasio Indonesia (rasio yang mengukur tingkat kesenjangan) naik dari 0,33 tahun 2005 menjadi 0, 41 tahun 2011. Semua itu menunjukan bahwa demokrasi untuk memberikan kesejahteran pada rakyat hanyalah ilusi semata.

Semua ilusi itu diakibatkan karena sistem demokrasi berdiri diatas asas sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Aturan Allah SWT sebagai Maha Pencipta dan Mengatur dicampakan dan diganti dengan aturan buatan manusia yang serba terbatas. Padahal telah jelas, bahwa hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT.

Maka dari itu, sistem demokrasi ini sudah nyata tak layak lagi diharapkan. Sudah saatnya ia dicampakan. Dan diganti dengan sistem yang datang dari Penguasa manusia dan alam semesta, yakni Allah SWT, berupa syariat islam yang sempurna. Syariat islam adalah solusi bagi semua permasalahan manusia.

Syariat Islam akan efektif jika diterapkan dan dijalankan oleh negara. Niscaya semua keadilan, kesejahteraan, kehidupan yang aman dan tentram akan dapat dirasakan oleh semua manusia di berbagai negeri di dunia ini.

 

Idea Suciati

Mahasiswi PPs Jurusan Kebijakan Publik UNPAD

Ketua Pusat Kajian dan Pembangunan Karater Bangsa

Email: [email protected]