Merdeka atau Menderita ?

merdeka1Oleh : Muhammad Dahrum, M. Pd

Sejatinya kemerdekaan adalah terbebas dari berbagai bentuk penjajahan. Penjajahan yang menerpa kehidupan rakyat maupun bangsa besar, Nusantara. Bila dahulu para pahlawan berjuang membebaskan Negeri dari penjajahan fisik dan rela berkorban nyawa demi merdeka. Maka sudah seharusnya generasi sekarang tidak membiarkan Negerinya dirundung nestapa, terjajah secara ekonomi.

Negeri ini dihuni jutaan manusia dari berbagai suku dan bahasa, memenuhi gedung-gedung besar nan kokoh, sementara disudut lain terdapat pemukiman kumuh yang terancam roboh. Kesenjangan yang mencolok, antara pusat dan pinggiran kota. Saban hari nyaris tak ada berita indah, apa yang dikabarkan media penuh dengan keresahan. Penjarahan kekayaan alam terus berlangsung, tak pernah sepi bahkan semakin menggurita.

Perangkap Hutang

Negeri zamrud khatulistiwa dianugerahi kekayaan alam besar, tetapi kondisi rakyat belum beranjak dari sebelumnya, sebagian diterpa kemiskinan. Meskipun klaim rezim berkuasa bahwa penduduk miskin telah berkurang. Nyatanya Anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka menyatakan berbeda, “Kalau menggunakan patokan yang benar, maka bisa dipastikan angka kemiskinan tidak seperti sekarang. Lebih banyak, sekitar 120 juta”. (Tribunews,2014). Artinya setengah penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan.

Akan tetapi penderitaan tersebab kemiskinan bukanlah kata akhir, hari-hari pilu akan tetap dilewati. Rakyat masih menuai penderitaan lain, menanggung beban hutang yang menggunung. Derita itu menjadi warisan ‘abadi’ untuk anak cucu, mereka ikut menanggung beban hutang pendahulunya. Beban itu kian membesar dan semakin sulit untuk dilunasi. Lebih jauh, hutang memiliki konsekuensi berbahaya bagi Negara.

Ketua Koalisi Anti Utang (Dani Setiawan) mengatakan, “konsekuensi politik dari utang-utang luar Negeri mendorong dilakukannya liberalisasi ekonomi. Contohnya adalah UU minyak dan gas, UU sumber daya air, UU energi, banyak sekali. Ia juga mengatakan, melalui UU Penanaman Modal, pihak asing dapat menguasai sektor-sektor strategis di Indonesia hingga 95 persen”. (detik.com,2013). Para pahlawan kita berhasil mengusir penjajah, tetapi parahnya saat ini UU yang menjajah dibiarkan bercokol karena diamini oleh anak Negeri.

Bank Indonesia mencatat, hingga Mei 2014 hutang luar Negeri tembus angka Rp. 3.321 triliun. Hutang ini meningkat tajam dibanding tahun 2013 lalu. Tantangan ekonomi kedepan nampaknya semakin berat, karena menanggung beban hutang yang menumpuk plus bunganya. Hal ini diperparah dengan ketergantungan pemerintah terhadap bantuan (utang) luar Negeri bagi pembiayaan pembangunan dan berjalannya roda pemerintahan.

Biasanya, pemberiaan bantuan hutang diikuti konsesi sumber ekonomi strategis sebagai tumbal. Beralihnya kepemilikan sumber ekonomi dari pemerintah ke swasta (liberalisasi) semakin kentara. Akhirnya sumber pembiayaan dari sektor SDA tidak bisa lagi diharapkan. Melihat besar sumber kekayaan yang dikandung, standar kehidupan rakyat mestinya bisa lebih makmur.

Cengkeraman Korporasi

Memiliki laut yang luas dengan potensi kekayaan luar biasa, semuanya tersedia. Menteri kelautan dan perikanan Sharif Cicip Sutarjo mengatakan, potensi kekayaan sumber daya alam tersebut meliputi perikanan, pariwisata bahari, energi terbarukan, mineral di dasar laut, minyak dan gas bumi, pelayaran, industri maritim dan jasa kelautan. Potensi kekayaan laut RI mencapai Rp 1.710 triliun/tahun. (detikFinance,2014).

Anugerah lain berupa keberadaan posisi Indonesia dengan iklim tropis, memiliki hutan lebat dan termasuk luas, tanahnya subur dan alamnya yang indah. Kayu-kayu tingi besar mampu memenuhi kebutuhan konsumen dalam dan luar Negeri, asalkan dikelola dengan benar. Pemberian izin HGU yang selama ini banyak terjadi sengketa, harus ditinjau kembali. Ada tanah HGU yang izinnya masih berlaku tapi tidak dikerjakan semuanya, sehingga terlantar.  Kondisi ini tentu saja mengurangi nilai produktif tanah dan lebih jauh akan mengurangi produksi secara Nasional.

Sejak era orba cengkeraman korporasi semakin kuat dan kokoh terhadap berbagai sumber ekonomi. Sumber mineral tak luput dari bancakan, sektor pertambangan migas lebih banyak dikuasai pihak asing. Kontrol Negara yang tampak dari penguasaan BUMN oleh pertamina dan swasta nasionaltidak sebanding, sangat kecil.

Sekedar contoh, sektor migas dikuasai oleh Chevron sedangkan emas dibawah kendali PT Freeport Indonesia (PT FI). PT FI menguras sumber mineral di bumi ‘merdeka’ sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. PT FI berupaya maksimal agar pemerintah Indonesia kembali memperpanjang kegiatan usahanya. Bila tidak, maka PT FI mengancam untuk ‘menghabiskan’ cadangan yang besar itu secepatnya. Berdasarkan pengalaman, pemerintah Indonesia tampak tidak terlalu berkutik melawan perusahaan raksasa Amerika itu.

Kandungan mineral berupa tembaga, perak dan emas di bumi papua termasuk paling besar di dunia. Makanya PT FI berani membenamkan investasi besar dan terus berupaya meminta re-skedul kontrak kerja. Presdir PT FI, Rozik B. Soetjipto telah meminta perpanjangan kontrak kerja kepada pemerintah sampai tahun 2041. Besarnya cadangan bijih yang diperkirakan oleh PT FI mencukupi hingga 40 tahun lagi.

Aneka kekayaan alam membuat takjub, karena berpotensi bagi kemakmuran rakyat. Tetapi apa hendak dikata, yang terjadi justru sebaliknya. Laksana ayam mati di tengah hamparan padi, sangat menyedihkan. Ungkapan kemakmuran dan berdikari yang dibisikkan oleh calon penguasa saat kempanye tiba terkesan hanya ‘tempelan judul’ tanpa realita.

Tingkat kemiskinan dan pengangguran bukannya berkurang, padahal warisan tanah leluhurtelah dieksploitasi secara brutal. Memang mendapat tambahan pendapatan pajak untuk Negara, tapi jumlahnya sangat kecil dibanding jika dikelola sepenuhnya. Menuding anak Negeri tak mampu tidaklah bijak, karena teknologi yang canggih dapat dibeli dan SDM yang handal bisa diberikan gaji yang tinggi.

Penerapan Politik ekonomi Islam dalam konteks penguatan teknologi cangggih dan modal sangat mendesak. Bila teknologi yang dimiliki masih ketinggalan zaman dan jumlah modal terbatas, tidak mungkin sanggup mengelola area konsesi. Kondisi ini mengakibatkan  pemerintah tidak ada pilihan lain, kecuali mengundang konglomerat asing untuk mencoba. Akibatnya, jadilah SDA dikuasai pihak asing.

Seluruh sumber ekonomi strategis akan mendatangkan hasil maksimal jika dikelola secara profesional dan amanah. Kerugian yang selama ini dialami usaha milik Negara adalah akibat praktik inefesiensi sangat tinggi, menjadi dalih untuk privatisasi.

Paradigma Pengelolaan

Paradigma pengelolaan SDA yang berbasis privatisasi harus dirubah menjadi pengelolaan yang berbasis Negara dan tetap memperhatikan kelestarian. Sumber daya strategis berupa hutan dan barang tambang harus dikelola oleh Negara dan hasilnya diserahkan kembali pada rakyat dalam bentuk barang dengan harga murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.

Pengelolaan SDA oleh Negara dapat memberikan dua keuntungan sekaligus. Pendapatan yang sangat besar mampu menutupi pembiayaan Negara dan terbebas dari ketergantungan beban hutang. Sumber pemasukan dari sektor kepemilikan umum berasal dari barang tambang dapat digunakan untuk biaya eksplorasi dan eksploitasi. Mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan  infrastruktur, penyediaan perlengkapan dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan itu.

Sangat jelas bahwa pemerintah harus menguasai seluruh SDA yang ada, jangan sampai dikuasai konglomerat hitam yang menjarah kekayaan alam dan menyisakan bencana bagi rakyat. Pengelolaan berbasis privatisasi memang mendapat tambahan pajak, namun angkanya jauh lebih kecil dari hasil yang ada. Andai itu dikelola sepenuhnya, pendapatan akan lebih besar sehingga terbebas dari perangkap hutang yang menjajah. Allahu’alam.

 

*PNS Pemkab Abdya.

Email: [email protected]