Jokowi Hapus Perpres dengan Perppu ??

jokowi1Oleh: Zamzam.Aqbil Raziqin

Lagi-lagi di social media hari ini ramai diberitakan mengenai isu Jokowi akan hapus Perpres dengan Perppu, setelah sebelumnya ramai diberitakan mengenai Perpres No 39 Tahun 2015 tentang “PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 68 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS UANG MUKA BAGI PEJABAT NEGARA PADA LEMBAGA NEGARA UNTUK PEMBELIAN KENDARAAN PERORANGAN” yang di tanda tangani Jokowi.

Fenomena tersebut jelas membuat masyarakat terkejut karena ternyata anggaran yang dikeluarkan untuk fasilitas pejabat negara itu bukan angka yang biasa, berdasakan Perpres No 68 tahun 2010 yang kemudian di rubah dalam Perpres No 39 tahun 2015 anggaran untuk fasilitas mobil pejabat negara naik sebesar 85% dari 116 juta menjadi 210 juta, hanya untuk UANG MUKA nya saja. Artinya Negara harus mengeluarkan kurang lebih 158 Miliar untuk membiayai fasilitas 753 pejabat negara. Pejabat negara itu adalah anggota DPR, anggota DPD, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan anggota Komisi Yudisial.

Setelah penulis kaji, ternyata Perpres ini dikeluarkan karena melihat inflasi dan kenaikan harga mobil. Namun penulis menilai bahwa kenaikan tunjangan fasilitas mobil untuk pejabat ini sangat tidak manusiawi, karena lahir dalam kondisi sosial ekonomi yang tidak stabil. Kita ingat Harga BBM naik kemudian berdampak pada kenaikan harga sembako, dan harga-harga yang lainnya. Sejauh ini penulis yang mungkin mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia belum merasakan program-program Pak Jokowi yang menguntungkan masyarakat, atau langkah-langkah inovasi Pak Jokowi dalam membangun Indonesia, lantas sekarang malah menaikan Harga BBM dan menaikan tunjangan kendaraan pribadi para pejabat negara.

Wajar rasanya langkah tersebut mendapat kecaman yang sangat keras dari masyarakat atau internal instansi pemerintahan yang masih memiliki integritas sebagai wakil rakyat. Akhirnya dampak kecaman dari seluruh masyarakat Indonesia tersebut terkait Perpres No 39 tahun 2015 ini, memaksa Pak Jokowi mengambil langkah untuk membatalkan Perpres tersebut.

Akhirnya melalui Menteri Sekretaris Negara Jokowi mengumunkan akan membatalkan Perpres No 39 tahun 2015 tersebut, setelah sebelumnya penulis mendengar bahwa dalih jokowi menandatangani Perpres tersebut karena tidak mengetahui isi Perpres tersebut dan berdalih bahwa berkas yang harus ia tanda tangani banyak sehingga tidak mungkin di cek secara mendetail isi nya satu persatu. Sungguh pernyataan ini adalah pernyataan yang sangat menyedihkan bagi penulis, karena sangat terlihat sisi kecerobohan yang luar biasa bagi seorang pejabat negara sekelas Presiden. Padahal Presiden memiliki waktu 30 hari untuk menandatangi Perpres tersebut, berdasarkan pasal 4 ayat 2 dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No 1 tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga waktu 30 hari tersebut seharusnya bisa menjadi waktu yang sangat panjang bagi Presiden dalam menganalisis isi dari Perpres tersebut.

Tentu langkah ini sangat disambut dengan positif oleh masyarakat khususnya oleh penulis tersendiri, karena penulis menilai bahwa ini langkah yang sangat tepat. Namun rasanya lebih tepat jika Perpres No 68 tahun 2010 ini di ganti dengan Perpres baru yang tujuan nya adalah untuk menurunkan tunjangan fasilitas kendaraan pribadi bagi pejabat negara, bukan malah menaikan, karena penulis menilai angka 116 juta untuk UANG MUKA fasilitas mobil pribadi juga terlampau sangat tinggi sekali di atas penderitaan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Namun ternyata langkah pembatalan Perpres ini di ikuti dengan isu bahwa jokowi akan mengeluarkan Perppu terkait pembatalan Perpres No 39 tahun 2015. Hal ini tentu sangat mengecewakan bagi penulis yang notabene pernah mempelajari Ilmu perundangan-undangan di Smester 7 di jurusan Ilmu Hukum, yang kemudian hal ini menunjukan kekurangan sisi wawasan hukum tata negara seseorang sekelas Presiden. Mengapa demikian? Karena langkah menghapus Perpres dengan Perppu adalah langkah yang tidak tepat, lantas menghapusnya memakai instrumen hukum yang mana? Inilah yang akan coba saya jelaskan selanjutnya.

Sebelum kita beranjak pada pembahasan penghapusan Perpres, alangkah baiknya kita mengetahaui Hirarki (Tingkatan) Undang-undang di Negara kita. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU No 12 tahun 2011,  Hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri dari:

1. UUD 1945

2. TAP MRP

3. UU / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)

4. Peraturan Pemerintah (PP)

5. Peraturan Presiden (Perpres)

6. Peraturan Daerah Provinsi, dan

7. Peraturan Daerah Kab / Kota

Lalu kemudian dijelaskan dalam pasal 7 ayat 2 bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan Hierarki di atas. Maksudnya adalah, hierarki dari bawah tidak boleh bertentangan dengan poin di atasnya, sebagai contoh: Undang-undang / Perppu jelas tidak boleh bertentangan dengan TAP MPR, apalagi UUD 1945. Jika hal tersebut terjadi maka yang di ambil adalah Hierarki di atas tingkatan Instrumen Peraturan Perundang-undangan tersebut. dalam contoh sebelumnya maka kekuatan hukum yang dapat berlaku jika Perppu bertentangan dengan UUD 1945, maka peraturan yang dipakai adalam peraturan yang dimuat dalam UUD 1945.

Namun bukan berarti Hierarki di atas dapat saling menghapus satu sama lain, UUD 1945 dapat menghapus TAP MPR dan Instrumen lainnya. Tentu tidak seperti itu, karena instrumen-instrumen tersebut memiliki Fungsi dan kedudukan tersendiri. Justru Instrumen-instrumen tersebut di bangun untuk saling melengkapi satu sama lain, dimana UUD 1945 adalah bentuk interpretasi dari Pancasila, begitupun instrumen di bawah hierarki UUD 1945 adalah untuk saling menjabarkan walaupun tidak seterusnya dan sepenuhnya, namun yang pasti adalah ke 7 instrumen Peraturan Perundang-undangan tersebut adalah bentuk Interpreasi dari Pancasila, dan bentuk konsekwensi logis dari Pancsila. Artinya dasar dari pembentukan 7 Instrumen tersebut harus di dasarkan pada 5 poin dalam Pancasila.

Lalu kemudian kita masuk pada kasus Jokowi akan menghapus Perpres No 39 tahun 2015 dengan Perppu. Sebelumnya kita bahas mengenai Perpres, apasih Perpres?

Berdasarkan Pasal 1 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan poin ke 6 Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintah.

Selanjutnya Mengenai Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Berdasarkan Pasal 1 UU No 12 tahun 2011 poin ke 4 Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, ada 3 syarat sebagai ukuran kegentingan yang memaksa dalam pembentukan Perppu, yakni:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan

Dalam hal Penghapusan Perpres oleh Perppu ini tentu dinilai aneh oleh para cendikiawan Hukum hususnya di Bidang Tata Negara seperti Yusril Ihza Mahendra. Dalam akun twitternya @Yusrilihza_Mhd beliau mengutarakan “Masak batalkan Perpres pake Perpu! Aneh bener”. Aneh memang betul, karena Fungsi Perppu bukan untuk menghapus Perpres, sekalipun kegentingan memaksa adalah Subjektifitas Presiden namun Subjektifitas tersebut harus berdasarkan putusan MK di atas dan mengeluarkan Perppu adalah langkah yang keliru dalam menghapus Perpres. Karena pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Hierarki Peraturan Perundang-undangan bukan untuk saling menghapuskan satu sama lain, namun saling melengkapi.

Maka seharusnya langkah yang tepat untuk menghapus Perpres No 39 tahun 2015 bukan dengan Membuat Perppu, melainkan Pak Jokowi seharusnya membuat Perpres baru dengan kebijakan mengembalikan angka tunjangan fasilitas mobil pribadi pejabat negara pada angka sebelumnya. Seperti yang kini telah terjadi, Perpres No 68 tahun 2010 digantikan dengan Perpres No 39 tahun 2015, maka setelah di sahkan peraturan pada Perpres sebelumnya secara otomatis dicabut (dihapus) dan digantikan dengan peraturan baru dalam Perpres yang baru.