Haruskah Memilih Pemimpin Pluralis?

presidenIsu pluralisme kembali dimunculkan dalam suasana tahun politik 2014 ini. Tema mengenai Pemimpin pluralis sempat menjadi salah satu topik yang diangkat oleh Metro TV (31/12/2013) dengan tajuk Mencari Pemimpin Pluralis. Tema ini diangkat setelah Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) merilis hasil survey “Siapa Figur Pemimpin Paling Pluralis” dirilis di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (10/11/2013).

Berdasarkan hasil survei tersebut disebutkan 6 orang tokoh yang dianggap paling pluralis, berasal dari kalangan elite lama maupun baru. Dari kalangan elite lama, keluar nama Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh disusul Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subianto. Pada elite baru, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, disusul Hary Tanoesoedibjo dan Ali Masykur Musa.

Survei itu dikeluarkan LPI  karena ada kekhawatiran isu-isu berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan dipolitisasi dalam Pemilu 2014 mendatang, saat ini saja sudah mulai terlihat muncul berbagai upaya untuk saling menjatuhkan antara calon yang satu dengan yang lain. Para kandidat presiden sendiri sering berusaha menghindar dari isu pluralisme, padahal dalam Pemilu nanti pluralisme bisa menjadi isu sentral[1]. Survei ini sempat mengundang kecaman. Ada yang menilai survei yang dilakukan LPI lebih bernuansa politis ketimbang riset ilmiah.

Terlepas dari motif dilakukannya survei ini, banyak kalangan berharap bahwa Presiden terpilih pada Pilpres 2014 berasal dari tokoh yang pluralis. Hal ini mengingat kondisi Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama, serta berada dalam kondisi yang kurang kondusif, masih sering terjadi konflik ditengah masyarakat serta tidak ada perlawanan pemerintah terhadap kelompok berjubah agama. Jika pemimpin Indonesia yang baru seorang pemimpin yang pluralis maka diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan seluruh pihak.

Pertanyaannya, Ada apa dibalik mencuatnya isu ini? Apa bahaya ide pluralisme ini? bagaimana Islam menyikapi pluralisme?dan seperti apakah pemimpin dalam islam?Tulisan ini akan mencoba membahas hal tersebut.

Hakikat Pluralisme dan Bahayanya

Pemimpin pluralis dalam konteks ini bisa diartikan sebagai pemimpin yang memiliki sifat/pemahaman pluralis atau pluralisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman, dan “isme” yang berarti paham. Jadi, pluralisme adalah paham kemajemukan.

Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.

 

 

Adapun beberapa kriteria pemimpin yang pluralis dapat kita lihat dari indikator yang digunakan LPI dalam surveinya. Terdapat 6 Indikator yang digunakan, yakni memiliki wawasan keindonesiaan, bersifat moderat, membela hak minoritas, mengusahakan kebijakan pro pluralisme, tidak mencampuradukan urusan agama dan politik, tegas terhadap ormas radikal berjubah agama [2]

Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.

Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik. Padahal. pada faktanya penyebab konflik tidak selalu karena agama.

Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam[3]

Isu pluralisme senantiasa digulirkan dan dipersepsikan sebagai sifat yang mulia, yang mengakomodasi perbedaan dan berpihak kepada seluruh pihak yang beraneka ragam. Maka tak aneh jika tokoh-tokoh  yang berniat mencalonkan menjadi presiden atau aleg mengaku-aku bahwa mereka seorang pluralis dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dari berbagai kalangan/agama agar memilihnya.

Ide pluralisme agama saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.

Maka jelaslah dari sisi konsep,  pluralisme adalah ide yang rusak dan bathil. Jika ide ini diemban oleh seorang pemimpin negara, maka sangatlah berbahaya, karena terkait dengan kebijakan yang akan diputuskan olehnya.

Bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).

Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.

Dalam masyarakat yang menganut pluralisme, berbagai kelompok sah-sah saja lahir. Mau kelompok yang menyerukan kebaikan atau Islam saampai kelompok yang menyerukan kesesatan. Jadi kelompok-kelompok aliran sesat pun harus dibela haknya. Sebab menurut ide pluralisme, mereka boleh saja dan berhak ada. Makanya orang-orang yang menganut faham pluralisme, sangat membela  keberadaan kelompok aliran-aliran sesat. Walaupun mereka tidak bergabung dengan kelompok tersebut. Ini sangat berbahaya. Wajar kalau pluralisme ini pernah difatwa sesat oleh MUI dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005.

Di Indonesia, Pluralisme sudah nampak dalam level kebijakan nasional. Mantan presiden ke-4, Gusdur disebut sebagai Bapak Pruralisme Indonesia. Karena saat menjadi presiden, Gusdur dianggap sangat mengedepankan toleransi dan persatuan dalam kebutuhan untuk melindungi kaum lemah, termasuk kelompok minoritas. Hal ini ditunjukan dari kebijakannya yang pluralis dan kontroversial. Presiden ke-4 Indonesia itu mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6/2000 yang isinya mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan pengekspresian terhadap kebudayaannya di Indonesia. Ia pun melindungi kelompok minoritas Ahmadiyah. Bahkan sempat mengusulkan  untuk mencabut TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 tentang pelarangan faham Marxisme-Leninisme.

Pluralisme pun dijadikan isu dalam Pilkada Jakarta. Akhirnya Pasangan Jokowi – Ahok dimana Ahok yang seorang Nasrani menang dalam Pilkada Jakarta, padahal penduduk jakarta mayoritas muslim. Menghadapi pemilu 2014 isu pluralisme pun dimanfaatkan oleh pasangan Win-HT dimana Hari Tanoe juga adalah seorang Nasrani.

Islam Menyikapi Pluralisme

Prinsipinya, harus dibedakan antara pluralitas  dan pluralisme. Pluralitas adalah sebuah keadaan dimana di tengah masyarakat terdapat banyak ragam ras, suku, bangsa, bahasa dan agama. Ini adalah sebuah kenyataan masyarakat sebagai hasil dari proses-proses sosiologis, biologis dan historis yang telah berjalan selama ini. Sementara, pluralisme adalah paham yang menempatkan keragaman sebagai nilai paling tinggi dalam masyarakat. Pluralisme agama adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama.

Dalil yang menunjukan bahwa Islam mengakui pluralitas adalah firman Allah SWT QS al-Hujurat [49]: 13 yang artinya:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah

Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:

Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).

Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan: Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).

Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]: 85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72). Jadi, islam mengakui adanya pluralitas, namun tidak mengakui pluralisme karena bertentangan dengan prinsip aqidah islam.

Pemimpin dalam Islam

Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam Islam merupakan jabatan yang berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang pemimpin adalah pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT. Seorang pemimipin layak dipilih/ditaati, selama ia melakukan pengaturan urusan rakyat sesuai dengan aturan Allah. Sebaliknya, jika ia telah berkhianat dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka pemimpin semacam ini tidak layak dipilih dan tidak wajib untuk ditaati.

Maka, pemimpin kaum muslimin yang bertaqwa tidak mungkin mengadopsi pemahaman yang bukan berasal dari Syariat islam seperti pluralisme. Di Negara Madinah—yang dipimpin Rasulullah—saat itu, komposisi masyarakat Madinah yang diakui dalam Piagam Madinah itu terdiri dari beberapa kelompok komunitas. Namun semua kelompok itu tunduk kepada sistem dan hukum Islam. Orang-orang musyrik dan komunitas Yahudi, semuanya tunduk kepada sistem dan hukum Islam, sekalipun mereka masih memegang keyakinan masing-masing dan tidak memeluk Islam. Maka, jika ada yang mengklaim bahwa Piagam Madinah mengakui pluralisme adalah kesalahan.

Pemimpin dalam islam (Khalifah) akan memperlakukan Muslim dan Non Muslim sama sebagai warga negara. Secara khusus malah yang wajib bagi muslim tidak wajib bagi non muslim, seperti membayar zakat, ini tidak wajib bagi yang beragama non Islam. Dalam kehidupan publik, warga non muslim mendapat perlakuan sama dengan yang muslim. Seperti keduanya berhak mendapat perlindungan keamanan, pendidikan dan layanan kesehatan gratis. Jika seorang muslim tidak boleh diciderai jiwa dan kehormatannya serta diambil hartanya tanpa hak, maka begitu juga non muslim.

Itulah wujud keadilan yang diberikan oleh islam. Dengan pemimpin dan sistem seperti itulah, islam telah terbukti berhasil mempersatukan bangsa-bangsa arab dengan bangsa yang lain dalam satu ikatan kokoh, dan mampu membangun peradaban yang hasilnya dirasakan oleh seluruh warga negara bahkan oleh negara lain.

Penutup

Jelas sudah bahwa pluralisme adalah isme yang berbahaya yang bukan berasal dari islam. Tujuan akhir dari konsep pluralisme agama sangat mudah dibaca, yaitu agar umat Islam hancur Aqidahnya, sehingga hegemoni kapitalisme yang kafir atas Dunia Islam semakin paripurna dan total. Karena Barat sangat memahami, bahwa Aqidah Islam adalah rahasia atau kunci vitalitas dan kebangkitan umat Islam. Istilah pemimpin plural pun adalah istilah yang dibuat oleh Barat untuk mengkotak-kotakkan pemikiran umat. Seperti istlah islam moderat dan islam radikal. Dengan istilah pemimpin pluralis ini, seolah-olah, kita diminta memilih antara pemimpin pluralis dan yang tidak pluralis, padahal dalam islam yang ada hanyalah pemimpin yang islam saja. Pemimpin islam (Khalifah) tentu akan menolak paham ini dan hanya mengambil pemahaman yang sesuai dengan hukum syara’.

Permasalahan pluralisme ini hanyalah satu dari sekian pemahaman kufur yang meracuni umat. Karena akar permasalahan munculnya pluralisme ini adalah bercokolnya sistem kapitalisme. Dimana diatas aqidah sekulernya dibangun bermacam pemikiran dan peraturan yang memisahkan urusan agama dari kehidupan, sehingga manusialah yang berhak membuat peraturan sesuai akal dan hawa nafsunya. Maka, perubahan yang hakiki yang dinantikan, bukan semata ditentukan oleh siapa pemimpin negeri ini, apakah dia plural atau tidak, melainkan perubahan sistem. Dari sistem kapitalis sekular diubah menjadi sistem islam.

Hanya dengan sistem islam yakni dibawah naungan khilafah rasyidah ala minhaj nubuwwah akan lahir pemimpin yang akan mengurus rakyatnya dengan hukum Allah. Dan hanya dengan Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang bertaqwa, negara dan kaum muslimin akan bangkit dan kembali memimpin dunia.

Idea Suciati

Mahasiswa Jurusan Kebijakan Publik

Universitas Padjadjaran

Sumber:

[1] Rambe, Jacob. Pemimpin Pluralisme: Sebuah Output Harapan dari Pemilu 2014. http://www.theglobal-review.com/15.11.2013 diakses 11/01/2014

[2] http://ib.ayobai.org/2014/01/kritik-terhadap-6-indikator-survey.html

[3] http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/05/bahaya-pluralisme/