Mukjizat Ibadah Ramadhan

Sesungguhnya Al-Qur’an itu mukjizat yang tak terkalahkan sampai akhir zaman. Salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur’an ialah menciptakan sebuah sistem ibadah Ramadhan menjadi ibadah yang penuh mukjizat. Al-Qur’an merancang mukjizat ibadah Ramadhan sedemikian rupa sehingga dirasakan mukjizatnya dalam semua sisi kehidupan; sisi ruhiyah (keimanan), sisi intelektual (keilmuan), sisi ubudiyah dan ketaatan, sisi kesehatan fisik dan psikis, sisi akhlak, keberkahan hidup, dan sebagainya. Wajar jika target ibadah Ramadhan itu sangat luar biasa, yakni pembentukan karakter taqwa orang-orang beriman. Sebuah posisi dan kedudukan yang paling tinggi dan mulia di sisi Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)

Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. {QS. Al-Baqarah (2) : 183}

Secara waktu pelaksanaan, ibadah Ramadhan sangatlah istimewa; sebulan penuh serta siang dan malam. Artinya, kalau kita menjalankan ibadah Ramadhan dengan baik dan maksimal, maka seperduabelas dari umur kita adalah ibadah Ramadhan. Inilah ibadah dan pelatihan hidup (life management) terpanjang dalam hidup kita. Jika kita berhasil memanfaatkannya dengan baik dan maksimal pasti melahirkan karakter taqwa. Di siang hari kita melakukan shiyam (memenej syahwat) dan di malam harinya kita dilatih qiyam (memenej ibadah). Selama 24 jam dalam sehari semalam kita berada dalam ketaatan (manajemen syahwat dan manajemen ibadah) pada Allah dan berlanjut selama satu bulan penuh.

Untuk menggali mukjizat ibadah Ramadhan, kita perlu merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul Saw. terkait ibadah Ramadhan. Terdapat dua kata kunci yang akan mambantu kita memahami mukjizat ibadah Ramadhan. Pertama, kata shiyam’ yang artinya menahan dan mengendalikan diri atau syahwat atau disebut dengan manajemen syahwat. Kedua, adalah kata qiyam, artinya tegak lurus berdiri untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’ala.

Imam Bukhari dalam kitab Shahehnya meriwayatkan, bersabda Rasul Saw :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang shaum (melakukan puasa / manajemen syahwat) di bulan Ramadhan didasari iman (keyakinan penuh pada Allah) dan ihtisab (tujuannya hanya mencari ridha Allah), maka diampunkan dosanya yang lalu.

Imam muslim dalam kitab Shahehnya meriwayatkan dengan redaksi sedikit berbeda. Bersabda Rasul Saw. :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang melakukam Qiyam (tegak berdiri beribadah di malam) bulan Ramadhan didasari iman (keyakinan penuh pada Allah) dan ihtisab (tujuannya hanya mencari ridha Allah), maka diampunkan dosanya yang lalu.

Dari dua hadits di atas, dapat kita pahami bahwa kata kunci dashyatnya sistem Ramadhan dalam pembentukkan karakter taqwa terletak pada dua ; Shiyam dan Qiyam. Menariknya lagi, Shiyam itu harus dilaksanakan di siang hari; sejak dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Sedangkan Qiyam itu dilaksanakan di malam hari; sejak isya’ sampai menjelang waktu subuh. Kalaulah Shiyam itu dilakukan di malam hari sedangkan Qiyam di siang hari, tentulah ibadah Ramadhan tersebut tidak menjadi istimewa dan tidak akan bernilai mukjizat bagi yang melaksanakannya.

Mukjizat Shiyam

Shiyam menahan diri dari berbagai hal yang membatalkan, seperti makan, minum, berhubungan suami isteri dan sebagainya, dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Pertanyaannya kemudian ialah, mengapa semua yang dihalalkan di luar Ramadhan diharamkan pada siang hari pada Ramadhan seperti makan, minum, dan berhubungan suami isteri dan sebagainya?. Dapat kita petik hikmahnya, bahwa hakikat Shiyam yang kita lakukan selama sebulan Ramadhan itu merupakan pelatihan manajemen syahwat agar terbiasa mengendalikan atau memenej syahwat yang bersemayam dalam diri kita.
Ada dua hal penting terkait dalam manajemen syahwat dalam ibadah Shiyam. Pertama, terkait dengan pengendalian syahwat yang halal, seperti makan, minum, seks dan sebagainya. Karena Syiham itu melatih orang yang menjalankannya untuk meraih derajat taqwa yang merupakan derajat tertinggi di sisi Allah [QS. Al-Hujarat (49) : 13]. Untuk meraih ketaqwaan itu sangat erat kaitannya dengan kemampuan memenej syahwat yang halal, bukan syahwat yang haram. Syahwat yang haram itu kalau dilakukan merupakan bukti cacatnya keimanan. Sudah pasti orang yang cacat imannya tidak mungkin mencapai derajat taqwa kecuali ia sudah melakukan taubat nashuhah.

Fakta membuktikan, bagi yang tidak terbiasa memenej syahwat halal, akan sulit, dan mungkin mustahil baginya untuk memenej syahwat yang haram, karena syahwat yang haram itu terasa lebih nikmat, lebih mudah, lebih banyak dan lebih kuat dorongan untuk melakukannya. Contoh sederhana ialah seorang koruptor. Ia melakukan korupsi bukan karena ia tidak mendapatkan gaji yang cukup, atau bukan karena tidak bisa makan dan minum. Akan tetapi ada dorongan syahwat haramnya untuk melakukan kejahatan korupsi itu. Karena tidak terbiasa memenej syahwat halal, maka ia dengan mudah terdorong dan tertipu oleh syahwat haramnya sehingga ia melakukannya. Di antara karakter syahwat itu adalah amat rakus dan tidak realistik. Sebab itu kita lihat para koruptor tak sedikit yang melakukan korupsi dengan nilai jauh melebihi kebutuhan makan dan minum mereka, dan bahkan ada yang korupsi mencukupi kebutuhan hidupnya 1000 tahun lebih.

Kedua, ibadah Shiyam memfokuskan pada manajemen tiga induk syahwat yang sudah built in dalam diri manusia, yakni syahwat makan, syahwat minum, dan syahwat kemaluan (seks). Ketiga induk syahwat ini mendapat perhatian pengendalian yang ketat dalam ibadah Shiyam, setelah itu baru syahwat-syahwat yang lain, seperti syahwat mata, syahwat telinga, syahwat lidah, syahwat ketenaran, syahwat kesombongan / ego, syahwat kekuasaan dan seterusnya.

Kenapa ketiga syahwat tersebut menjadi fokus utama ibadah Shiyam? Jawabannya tak lain adalah bahwa bila seorang Muslim tidak mampu dan tidak terbiasa memenej ketiga syahwat tersebut dalam kondisi halal, maka ia dengan mudah terjerumus ke dalam lembah syahwat haram. Awalnya bermula dari tidak mampu mengendalikan syahwat makan dan minum yang halal. Kemudian terjerumus memakan dan meminum yang tidak halal, seperti dengan risywah (sogok-menyogok), riba, korupsi, dan sebagainya. Kalau isi perut seseorang dari makanan dan minuman yang haram, maka gejolak syahwat kemaluannya semakin tidak terkendali sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengendalikan syahwat kemaluannya. Ketiga syahwat terebut saling terkait. Sebab itu, ketiganya menjadi fokus utama Manajemen Shiyam Ramadhan.

Korupsi misalnya, bukan dilakukan oleh orang yang tidak punya uang untuk membeli makan dan minum. Akan tetapi dilakukan oleh orang yang bergaji besar dan berpenghasilan cukup dan bahkan yang penghasilannya berlebih. Perselingkuhan juga bukan hanya dilakukan oleh lelaki dan wanita lajang, akan tetapi juga dilakukan oleh mereka yang sudah punya pasangan suami isteri yang halal.

Karena itu, syahwat makan, minum, dan seks itu harus mampu dimenej dengan baik dalam kondisi dan situasi yang halal. Kalau tidak, ketiga syahwat tersebut akan mendorong seseorang untuk mendapatkannya dengan segala cara, tanpa mengenal halal dan haram. Makanan dan minuman yang dikonsumsinya dari yang diharamkan Allah itu akan bereaksi negatif dan mempengaruhi hati, pikiran dan perilaku pelakunya, siapapun ia, apakah orang biasa maupun seorang alim atau abid (ahli ibadah). Dorongan negatifnya tidak hanya sebatas makan dan minum yang haram, tapi melebar kepada penyimpangan moral seperti zina dan sejenisnya.

Apabila makanan dan minuman yang haram atau syubhat yang dikomsumsi itu bereaksi, maka tidak akan ada manfaat ilmu, iman, dan akhlak yang dimilki sebelumnya. Akhirnya semua yang diharamkan dan yang dimurkai Allah bisa dilakukan dengan mudah tanpa berpikir panjang, karena demikianlah tipe dan karakter orang yang sedang dikendalikan, dimabuk, dan diperbudak syahwat haram.

Orang yang dimabuk dan diperbudak syahwat itu dengan mudah melakukan maksiat atau dosa-dosa besar seperti zina, minum khamar, korupsi, mendatangi dukun dan para peramal, dan bahkan dengan enteng menentang hukum dan peraturan Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw. baik secara terus terang maupun dengan berbalut baju islam dan kebaikan. Agama Allahpun diperjualbelikan untuk kepentingan syahwat dunia yang tidak seberapa, tanpa takut sedikitpun ancaman Allah. Bahkan akhirat yang sangat luar biasa ditukar dengan dunia yang sedikit dan hina:

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ فَلا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ

Mereka orang yang menukar dunia dengan akhirat, maka sedikitpun tidak diringankan azab bagi mereka dan tidak pula ditolong. {QS. Al-Baqarah (2) : 86}

Walhasil, orang seperti itu hatinya keras dan sakit. Pikirannya kacau dan hati tidak tenang lagi. Perasaannya kalut, gelisah, dan tidak mendapat ketenangan hidup. Kalau tidak dilakukan pengobatan dan perbaikan terhadap hatinya (tazkiyatunnafs), khususnya melalui ibadah Shiyam, maka perilakunya bisa rusak total kendati masih terlihat baju keislamannya. Benarlah apa yang disabdakan Rasul Saw, seperti yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahehnya:

إِنَّ الْحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ

Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu jelas dan di antara keduanya adalah syubhat di mana tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barang siapa yang terpelihara dari yang syubhat itu maka selamatlah agama dan harga dirinya. Siapa yang terjatuh kedalam yang syubhat itu maka ia terjatuh ke dalam yang haram. Persis seperti pengembala yang mengembala di sekitar pagar (kebun orang lain), maka sulitlah dipastikan (binatang ternaknya) tidak terjatuh (memakan rumput yang ada di kebun orang lain). Ingatlah, bahwa setiap raja memiliki batas (teritorial)nya dan ingatlah, batas (teritorial) Allah itu apa yang diharamkan-Nya. Dan ingatlah, di dalam setiap tubuh (manusia) itu ada seperti daging yang digigit. Bila daging tersebut baik maka semua anggota tubuh akan baik dan bila daging tersebut buruk, maka semua anggota tubuhnya akan jadi buruk pula. Itulah jantung (hati nurani). (HR. Imam Muslim).

Sebab itu, shiyam adalah solusi terbaik untuk pengendalian syahwat seperti yang disabdakan Rasul Saw :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai pemuda! Siapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan, hendaklah ia menikah karena sesungguhnya menikah itu merupakan cara terbaik untuk bisa menundukkan pandangan dan cara terbaik untuk memelihara kemaluan. Dan siapa yang belum memilki kemampuan maka hendaklah ia perbanyak shaum, karena sesungguhnya manfaat shaum itu baginya adalah pemecah syahwat. (HR. Imam Muslim)

Mukjizat Qiyam

Qiyam adalah aktivitas ibadah shalat di malam hari. Shalat harus dilakukan dengan berdiri (qiyam). Di bulan Ramadhan, shalat taraweh disebut qiyamullail (berdiri di malam hari), sedangkan di luar Ramadhan adalah shalat tahajjud. Hakikat Qiyam adalah bangun dan tegak lurus sambil berdiri beribadah kepada Allah. Jika di siang hari kita melakukan Shiyam itu adalah manajemen syahwat, maka di balik kata Qiyam dapat pula kita maknai sebagai manajemen ibadah.

Terdapat tiga prinsip dasar dalam memaknai Qiyam dalam arti manajemen ibadah. Pertama, tegak lurus berdiri beribadah pada Allah. Kedua, kesiapan diri meluruskan dan menyatukan semua orientasi hidup dan aktivitas hidup dari bermacam-macam menjadi hanya kepada Allah dan untuk Allah semata. Inilah inti komitmen yang selalu kita baca ketika membaca do’a iftitah dalam shalat [QS.Al-Am’am (6) : 161-163]. Ketiga, memenej ibadah bedasarkan aturan, sistem, dan ketentuan Allah, baik tujuannya, caranya maupun skala prioritasnya.

Mukjizat ibadah Ramadhan akan kita rasakan jika berbagai ibadah tersebut kita menej dan kerjakan bedasarkan tiga prinsip dasar tersebut di atas. Sebab itu, ibadah Qiyam Ramadhan (sholat malam) adalah lambang kesiapan kita untuk berdiri dan mengemban semua amanah dan kewajiban yang Allah pikulkan ke pundak kita semasa kita hidup di dunia ini. Kita tidak punya pilihan selain memikulnya. Ini adalah bukti bahwa kita adalah hamba-Nya yang tidak punya daya dan upaya sedikitpun di hadapan kehendak dan kemauan-Nya.

Sesungguhnya amanah dan kewajiban yang dibebankan Allah kepada kita adalah sebuah kemuliaan dan perdagangan yang selalu untung dan tidak pernah rugi. Amanah memahami, mengamalkan, dan memperjuangkan Al-Qur’an agar menjadi the way of life kita dan manusia lainnya; amanah shalat, amanah pengorbanan dengan harta dan mencari solusi kesulitan ekonomi masyarakat dan berbagai amanah lainnya, seperti dijelaskan Allah dalam kitab-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yng kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharap perniagaan yang tidak akan merugi, (29) agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (30) {QS. Fathir (35) : 29-30}

Qiyam Ramadhan adalah lambang kesiapan kita untuk selalu mengoreksi dan meluruskan orentasi hidup kita yang di siang hari bisa saja terpengaruh oleh berbagai godaan dan janji kosong setan dan kemilau kehidupan dunia. Atau bisa juga disebabkan keras dan kejamnya sistem hidup yang ada dalam masyarakat dan pemerintahan yang ada sehingga hidup ini terasa amat sulit dan penuh kezaliman. Sebab itu, Ramadhan mengajarkan kita untuk mengoreksi dan meluruskan orentasi hidup itu setiap malam. Targetnya adalah agar kita memiliki karakter yang kuat dalam menghadapi percaturan hidup ini sehingga orientasi hidup kita tetap terpelihara dan tidak condong serta mengarah kepada selain Allah. Karena, perubahan orientasi hidup kepada selain Allah, atau kecenderungan kepada selain Allah akan mengakibatkan perubahan jalan hidup yang di tempuh. Inilah yang kita minta selalu dalam shalat fardhu maupun Qiyam Ramadhan dan di luar Ramadhan :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (7)

Tunjukilah kami ke jalan yang lurus (6), yaitu jalan orang yang tidak Engkau murkai (Yahudi) atas mereka, dan tidak pula jalan hidup orang yang tersesat (Nasrani) (7). [QS. Al-Fatihah (1) : 6-7]

Sesungguhnya perubahan orientasi hidup kepada selain Allah adalah kekufuran dan kemusyrikan yang akan menghancurkan hidup kita baik di dunia maupun di akhirat. Komitmen untuk tetap menjaga orientasi hidup hanya untuk Allah merupakan komitmen yang selalu kita ucapkan saat kita Qiyamullail dan juga Shalat lainnya :

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)

Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta Alam (162) Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). (163) {QS. Al-An’am (6) : 162-163}

Qiyam Ramadhan juga lambang kesiapan kita untuk mengikuti berbagai ibadah dan sistem hidup yang Allah Syari’atkan berdasarkan tujuan dan niat, cara dan skala prioritas yang Allah tetapkan dan Rasulullah contohkan. Jangan ada satupun ibadah yang kita lakukan, baik fardhu maupun yang sunnah, baik yang fardhu ‘ain maupun yang fardhu kifayah yang melenceng niatnya kepada selain Allah, seperti shalat untuk terhindar dari tekanan darah tinggi, shaum untuk mendapat tubuh yang langsing, infaq untuk menjadi kaya, dan qiyamullail agar berwibawa dihadapan manusia, menegakkan hukum Allah (syari’at Islam) untuk berkuasa dan sebagainya. Semua ibadah dan ketaatan harus ditujukan hanya mencari ridha Allah. Kebaikan-kebaikan yang muncul dalam diri dan kehidupan duniawi sebagai buah dari ibadah tak lain hanya bonus duniawi yang Allah berikan. Sebab itu jangan tertipu oleh bonus-bonus duniawi itu, karena jika dibandingkan dengan imbalan akhirat berupa syurga-Nya, tentulah tidak ada artinya.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (5)

Dan mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah agama yang lurus. {(QS. Al-Bayyinah (98) : 5}
Qiyam Ramadhan juga sarana pelatihan diri kita untuk melakukan semua ibadah sesuai dengan yang Allah syari’atkan dan Rasulullah ajarkan. Jangan sampai dalam melakukan ibadah, baik wajib maupun sunnah keluar dari kaifiyat (tata cara)-nya yang telah dicontohkan Rasul Saw.

Di samping itu, Qiyam Ramadhan mengajarkan kita untuk selalu mengikuti semua ibadah dan sistem hidup yang Allah syari’atkan dan Rasulullah contohkan bedasarkan urutan dan prioritasnya. Jangan sampai melaksanakan shalat iedul fitri dan iedul adh-ha lebih semangat ketimbang shalat jum’at. Jangan sampai shalat taraweh lebih semangat kita kerjakan ketimbang shalat fardhu berjamaah di masjid lima kali dalam sehari semalam. Jangan sampai infaq lebih semangat kita lakukan ketimbang menunaikan zakat dan begitulah seterusnya.

Qiyam Ramadhan mengajarkan dan melatih kita untuk mendahulukan amal-amal yang wajib dari amal-amal yang sunnah dan fardhu ‘ain sebelum fardhu kifayah. Namun demikian bukan berarti kita mencukupkan amal ibadah kita pada yang wajib saja dan tidak tertarik melakukan yang sunnah (nawafil). Keduanya harus kita kerjakan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh. Karena urutan untuk mencapai kedekatan dan kasih ayang Allah adalah dengan memulai amalan atau ibadah yang wajib (fardhu), kemudian di teruskan dengan yang sunnah. Dalam sebauah hadist Qudsi di jelaskan :

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ

Sesungguhnya Allah berfirman: Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku umumkan perang atasnya. Dan tidak ada (jalan) yang dilakukan hamba-Ku dalam rangka mendekatkan diri pada-Ku lebih aku cintai selain dari apa yang Aku fardhukan atasnya. Apabila hamba-Ku terus menerus melakukan pendekatan diri (taqarrub) kepada-Ku dengan amalan yang nawafil (sunnah) sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarnya bila ia mendengar, penglihatannya bila ia melihat, tangannya bila ia memikul, kakinya apa bila ia berjalan dan apabila ia meminta pasti akan aku kabulkan dan apabila ia meminta perlindungan pasti akan aku lindungi. Tidak ada sedikitpun Aku melakukan sesuatu seperti keraguan-ku (mencabut) jiwa (nyawa) seorang Mukmin yang membenci kematian, sedangkan Aku tidak mau menyakitinya. (HR. Imam Bukhari).

Hadits Qudsi tersebut dengan tegas menyatakan bahwa :

1. Dalam melakukan ibadah kepada Allah atau menerapkan sistem hidup yang disyari’atkan-Nya kepada kita haruslah dengan prinsip prioritas. Sedangkan prinsip prioritas itu harus menurut Allah itu sendiri.

2. Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) harus dimulai dari apa yang Allah wajibkan pada kita, baik terkait dengan individu, rumah tangga, masyarakat maupun sistem hidup dalam pemerintah.

3. Untuk mendapat kasih sayang Allah (menjadi wali Allah), amal-amal yang bersifat sunnah seperti, shalat sunnah, shaum sunnah dan sebagainya, haruslah menjadi kebiasaan (habit) yang dilakukan tanpa mengenal waktu dan kondisi. Pelaksanaannya melekat dalam diri, sama halnya dengan ibadah-ibadah fardhu yang lain.

4. Karena ibadah sunnah sangat banyak dan luas jangkauannya, maka setiap kita hendaklah memulai dari ibadah sunnah yang Allah mudahkan dan kemudian dikembangkan kepada ibadah-ibadah sunnah lainnya. Kita harus mengetahui potensi diri kita terkait dengan ibadah sunnah. Setelah diketahui, hendaklah dilakukan secara terus menerus (mudawamah), karena terus menerus menjadi syarat untuk mendapatkan kasih sayang Allah.

5. Apabila kita komitmen menjalankan yang fardhu (wajib), kemudian diteruskan dengan amal ibadah yang sunnah secara kontinu, maka peluang kita mendapat kasih sayang Allah sangatlah besar. Atau dengan kata lain, peluang menjadi wali Allah sangat terbuka lebar.

6. Bila seorang Mukmin telah meraih kedekatan dan kasih sayang Allah, saat itulah ia menjadi wali Allah. Kemenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat akan menyertainya.

I’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan

Jika kita teliti prilaku hidup Rasul Saw. dan para Sahabat di bulan Ramadhan, kita menemukan berbagai keajaiban. Di antaranya ialah, saat memasuki 10 hari terakhir Ramadhan mereka habiskan waktunya di Masjid untuk melakukan I’tikaf. Apa yang mereka lakukan sangat kontras dengan apa yang terjadi di negeri ini. 10 hari terakhir Ramadhan mereka habiskan di masjid, bukan di pasar, tempat kerja, di pabrik, kunjungan ke daerah dan sebagainya.

Menurut presepsi dan perilaku kebanyakan masyarakat Muslim di negeri ini, 10 hari terakhir Ramadhan itu adalah kesempatan berbelanja untuk mempersiapkan keperluan lebaran dan pulang kampung, kendati mengakibatkan harga-harga semua barang naik dan melambung. Anehnya, mereka tetap semangat berbelanja. Sebab itu, mereka meninggalkan masjid-masjid di malam hari dan tumpah ruah ke tempat-tempat perbelanjaan sejak dari yang tradisional sampai ke mall-mall moderen.

Lalu apa yang terjadi? Berbagai syahwat cinta dunia tidak berhasil dikendalikan, dan bahkan cenderung dimanjakan di bulan yang seharusnya dikendalikan. Pada waktu yang sama, semangat beramal ibadahpun tidak terbangun dengan baik sehingga kehilangan banyak momentum dan keistimewaan yang dijanjikan Allah dan Rasulnya.

Mari kita renungkan janji Allah yang bernama Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan. Kalau masih belum tertarik juga, janji siapa lagi yang kita yakini? Jika kita tertarik kepada janji Allah yang sangat luar biasa itu, mari kita kejar sekuat tenaga dan upaya di masjid pada 10 hari terakhir Ramadhan dengan cara beri’tikaf di dalamnya secara penuh seperti yang dicontohkan Rasul Saw.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Sesungguhnya Nabi Saw. I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. (HR. Imam Bukhari).

Imam Muslim meriwayatkan :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang shaum (melakukan puasa / manajemen syahwat) di bulan Ramadhan didasari iman (keyakinan penuh pada Allah) dan ihtisab (tujuannya hanya mencari ridha Allah), maka diampunkan dosanya yang lalu. Siapa yang Qiyam (beribadah) di malam lailatul qadr didasari iman (keyakinan penuh pada Allah) dan ihtisab (tujuannya hanya mencari ridha Allah), maka diampunkan dosanya yang lalu.

Jadi, tidak ada alasan kita untuk tidak bisa I’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan, karena 10 hari itulah umur kita yang paling mahal nilainya. Ampunan semua dosa yang kita lakukan dan bernilai lebih baik dari 1.000 bulan atau sekitar 83 tahun. Allah menjelaskan :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam qadr (kemuliaan) (1) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (2) Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (3) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan (4) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (5). {QS. Al-Qadr (97) : 1 – 5 }

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majah bahwa Rasul Saw. beri’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan. Pada tahun terakhir berjumpa Ramadhan, Beliau i’tikaf selama 20 hari. Kebiasaan I’tikaf ini diteruskan oleh para Sahabat dan istri-istrinya setelah peninggalan Beliau.

Inilah prilaku yang dibangun Rasul Saw. saat memasuki 10 hari terakhri Ramadhan dan diteruskan oleh para Sahabat dan istri-istrinya sepeninggalan Beliau.

Pertanyaannya adalah : Bukankah Rasulullah orang yang paling sibuk berdakwah, berjihad dan mengurusi umatnya? Bukankah para Sahabat orang yang paling giat berdakwah dan berjihad di jalan Allah? Lalu, kenapa mereka bisa melaksanakan i’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan? Jawabanya ialah : itulah jalan yang harus ditempuh sebagai bagian dari sistem Allah yang menyampaikan hamba-Nya ke tingkat taqwa, tak terkecuali Rasulullah dan para Sahabatnya. Lalu bagaimana dengan kita? Sudah pasti jalannya sama jika menginginkan sampai ke peringkat yang sama (taqwa) pula. Pola penerapan I’tikaf seperti yang dijelaskan di atas adalah ajaran Rasul Saw. Rasullah dan para Sahabatnya berhasil menerapkan dalam kehidupan mereka. Sebab itu mereka dijamin Allah meraih kebahagian dan kemenangan di dunia dan akhirat.

Kendati Rasulullah tidak bersama kita, namun dengan mukjizat Al-Qur’an dan ibadah Ramadhan yang selalu mengunjungi kita setiap tahun, insya Allah kita bisa meraih derajat taqwa seperti halnya para sahabat Rasul Saw. Karena, semua ibadah Ramadhan adalah mukjizat yang dapat kita rasakan dalam kehidupan nyata. Amin…