Pengantar "Ringan Berbobot”

Orang beriman sibuk bukan untuk masa tuanya di dunia. Tapi ia sibuk mempersiapkan berbagai investasi berupa ’amal ’ibadah dan ’amal sholeh untuk masa hidupnya yang sejati, yakni akhirat.

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
(الترمذي)

“Orang yang paling cerdas ialah barangsiapa yang menghitung-hitung/evaluasi/introspeksi (‘amal-perbuatan) dirinya dan ber’amal untuk kehidupan setelah kematian.”(At-Tirmidzi 8/499 )

Ia sangat terobsesi akan keberhasilannya di akhirat sehingga keberhasilannya di dunia menjadi sesuatu yang ia kejar secukupnya. Ia sangat sibuk menghindari kegagalan dan penderitaan di akhirat sehingga berbagai kegagalan dan penderitaan di dunia ia hadapi sewajarnya. Ingatannya akan akhirat sangat dominan sehingga ingatannya akan dunia menjadi sebatas ”asal tidak lupa” bahwa ia masih hidup di dunia.

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi..” (QS Al-Qashash 77)

Ia sadar bahwa kemampuannya bersyukur akan ni’mat Allah tidak akan pernah seimbang apalagi melebihi banyaknya ni’mat yang Allah berikan kepada dirinya. Sehingga ia berusaha sekuat mungkin untuk cerdas dalam memilih ‘amal sholeh dan ‘amal ibadah yang dikerjakannya. Ia pelajari sebanyak mungkin pesan-pesan Nabi Muhammad shollallahu ’alaihi wa sallam yang menyebutkan bentuk-bentuk ’amal yang sepertinya sederhana namun mempunyai multiplying effect yang dahsyat. Ia berusaha untuk menjadikan setiap gerak hidupnya memperoleh barokah dari Allah subhaanahu wa ta’aala. Orang yang tidak memahami motivasi di belakang setiap perbuatannya menyangka apa yang dilakukan si muslim tersebut ringan saja padahal di sisi Allah sungguh ia sangat berbobot.

Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ (الترمذي)

“Bila manusia meninggal putuslah ‘amalnya kecuali dari tiga perkara (1) shodaqoh jariyah (2) ilmu bermanfaat dan (3) anak sholehnya yang mendo’akannya.” (Tirmidzi 5/243)

Setiap mu’min yang menyadari makna hadits di atas niscaya akan berusaha sekuat mungkin untuk memenuhi ketiga hal di atas sebelum ajal menjemputnya. Ia akan berusaha untuk menjadi orang yang rajin bershodaqoh. Setiap kali ia mengeluarkan shodaqoh justru ia hayati sebagai suatu usaha investasi jangka panjang, yakni menyimpan kekayaan hakiki untuk kehidupan sejatinya di akhirat kelak.

Selain itu ia juga akan sangat serius terlibat di dalam aktifitas mengajar. Sebab ia sadar bahwa penyebaran ilmu yang bermanfaat pada hakikatnya justru akan menjadi sebab terus mengalirnya rekening pahala kebaikannya. Apalagi bila murid-muridnya menyebarluaskan ilmu tersebut lebih lanjut kepada masyarakat luas. Bayangkan betapa banyaknya pahala yang terus mengalir kepada Imam Bukhari, seorang ahli hadits yang hingga saat ini kitab-kitabnya masih dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Pantas bilamana Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ (الترمذي)

“Sesungguhnya dunia tercela. Tercela apa-apa yang ada di dalamnya,
kecuali mengingat Allah dan apa-apa yang menyertainya serta penyebar ilmu dan penuntut ilmu.” (HR Tirmidzy 8/302)

Jadi, seorang muslim yang peduli dengan hadits ini pasti sangat gemar menuntut ilmu dan kemudian menyebarluaskannya. Maka ia akan berusaha melengkapi dirinya dengan segenap bekal yang diperlukan untuk mampu belajar dan mengajar.

Kemudian yang berikutnya Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda bahwa anak sholeh yang mendoakan orangtuanya juga termasuk perkara yang menyebabkan pahala seseorang tetap mengalir walau ia telah wafat. Berarti seorang muslim pasti akan menyibukkan dirinya dalam program tarbiyatul aulad (pendidikan anak). Ia akan berusaha keras untuk memastikan bahwa anak-anaknya tumbuh menjadi orang sholeh. Dan urusan ini tidak sepatutnya didelegasikan kepada fihak lain. Sebab jelas Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (البخاري)

“Tiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih, suci, tanpa dosa), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi (penyembah berhala api).” (HR Bukhary 5/182)