(Ter)diam

jangan-diamOleh: Eka Sugeng Ariadi

FMI Pasuruan – Mahasiswa Pascasarjana Univ. Negeri Surabaya

Hancurnya sebuah Negara bukan karena banyaknya orang jahat yang ada di dalam Negara itu tetapi karena diamnya orang-orang baik.” (Napoleon Bonaparte). 

Ada benarnya pernyataan Napoleon di atas ketika menyaksikan maraknya kemaksiatan dan kerusakan moral masyarakat di sekitar kita. Secuplik, kisah nyata teman saya di desanya, ada oknum masyarakat yang kerjanya menjadi bandar judi, yang ikutan nombok ada beberapa orang yang memang tinggal di kampung tersebut, ada juga yang berasal dari luar kampung, lumayan sehari omsetnya bisa jutaan rupiah. Pertanyaan saya padanya, apakah mayoritas masyarakat di sekitar lokasi perjudian tahu aktifitas itu? Iya, mereka tahu. Lalu apa yang mayoritas lakukan terhadap kelompok penjudi yang minoritas? Melapor ke aparat. Selesaikah permasalahannya? Belum selesai. Meski perwakilan mayoritas sudah berkali-kali melapor ke pihak berwenang, ternyata si bandar tak tersentuh hukum, kegiatan perjudian malah berjalan rutin seperti biasa, dan tidak jadi bubar.

Di tengah-tengah masyarakat akhir zaman seperti sekarang, kisah serupa dengan type ‘penyakit’ yang berbeda dengan mudah kita rasakan. Minuman keras yang diproduksi oleh minoritas penduduk hingga saat ini masih beredar bebas di negeri mayoritas muslim dan beragama. Pornoaksi-pornografi menjadi tontonan dan tuntunan saat melihat televisi, membaca koran, majalah bahkan buku-buku pelajaran di sekolah. Menu sehari-hari generasi mudanya narkoba, sehingga tak heran survey konsumsi narkoba pada siswa SMP-SMA di Surabaya tahun 2016 sudah mencapai 80% dari mereka pernah merasakannya. Istilah TTS = Tubuh Tukar Sabu menjadi rahasia umum di antara mereka. Walhasil, kerusakan moral dan penyakit akut masyarakat terlalu banyak untuk diuraikan satu persatu. Pertanyaannya, apakah mayoritas masyarakat di negeri ini tahu atau tidak tahu atau gak mau tahu akan maraknya ‘penyakit-penyakit’ itu? Kalau memang tahu, apa gak paham bagaimana cara ‘mengobatinya’ berdasarkan hukum agama, hukum positif, norma sosial, dan lain-lain? Atau memang mayoritas sengaja memilih untuk diam dan diam.

Secara fakta, ada yang diam ada yang tidak. Dunia sudah melihat sebagian dari mayoritas masyarakat negeri ini memilih tidak diam dan berpangku tangan. Mereka masih punya hati nurani yang kuat dan tak rela rasanya melihat NKRI tercinta ini dihancurkan dengan miras, judi, pornografi, dan lain sebagainya. NKRI Harga Mati, slogan totalitas untuk bangun dan bergerak melawan perusak moral dan budaya bangsa dan generasi mudanya. Mereka bangkit sesuai kemampuannya, sesuai aturan negara dan sesuai tuntunan agama. Hatinya tergugah karena firman Allah Swt, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui,” (QS. Al Baqarah [2]: 42) dan “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati,” (QS. Al Baqarah [2]: 159). Seluruh tubuhnya merasakan getaran ‘ketakutan’ yang luar biasa akan peringatan Rasulullah Saw, bahwa Beliau bersabda, “Tidaklah seseorang menghafal suatu ilmu kemudian dia ditanya tentangnya, lalu dia menyembunyikannya, kecuali didatangkan pada hari Kiamat dalam keadaan terkekang dengan kekangan dari api neraka.” (HR. Ahmad, 2/263, At Tirmidzi, 5/29, Ibnu Majah, 1/96/261).

Akan tetapi, sayang sejuta kali sayang, sebagian dari mayoritas yang bangkit dan bergerak ini masih terlalu sedikit jumlahnya dibandingkan yang memilih diam. Betapa masih banyak ulama-ulama kita, cendekiawan muslim, pejabat, wakil rakyat dan aparat penegak hukum sendiri masih terpaku, membeku dan terdiam ketika di depan mata kepalanya nampak dengan jelas hingar bingar kemungkaran dan kemaksiatan. Mungkin mereka berprinsip lebih baik diam karena Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam,” (HR. Bukhari-Muslim). Meskipun demikian, penulis menyarankan bila masih diberikan Allah Swt anugerah, nikmat dan kesempatan untuk bisa berkata-kata atau berucap-ucap atau mengungkapkan ide, nasehat, peringatan secara lisan maupun tulisan, bukankah lebih elok dan bijak jika tak lagi memilih diam. Sedari itu, penulis mengajak diri sendiri dan pembaca sekalian, yukkk.. kita pantaskan diri untuk memilih bangkit dan bergerak. Karena mulut kita masih bisa bicara kebaikan, tangan kita masih mampu meluruskan kemungkaran, dan ilmu kita masih mampu memperbaiki keadaan. Sekaranglah saatnya, menunjukkan bahwa tak selamanya iman kita selalu berada di titik terlemah sehingga melenakan kita untuk diam, diam dan diam. Karena Rasulullah Saw menyatakan bahwa diam adalah selemah-lemahnya iman. Salam FMI, Allahu Akbar!