Tanggapan Tulisan Islam dan Demokrasi

Bismillah…

Pada tanggal 26 April 2010 kemarin saya membaca tulisan Syamsul Balda, Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute pada rubric analisa yang berjudul kan “Islam dan Demokrasi” di situs eramuslim.com.

Pada kesempatan ini saya mencoba untuk menanggapi tulisan tersebut dengan maksud meluruskan beberapa hal yang jujur saya lihat penulis terkesan memaksakan beberapa hal untuk membenarkan pendapatnya seputar demokrasi agar sejalan dengan Islam, padahal faktanya Demokrasi adalah sebuah ide yang bertolak belakang dengan Islam baik dari segi lahirnya maupun ide secara keseluruhan.

Untuk menjawab beberapa pernyataan oleh penulis, maka saya akan mencoba menguraikan apa yang telah beliau tulis dan kemudian akan saya tanggapi dengan hujjah yang ada.

Pertama, pada tulisan tersebut beliau menjelaskan substantif dari ide atau faham demokrasi, yakni dengan mengatakan

”Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.

Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat syura (permusyawaratan) dan bai’at (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.

Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel, kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi keputusan mayoritas.”

Komentar : penjelasan di atas bukanlah ide substantif dari faham yang bernama demokrasi, kalo menggunakan penjelasan di atas, jelas sekali telah menyalahi arti dari demokrasi itu secara utuh, baik secara ide maupun aplikasinya. Terlebih lagi penulis mengutip kata syura’ dan bai’at dalam mendukung kesimpulannya.

Dalam membahas demokrasi, maka kita harus membelah faham tersebut secara utuh, seridaknya ada 5 hal yang harus di kaji atau di urai dalam faham demokrasi, yakni

  1. Asal-usul demokrasi,
  2. Aqidah demokrasi,
  3. Ide dasar demokrasi,
  4. Standar demokrasi (yaitu mayoritas), dan
  5. Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.

Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

Terkait asal ushul demokrasi maka kita akan menemukan bahwa demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi adalah ide yang muncul dari akal manusia yang lemah, serba kurang dan serba terbatas.

Dari segi aqidah, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sebuah aqidah yang mengambil jalan tengah ketika terjadi konflik antara kaum gerejawan dan kaum bangsawan, kaum bangsawan menolak hak gereja secara absoulut yang ikut campur dalam urusan pemerintahan, akhirnya diambilah jalan tengah yakni yang terkenal dengan kalimat, ”berikanlah hak kaisar untuk kaisar (bangsawan) dan hak tuhan untuk tuhan (kaum gerejawan), maka lahirlah faham sekulerisme.

Dari segi ide, demokrasi berlandaskan dua ide :

  1. Kedaulatan di tangan rakyat.
  2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.

Ini jelas bertentangan dengan Islam, dalam Islam memang kekuasaan berada di tangan umat/rakyat, yang mana nanti dengan kekuasaan itu umat memilih seorang khalifah untuk mengatur umat itu sendiri, sedangkan perkara kedaulatan bukanlah ditangan umat/rakyat, melainkan berada ditangan Allah sang khalik yang memilki otoritas tunggal dalam rangka membuat hukum-hukum. Intinya kedaulatan di dalam Islam berada pada syara’.

Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.

Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)

Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Ini adalah prinsip dasar demokrasi, yakni terletak pada suara mayoritas. Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :

  1. Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
  2. Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
  3. Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

Dalam demokrasi, ada empat macam kebebasan, yaitu :

  1. Kebebasan beragama (freedom of religion)
  2. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
  3. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
  4. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).

Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)

Inilah penjelasan secara kaffah terkait ide atau faham demokrasi yang benar-benar merujuk pada fakta dan kemudian fakta tersebut dihukumi dengan dalil-dalil yang terkait, sebagaimana proses tahqiqul manath dalam hal menghukumi sebuah fakta.

Kemudian, penulis kemudian menyatakan : ”Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.”

Komentar : memang benar bahwa tidak ada ketaatan kepada perkara maksiat yang diperintahkan oleh penguasa, namun benarkah didalam demokrasi pun sama? Jelas tidak. Misalnya, dalam demokrasi kita bisa mengambil contoh pemerintah yang menyuruh membayar pajak, bahkan termasuk perkara wajib, bukankah di dalam Islam pajak merupakan sesuatu yang diharmkan di dalam Islam, kecuali jika dalam hal kas negara dalam hal ini baitul mal mengalami definisit anggaran maka negara boleh mengambil pajak dari rakyat, kalau tidak terjadi demikian maka hukumnya haram.

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah :

Artinya dengan mengambil contoh tentang dharibah (pajak) kita bisa melihat bahwa ini sebuah bentuk kemaksiatan, pemerintah menyuruh rakyatnya untuk membayar pajak, sdengkan jelas sekali di dalam Islam adalah diharamkan, lantas dimanakah katanya bahwa di dalam demokrasi tidak ada ketaatan kepada maksiyat? Bukahkah di dalam hukum Indonesia akan dikenakan sanksi bagi orang yang tidak membayar pajak. Kita ambil contoh negeri kita, salah satu kewajiban bagi warga negara adalah membayar pajak. Sarana untuk mem-bayar pajak tersebut adalah NPWP Warga negara yang telah memiliki NPWP dinamakan Wajib Pajak (WP). Kewajiban utama WP adalah membayar pajak, atau bagi wajib pajak tertentu-juga bertindak sebagai pemotong pajak. Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Kemudian penulis menyatakan bahwa, ”Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat."

Komentar : penulis sendiri menyadari bahwa ide demokrasi ini memiliki kelemahan, namun tetap mengatakan bahwa sistem tersebut lebih baik dari sistem yang lain yang juga dibuat oleh manusia. Pertanyaan saya, apakah tidak ada sistem alternatif lain lagi sehingga hanya melihat dan membandingkan dengan sistem yang juga dibuat oleh manusia yakni sistem sosialis komunis? Kenapa tidak melirik kepada sistem Islam? Kenapa tetap mencoba memaksakan pendapat seolah-olah sistem tersebut masih sesuai dengan Islam? Yang tidak difahami oleh penulis adalah tentang kata sistem itu sendiri, penulis mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan Islam, namun tidak mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan SISTEM ISLAM, ini menunjukan bahwa penulis sepertinya mencoba menhkerdillkan makna akan Islam itu sendiri. Padahal jelas sekali bahwa Islam itu adalah agama sekaligus sebagai sebuah ideologi (sistem aturan hidup). Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Firman Allah Swt:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (QS. An-Nahl [16]: 89)

Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.

Ada 3 pendapat yang penulis angkat terkait pendapat beberapa kalangan mengenai demokrasi, yang pertama yakni :

  1. Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.
  2. Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.
  3. Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.

Penulis tidak ada memberikan bantahan ilmiah terkait mereka yang menolak demokrasi atas nama Islam, dan hanya memberikan penjelasan sekaligus ”pembelaan” bagi mereka yang menerima demokrasi secara moderat.

Menurut penulis Dalam sistem demokrasi, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran Islam, seperti: musyawarah, amar ma’ruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme check and balance, pengawasan (mutaba’ah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.

Pendapat seperti ini muncul karena ketidaktahuan akan demokrasi itu sendiri, saya telah menggambarkan ide demokrasi ini secara menyeluruh mulai dari kemunculannya hingga faham kebebasan yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Syura’ atau musyawarah dalam Islam tidaklah bisa didentikan dengan demokrasi, jelas seperti langit dan bumi perbandingan antara syura’ dan demokrasi.

Penggalan ayat ini: Wa amruhum syûrâ baynahum (sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka) sering diambil untuk melegitimasi demokrasi. Syûrâ yang diperintahkan dalam ayat ini disamakan dengan demokrasi. Padahal di antara keduanya terdapat kontradiksi mendasar. Demokrasi merupakan pandangan hidup dan sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Prinsip ini meniscayakan, seluruh perundang-undangan harus bersumber dari rakyat. Pelaksana praktisnya adalah parlemen yang dianggap sebagai representasi rakyat. Konsekuensinya, undang-undang apa pun yang telah dilegislasi oleh parlemen harus diterapkan dan ditaati oleh rakyat; terlepas apakah undang-undang itu sejalan dengan syariah atau tidak. Konsekuensi lainnya, kebebasan (freedom) harus dijunjung tinggi dalam masyarakat yang menerapkan dePrinsip lainnya dalam demokrasi adalah suara mayoritas. Oleh karena kehendak rakyat harus ditaati, sementara jumlah rakyat amat banyak dengan keinginan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lainnya, maka yang harus diikuti adalah yang didukung dengan suara mayoritas rakyat. Ini fakta yang juga diakui oleh penulis itu sendiri.

Kata syûrâ merupakan bentuk mashdar dari kata syâwara. Dikemukakan oleh Raghib al-Asfhani, at-tasâwur wa al-musyâwarah wa al-masyûrah berarti mengeluarkan pendapat dengan cara, sebagian orang meminta pedapat atau nasihat kepada sebagian lainnya. Pengertian tersebut diambil dari ucapan mereka, “Syurtu al-‘asl,” ketika engkau mengambil dan mengeluarkan madu dari tempatnya.

Pengertian lebih spesifik dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani. Suatu pengambilan pendapat (akhdz al-ra’yi) baru bisa disebut sebagai syûrâ jika dilakukan oleh khalifah, amir, atau pemilik otoritas, seperti ketua, komandan, atau penanggung jawab kepada orang yang dipimpinnya. Bisa juga dilakukan antara suami-istri. Ketika hendak melakukan penyapihan anak sebelum dua tahun, mereka diperintahkan untuk memusyawarahkannya (lihat QS al-Baqarah [2]: 233). Adapun menyampaikan pendapat (ibdâ’ al-ra’y) kepada pemilik otoritas, baik penguasa, komandan, atau pemimpin, maka itu disebut sebagai nasihat; suatu aktivitas yang juga diperintahkan oleh syariah. Nasihat disampaikan kepada para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim secara umum.

Dhamîr hum (kata ganti mereka) pada ayat ini merujuk kepada kaum Muslim. Itu menunjukkan bahwa pengambilan pendapat itu hanya dilakukan kepada kaum Muslim. Perintah yang sama juga disampaikan dalam firman Allah Swt. yang lain (lihat: QS Ali Imran [3]: 159).

Berdasarkan kedua ayat ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani menyimpulkan bahwa syûrâ khusus dilakukan terhadap kaum Muslim secara qath’i. Hal ini berbeda dengan ibdâ’ al-ra’y yang bisa didengarkan dari semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.

Kemudian penulis mengatakan, ”Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan ”rabbaniyyah”, sedang sistem demokrasi berspiritkan “insaniyyah”. Sistem syura bernilai “religiuitas”, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.

Komentar : sekali lagi, saya menduga dengan dugaan yang kuat bahwa penulis memang tidak faham dari realitas demokrasi itu sendiri, hanya melihat demokrasi dari ”penerapan” yang terlihat manis, namun melupakan pondasi dasar yang membangun faham demokrasi itu sendiri. Ini terlihat sekali bahwa tulisan terkesan dipaksakan sehingga seolah-olah demokrasi selaras dengan Islam. Apalagi penulis ”memuji” faham demokrasi dengan mengatakan bahwa, ”Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan."

Sungguh penulis telah mengkerdilkan Islam dalam hal ini syariat Islam, penulis seolah ingin mengatkan bahwa di dalam syura’ kita tidak akan menemui apa yang telah ia sampaikan terkait struktur negara, sistem kepartaian dan lainnya, ini karena yang penulis lihat adalag sebatas syura’, padahal syura’ hanyalah merupkan suatu tempat dalam pengambil keputusan yang tidak terkait dengan sistem, kalau ingin mendapatkan apa yang ada maka menolehlah pada Islam sebagai sebuah sistem, bukan pada syura’nya, di di dalam Islam akan didapati aturan hidup yang mengatur urusan manusia dengan pencpitanya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan dirinya sendiri, di dalam Islam ada aturan tentang, bentuk negara, struktur negara, sistem ketatanegaraan, aturan pembetukan partai, sistem ekonomi, bahkan dalam hal UUD dan UU pun telah ada rumusannya.

Penulis terjebak pada mainstrean demokrasi, sehingga pola fikir yang dijadikan penilaian adalah hidup di didalam alam demokrasi, bukan didalam sistem Islam, sehingga membuat pemikiran penulis hanya berkutat pada ide demokrasi itu sendiri dan menguraikanya secara tidak sesuai dengan fakta akan demokrasi itu sendiri yang jelas bertantang dengan Islam.

Bahkan sebagai seorang Muslim, mengambil istilah demokrasi pun sudah termasuk suatu dosa karena jelas sekali diharamkan mengadopsi istilah tersebut. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih." (QS Al Baqarah : 104)

"Raa’ina" artinya adalah "sudilah kiranya Anda memperhatikan kami." Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut "Raa’ina", padahal yang mereka katakan adalah "Ru’uunah" yang artinya "kebodohan yang sangat." Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan "Raa’ina" dengan "Unzhurna" yang sama artinya dengan "Raa’ina". Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami.

Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa bsa-basi. Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut :

Pertama, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.

Kedua, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.”

Wallahu’alam bis showab.

Adi Victoria ([email protected])

Rujukan :

  • Buku Demokrasi Sistem Kufur (Syekh Abdul Qadim Zallum)
  • Buku Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belhaj).
  • Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani (terkait dharibah).
  • Taqiyuddin an-Nabahani, Ays-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 246.
  • Buku Menegakan Syariat Islam terbitan tahun 2002