Awalnya Pasar Itu Tanpa Batas, Kemudian Datang ‘Penguasa Pasar’ Meng-kaplingnya

Dalam sebuah seminar di Jakarta belum lama ini, OPIC (Overseas Private Investment Corporation) seperti kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan pertumbuhan pasar yang luar biasa yang namanya ‘Asia Tenggara’, sehingga mereka hanya mengungkapkan ‘It’s time for South East Asia region…’. Tahukah kita siapa yang dimaksud? sekitar 60% pasar Asia Tenggara adalah Indonesia—jadi penguasa pasar Indonesia adalah juga penguasa pasar terbesar di Asia Tenggara. Tetapi siapakah penguasa pasar Indonesia ini…? kita kah…?

Di Industri makanan yang terus menggarap negeri dengan penduduk nyaris 240 juta ini, nama-nama besar McDonald, KFC, Pizza Hut dlsb., lebih besar penguasaan pasarnya ketimbang restaurant Padang mana-pun, gudeg Jogja mana-pun, pecel Madiun manapun dst.

Di industri yang tumbuh paling cepat telekomunikasi bergerak nama-nama besar seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, Blackberry, iPhone dan kemudian disusul berbagai merek-merek China seolah mereka berbagi-bagi kapling pasar di negeri ini tanpa menyertakan pemain local yang berarti.

Di Industri transportasi nama-nama besar Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki dan kemudian juga menyusul produk-produk China kembali melaju berbagi kapling lagi-lagi tanpa menyertakan pemain lokal.

Awalnya pasar-pasar makanan cepat saji, telekomunikasi bergerak, transportasi dan berbagai kebutuhan manusia jaman modern tersebut adalah bebas dan terbuka —siapa saja berhak memasukinya— tanpa hambatan. Tetapi kemudian karena keperkasaan para pemain-pemain raksasa tersebut, pasar-pasar ini seolah dapat terkapling-kapling – hanya untuk mereka yang perkasa. Setelah pasar mereka kuasai, amat sangat sulit pemain baru untuk dapat menerobosnya.

Misalnya kita ingin membuat jaringan restaurant cepat saji berbasis makanan Padang, gudeg Jogja atau pecel Madiun —bisakah kita bersaing dengan McDonald, KFC dan Pizza Hut? Kita mau membuat handphone lokal, bisakah kita bersaing dengan Nokia, Blackberry dan iPhone? Kita mau membuat motor nasional, bisakah kita bersaing dengan Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki? Pastinya tidak akan mudah…!

Lantas apa yang sebenarnya harus kita lakukan untuk bisa ikut menggarap 60% dari pasar Asia Tenggara tersebut? Jangka pendeknya ya bisa saja numpang pada kebesaran pasar-pasar yang sudah terbangun dengan kokoh tersebut. Misalnya dengan beratus juga handphone beredar di pasar ini dan berpuluh juta sepeda motor, industri penunjang seperti penjualan dan perbaikan/bengkel-bengkelnya pasti diperlukan. Hampir seluruh jaringan-jaringan penjualan dan perbaikan handphone maupun motor dikuasai oleh pemain lokal.

Jangka panjangnya tentu kita tidak ingin anak cucu kita hanya menjadi penonton di pasar ini, hanya menjadi objek pemasaran produk-produk asing tanpa bisa melakukan yang sebaliknya—menguasai pasar sampai ke negeri asing. Seperti dalam perjuangan dibidang apapun, langkah ini akan panjang, melelahkan dan bisa jadi ber ‘darah-darah’ (membawa banyak korban kebangkrutan dlsb), tetapi tetap harus ada yang mulai.

Langkah-langkah awal ini bisa dimulai oleh para (calon) pelaku pasar seperti yang kami lakukan untuk membangun budaya berdagang melalui Al-Tijaarah Institute, oleh para pengambil keputusan negeri ini untuk membangun infrastruktur dan peraturan yang menunjang dan mempermudah lahirnya para penguasa pasar baru dari negeri ini. Bisa pula dilakukan oleh para peneliti dan pengembang untuk mengembangkan produk-produk masa depan —yang akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat— meskipun saat ini pasarnya-pun belum muncul. Tidak terbayang oleh kita bukan dua dasawarsa lalu bahwa akan ada pasar yang sangat besar yang namanya pasar telepon genggam, pasar pulsa dan pasar penunjang yang terkait dengan telekomunikasi bergerak tersebut misalnya?

Pilihannya sekarang ada pada kita, kita pasif dan akan tetap menjadi objek pemasaran produk-produk global sampai ke anak cucu. Atau kita proaktif berbuat sekuat tenaga di berbagai bidang untuk bisa membalik arah nantinya. Tidak hanya dibidang kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan. Kebutuhan sekunder dan bahkan tersier-pun kini bisa menjadi pasar yang sangat besar—yang tentu kita ingin anak cucu kita menjadi pemain-pemain utamanya.

Ayo sekarang kita ancang-ancang untuk menjadi perkasa minimal di pasar kita sendiri, sebelum pasar-pasar ini kembali di kapling-kapling oleh para pemain global untuk produk-produk masa depan yang sangat bisa jadi sekarang-pun mereka sudah memikirkannya! Insyaallah kita-pun bisa…!