Son of Hamas, Son of Noah

Dunia dikejutkan dengan pengakuan seorang putera kandung salah seorang petinggi dan pendiri Hamas. Pemuda berusia 32 tahun itu bernama Mus’ab Hassan Yusuf, anak pertama dari Syeikh Hassan Yusuf. Ia mengaku telah murtad dari agama Islam pada tahun 2005 kemudian memeluk agama Kristen. Bahkan lebih jauh dari itu, ia mengaku kalau dirinya telah berperan sebagai agen rahasia Shin Bet (dinas rahasia Zionis Israel) selama 10 tahun. Dalam program wawancara bersama Christian Amanpour di saluran televisi berita CNN 6 Maret 2010 lengkap kita temukan penjelasannya dengan judul Son of Hamas Spied for Israel (Putera Tokoh Hamas Menjadi Mata-mata Israel).

Ketika ditanya apa alasan ia berkolaborasi dengan dinas intelijen fihak yang semula dimusuhinya, yi Israel, dia mengatakan bahwa ini terjadi karena saat pertama kali ia dijebloskan ke dalam tahanan Shin Bet di tahun 1996, ia ditawarkan untuk menjadi agen mereka. Pada saat itu pemuda ini berminat menerima tawaran itu karena berniat untuk menjadi ”double-agent” tanpa sepengetahuan Shin Bet demi kepentingan perjuangan fihak Palestina. Namun ia mengalami kebingungan setelah dirinya mengalami penyiksaan oleh Shin Bet kemudian dipindahkan ke tahanan lainnya berkumpul bersama banyak tahanan Hamas lalu menyaksikan bagaimana para pimpinan Hamas di dalam tahanan juga melakukan penyiksaan terhadap anggota Hamas sendiri. Inilah menurutnya awal mula mengapa ia pelan-pelan membatalkan niat semula menjadi ”double-agent”, malah berubah menyerahkan loyalitasnya sepenuhnya kepada fihak Shin Bet.

Pemuda pengkhianat ini kemudian memiliki pemikiran dan penilaian bahwa fihak Hamas berideologi jauh lebih jahat daripada fihak Israel. Karena menurutnya bila fihak Israel menyerang Palestina, maka mereka hanya men-targetkan para teroris dalam serangan mereka. Sedangkan ketika fihak Hamas menyerang Israel, Hamas memandang bahwa kaum sipil-pun layak dan sah untuk diserang. Berdasarkan penilaiannya ini, maka lebih jauh lagi ia berkesimpulan bahwa akar masalah dari ini semua karena ”The God of Koran” (Tuhannya Al-Qur’an) memang mengajarkan kekejaman alias terorisme dibandingkan ”The God of Torah and Bible” (Tuhannya Taurat dan Injil) yang merupakan ”The God of Love” (Tuhannya Cinta). Sehingga ia merasa yakin sedang melaksanakan misi mulia menyadarkan setiap Muslim untuk membebaskan kemanusiaan kaum muslimin dari cengkeraman Tuhannya Al-Qur’an yang mengajarkan kejahatan itu. Na’udzubillaahi min dzaalika..!

Pengakuan pemuda pengkhianat ini telah mengejutkan banyak fihak. Di antaranya fihak Hamas tentunya, fihak Palestina dan ummat Islam sedunia pada umumnya, bahkan fihak Israel, termasuk Shin Bet sendiri. Sebab dalam dunia intelijen pengakuan terbuka seseorang bahwa dirinya merupakan bagian dari sebuah dinas intelijen, sama saja dengan mengakhiri karir peranan yang dimainkannya sekaligus merusak reputasi dinas intelijen tersebut.

Namun, bagi seorang muslim yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa, tentunya peristiwa tragis dan unik ini perlu menjadi pelajaran berharga. Apa saja pelajaran yang bisa kita petik?

Pertama, di antara pelajaran penting di balik peristiwa ini ialah betapa benarnya firman Allah yang menyatakan bahwa urusan memberi hidayah dan menyesatkan seseorang sepenuhnya berada di dalam genggaman kehendak Allah. Bila Allah berkehendak memberi hidayah kepada seseorang maka fihak manapun tidak mungkin bisa menyesatkannya dari jalan lurus yang Allah taqdirkan terbentang baginya. Sebaliknya, bila Allah telah menyesatkan seseorang, maka tak seorangpun dapat memberinya hidayah kembali.

وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

”Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorang pun yang akan memberi petunjuk.” (QS Ar-Ra’d ayat 33)

Kedua, urusan hidayah dan iman tidak bisa diwariskan. Artinya, tidak ada jaminan bahwa seorang ayah beriman pastilah anak-keturunannya beriman pula. Sebagaimana sebaliknya, tidak mesti selalu orang-tua kafir anaknya kemudian pasti menjadi kafir sebagaimana kedua orang-tuanya. Hal ini bahkan pernah terjadi pada keluarga seorang Nabiyullah, yaitu Nabi Nuh ’alaihis-salam.

”Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.”(QS Hud ayat 42-43)

Ketika Nabi Nuh menyaksikan bahwa anaknya begitu takabbur dalam kekafirannya dan mati ditelan banjir, maka sebagai seorang ayah iapun berdoa kepada Allah:

”Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya."(QS Hud ayat 45)

Nabi Nuh sangat tahu bahwa ia tidak berhak mendoakan ampunan Allah bagi anaknya yang terbukti mati dalam kekafiran, namun ia secara halus dan implisit tetap mengharapkan semacam kebijaksanaan dari Allah Yang Maha Bijaksana sambil menyebut-nyebut bahwa anak yang tenggelam itu adalah bagian dari keluarganya. Tetapi apa jawaban Allah merespon doa Nabi Nuh di atas?

”Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."(QS Hud ayat 46)

Oleh karenanya, dalam kasus pemuda pengkhianat The Son of Hamas, penulis memandang bahwa ayahnya, yaitu Syeikh Hassan Yusuf sungguh-sungguh telah mengambil pelajaran dari kisah Al-Qur’an mengenai The Son of Noah (putera Nabi Nuh as). Sehingga dengan tegas dan lantang sang ayah dari balik jeruji sel Zionis Israel mengeluarkan statement sbb:

"Saya, Syaikh Hassan Yusuf … istri saya, putra dan putri saya mengumumkan bahwa kami benar-benar tidak mengakui ada seorang pria yang mengaku putra sulung kami dan dipanggil dengan nama Mus’ab," katanya dalam sebuah pernyataan.

Keputusan ini diambil setelah orang yang disebut-sebut bernama Mus’ab yang telah murtad terhadap Allah dan para nabi … melakukan pengkhianatannya terhadap kaum Muslimin, dengan bekerjasama dengan musuh-musuh Allah dan menimbulkan kerusakan terhadap bangsa ini dan tujuan bangsa kita."

Ketiga, tentunya kita semua berdoa kepada Allah semoga kejadian pahit ini tidak terkait dengan kelemahan pendidikan orang-tua terhadap anaknya. Di antara indikasinya ialah karena ketika si ayah mengeluarkan pernyataan tegas pengingkaran pengakuan akan Mus’ab sebagai anaknya karena telah murtad dan berkhianat, sang ayah mengatas-namakan seluruh anggota keluarganya termasuk anak-isterinya. Artinya, statement itu mengindikasikan bahwa ada soliditas sikap dalam keluarga aktifis senior pergerakan Hamas ini. Suatu isyarat kuat bahwa Syeikh Hassan Yusuf selama ini telah berusaha keras memastikan nilai-nilai Islam tertanam kepada segenap keluarga yang dipimpinnya. Hanya saja Allah memang mentaqdirkan anak sulungnya harus tersesat dari jalan lurus yang ditempuh saudara-saudaranya. Wallahu a’lam bish-showwaab.

Hal ini perlu kita catat karena tidak jarang ditemukan aktifis perjuangan Islam sekalipun ternyata luput dalam memberi perhatian yang semestinya dalam hal binaa bait al-muslim (pembinaan keluarga Islam). Dengan dalih bahwa dirinya telah sangat sibuk dan waktunya tersita untuk kepentingan perjuangan Islam dan pelayanan kepada ummat, maka ia tidak perhatian lagi akan pendidikan dan penanaman nilai-nilai Islam kepada keluarga, anak dan isteri. Tiba-tiba di belakang hari dia dikejutkan dengan keterlibatan anaknya dalam penyimpangan seksual, dugem (dunia gemerlap), narkoba, fenomena kemusyrikan atau bahkan terang-terangan murtad dari agama Islam. Na’udzubillaahi min dzaalika.

Keempat, kitapun berdoa kepada Allah semoga murtad dan berkhianatnya pemuda The Son of Hamas ini tidak terkait dengan kemungkinan masih adanya flaw (cacat) dalam metode berjuang kelompok perjuangan Palestina bernama Hamas. Mengingat bahwa belakangan ini sudah bermunculan kritik dari sesama pejuang Islam baik di dalam Palestina maupun di luarnya, bahwa pola berjuang Hamas dinilai belum seratus persen sejalan dengan Islam dalam beberapa hal yang cukup mendasar. Dan kita juga sadar bahwa dewasa ini tidak ada kelompok perjuangan Islam yang tidak memiliki kekurangan, tanpa kecuali Hamas.

Sebagai contoh, keluhan yang diungkapkan oleh para mujahidin Kaukasus (Chechnya) yang mengkritik jawaban Khalid Misy’al kepada para wartawan ketika berkunjung ke Rusia menjumpai Putin. Media menanyakan pendapat Misy’al soal perjuangan gerilyawan Chechnya, lalu dengan ringan beliau menjawab: ”Itu masalah internal negara Rusia…!” Suatu jawaban yang seolah menafikan semangat ukhuwwah (persaudaraan) dan mahabbah (kasih-sayang) kepada sesama kelompok Islam yang sedang sama-sama berjihad di jalan Allah.

Contoh kedua, kasus kontak fisik antara Hamas dengan sekumpulan pejuang Islam di Gaza, khususnya Refah, pada pertengahan bulan Agustus 2009 yang menyebabkan terbunuhnya (syahidnya?) Syeikh Maqdisi, pimpinan kelompok Islam tersebut. Banyak yang menyayangkan kenapa fihak Hamas di Gaza perlu mengerahkan kekuatan fisik dalam menangani kelompok tersebut? Padahal, kelompok tersebut justeru sedang mengingatkan Hamas yang telah berkuasa di wilayah Gaza agar segera menerapkan hukum dan syariat Allah.

Satu hal yang pasti, Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam telah menegaskan dalam sebuah hadits bahwa ujung akhir dari perjalanan hidup seseorang itu bisa jadi sangat berbeda dengan jalannya selama mayoritas usia hidupnya. Simaklah hadits berikut:

فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ

إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ

وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا

وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا

إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

Dari Abu Abdirrohman, Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu benar dan dibenarkan:“…Maka demi Alloh yang tiada tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada diantara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang diantara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapka atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim)

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agamaMu.”