Isra Mi’raj dan Ujian Iman

Oleh: Adam Cholil (pengajar di HSG khoiru ummah Gresik)

Isra’ dan mi’raj merupakan peristiwa sangat penting dalam sejarah Islam. Betapa tidak, peristiwa tersebut merupakan kejadian yang menggegerkan, aneh, diluar nalar manusia, serta diluar kebiasaan manusia biasa (khawariq lil ‘adat). Saat peristiwa tersebut disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada orang-orang Quraisy, mereka samasekali tidak mempercayainya. Menurut mereka apa yang disampaikan Rasulullah saw. ngawur dan tidak masuk akal. Mungkinkah seseorang bisa menempuh perjalanan dari Masjidil Haram (Mekkah) ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis, Palestina) yang seharusnya hanya bisa ditempuh 40 malam (pada masa itu) dengan menggunakan kendaraan, tetapi ia bisa menempuhnya dalam waktu kurang dari semalam. Bukan hanya itu. Rasulullah saw. menceritakan, setelah menempuh perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha beliau kemudian naik (mi’raj) melampaui langit ketujuh (sidratul muntaha).

Pertanyaaan-pertanyaan di atas menyelimuti benak mereka dan memunculkan ketidakpercayaan secara massal. Orang-orang yang sebelumnya sudah tidak percaya kepada ajaran Rasulullah saw. semakin bertambah ingkar. Bahkan di antara orang yang sudah beriman, terutama yang lemah imannya ada yang kemudian murtad. Abu Jahal dan kelompoknya malah memperolok-olokkan beliau. Mereka mendatangi Abu Bakar untuk menanyakan sikapnya terhadap peristiwa yang baru saja disampaikan Rasulullah saw. dengan maksud  mengejeknya. Jawaban Abu Bakar justru menohok mereka. “Apabila Muhammad berbicara demikian, sungguh benarlah dia.” Kata Abu Bakar. Kemudian mereka berkata; “Sungguh kamu membenarkan dia dengan cerita itu?”. Abu Bakar lagi-lagi mengatakan dengan tegas; “Sungguh aku membenarkan dia sekalipun lebih dari pada itu.”

Ujian Keimanan

Peristiwa isra’ dan mi’raj merupakan ujian terhadap akidah umat Islam. Apakah mereka akan tetap meyakini Islam dengan segala apa yang ada di dalamnya bahkan sampai sesuatu yang tidak masuk akal sekalipun. Ataukah mereka akan mengingkarinya dengan alasan tidak bisa diterima akal. Karena peristiwa tersebut dialami oleh seorang manusia yang diangkat Allah sebagai hamba-Nya (‘abduhu) yang tidak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Juga diberitakan Allah di dalam Alqur’an, kitab suci yang semua isinya adalah benar. Maka tidak ada alasan bagi siapapun yang beriman untuk tidak percaya terhadap yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang segala apapun termasuk isra’ dan mi’raj.

Dalam Sirah Nabawiyah, mengutip perkataan Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam menuturkan; Sungguh pada peristiwa isra’ (dan mi’raj) yang dijalani Nabi saw. dan apa yang disampaikan beliau di dalamnya terdapat ujian , seleksi, dan salah satu bukti kekuasaan Allah. Di dalamnya terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal, petunjuk, rahmat, dan pengokohan bagi orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan-Nya. Sungguh peristiwa isra’ adalah salah satu bukti kekuasaan Allah. Allah meng-isra’-kan beliau seperti yang dikehendaki-Nya untuk memperlihatkan ayat-ayat-Nya sebagaimana yang Dia inginkan, hingga beliau bisa menyaksikan bukti-bukti kekuasaan-Nya, dan kemampuan-Nya mengerjakan apasaja yang dikehendaki-Nya. Allah swt. berfirman:

17:1

Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Israa’:01)

Pada ayat di atas Allah swt. mengisahkan peristiwa isra’ yang luar biasa, Dia memulainya dengan kalimat “subahana”, yang bermakna sempurnanya kekuasaan Allah, tingginya hikmah, dan sucinya Allah dari sifat makhluq. Abu Ishak An Naisaburiy dalam Alkasyfu wal bayan mengutip hadis dari Thalhah bin Ubaidillah. Ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang tafsir “Subhana”. Beliau bersabda; “Allah mensucikan diri-Nya dari berbagai keburukan.” Ini menunjukkan bahwa peristiwa isra’ dan mi’raj memang di luar jangkauan akal manusia. Karena itu merupakan pekerjaan Allah yang maha kuasa melakukan apapun yang dikehendaki-Nya.

Seorang Mu’min wajib meyakini kebenaran peristiwa isra’ dan mi’raj dengan sepenuh hati. Karena segala hal adalah mungkin dan mudah bagi Allah untuk melakukannya meskipun dalam pandangan manusia mustahil dilakukan. Tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam meyakini kebenaran peristiwa tersebut. Jika itu terjadi maka tidak mustahil akan muncul keraguan-keraguan berikutnya dalam berbagai hal yang harus diyakini tetapi tidak bisa dijangkau oleh akal. Padahal banyak sekali hal-hal yang terkait dengan aqidah yang harus diyakini setiap Mu’min yang tidak bisa dicerna oleh akal. Seperti hal-hal gaib, mu’jizat, dan informasi (khabar) kejadian dimasa yang akan datang.

Yakin terhadap hukum Allah

Jika meyakini hal-hal yang tidak masuk akal sekalipun merupakan keharusan bagi setiap orang yang beriman karena bagian dari aqidah yang harus diyakini, maka dalam hal yang mudah dicerna oleh akal seharusnya tidak perlu ada keraguan untuk meyakini dan mengamalkannya.

Hukum-hukum Allah, baik yang tertera di dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw. merupakan tuntunan yang sangat rasional dan mudah untuk diaplikasikan di dalam kehidupan. Baik menyangkut persoalan ibadah, mu’amalah (aktifitas keseharian yang berhubungan dengan orang lain), bahkan siyasah (politik, kenegaraan).

Bagi setiap Muslim tidak ada alasan untuk tidak menjadikan hukum Allah sebagai aturan di dalam kehidupannya.  Karena dia yakin bahwa Allah Maha Tahu segala yang terbaik untuk hamba-Nya.  Melalui lisan Rasul-Nya, Allah swt. menjelaskan segala hal yang harus dilakukan manusia di dalam kehidupannya. Jika apa yang dilakukan oleh manusia sesuai dengan yang diperintahkan-Nya maka mereka akan mendapatkan kehidupan yang sejahtera. Tetapi jika manusia justru lebih yakin dengan aturan yang dibuatnya sendiri dan tidak percaya terhadap apa yang telah disampaikan Allah dan Rasul-Nya serta lebih memilih ajakan hawa nafsu, maka mereka akan mendapatkan kecelakaan baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam kitab Hayatus Shahabah, Imam Al-Kandahlawi mencatat sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Musa ra. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan aku dan apa yang aku diutus karenanya seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum. Orang tersebut berkata kepada mereka: “Wahai orang-orang, sungguh aku melihat tentara (yang akan menyerang kalian) dengan mata kepalaku sendiri dan aku memperingatkan kalian agar segera menyelamatkan diri masing-masing.” Kemudian sebagian mereka segera mengikuti perintah orang tersebut dan selamatlah mereka. Sementara sebagian lagi tidak mempercayainya. Mereka tetap tinggal di tempatnya masing-masing. Ketika datang para tentara menyerang, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Para tentara itupun kemudian membinasakan mereka. Kelompok yang pertama adalah perumpamaan orang-orang yang mentaati perintahku. Sedangkan kelompok yang kedua adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakanku dan mengingkari kebenaran yang aku bawa.

Firman Allah di dalam Al-Qur’an mengukuhkan hadis diatas:

24:51

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nuur:51)

Abu Laits As-Samarqandiy dalam Kitab Bahrul Ulum menjelaskan; seorang Mu’min apabila diperintahkan untuk menjalankan hukum-hukum Allah maka ia akan berkata; kami mendengar apa yang disampaikan Nabi saw. dan kami mentaati perintahnya. Mereka ini akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup.

Semoga kita termasuk orang-orang yang meyakini segala apapun yang di sampaikan  Allah dan Rasul-Nya dan gemar melaksanakannya. Karena itu insya Allah kita akan tergolong kepada orang-orang yang berbahagia. Amin.