Sistem Ekonomi Ribawi (Sistem Bunga) (2)

Penyebab Kegelisahan

Sebab utama kegelisahan sudah barang tentu adalah kosongnya ruh manusia yang tersiksa, sesat dan sengsara ini dari energi ruh, yaitu iman dan keyakinan terhadap Allah, serta dari tujuan-tujuan besar manusia yang digariskan iman dan dari kekhalifahan di bumi sesuai perjanjian dan syaratnya.

Bencana utama dan besar tersebut—yaitu bencana riba—melahirkan bencana ekonomi yang tumbuh secara tidak seimbang karena tidak terdistribusikan kepada seluruh manusia, melainkan kepada kelompok pemodal lintah darat yang duduk-duduk di belakang meja-meja besar di bank-bank. Mereka meminjami modal kepada industri dan bisnis dengan bunga yang telah ditetapkan dan terjamin, lalu memaksa industri dan bisnis untuk mengikuti jalur tertentu yang tujuan pertamanya bukan menjaga masyarakat dan hajat manusia, melainkan untuk menghasilkan keuntungan sebesar mungkin—meskipun dengan menghancurkan kehidupan banyak orang dan menebarkan keraguan dan kecemasan di tengah masyarakat!

Mahabenar Allah dalam firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”

Para lintah darat di masa Rasulullah saw memprotes pengharaman riba karena tidak menurut mereka tidak ada alasan untuk mengharamkan praktik riba dan menghalalkan praktik perdagangan:

“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Kerancuan yang jadi pegangan mereka adalah jual beli menghasilkan manfaat (interest) dan keuntungan, sama seperti riba. Ini merupakan kerancuan yang lemah. Karena perdangan itu bisa untung atau rugi. Kepiawaian individu, usaha individu serta situasi dan kondisi natural dalam kehidupan-lah yang menjadi faktor untung dan rugi. Sedangkan praktik riba itu pasti untung dalam kondisi apapun. Inilah perbedaan utama dan tolok ukur halal dan haram.

Setiap transaksi yang terjamin keuntungannya dalam kondisi apapun adalah riba dan haram. Tidak ada alasan untuk negoisasi dalam hal ini!

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Karena unsur ini dan karena faktor-faktor lain, maka perdagangan secara prinsip adalah bermanfaat bagi kehidupan manusia, dan riba secara prinsip itu merusak kehidupan manusia..

Islam telah memberi sosuli praktis terhadap kondisi yang ada pada saat itu, tanpa menimbulkan goncangan ekonomi dan sosial:

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.”

Islam telah menjalankan sistemnya sejak pertama ia ditetapkan. Barangsiapa yang mendengar nasihat Tuhannya lalu berhenti mengutip riba, maka tiba yang telah lalu itu tidak diambil lagi darinya dan keputusannya diserahkan kepada Allah. Ungkapan ini memberi inspirasi kepada hati bahwa keselamatan dari akibat dosa di masa lalu itu tergantung pada kehendak dan rahmat Allah, sehingga hati selalu mencemaskan hal tersebut dan berkata kepada diri sendiri: cukup bagiku dengan torehan dosa ini, semoga Allah memaafkanku dari hukumannya jika aku berhenti dari riba dan bertaubat.

“Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Ancaman dengan adzab yang sebenarnya di akhirat itu memperkuat karakter metode edukasi yang kami isyaratkan dan memperdalam pengaruhnya bagi hati. Tetapi, barangkali banyak orang yang lalai dengan akibat lamanya waktu dan tidak diketahuinya waktu yang dijanjikan, sehingga mereka menganggap akhirat masih jauh! Karena itu, al-Qur’an juga mengancam mereka dengan kemusnahan di dunia dan akhirat, menetapkan bahwa sedekah—bukan riba—itulah yang berkembang. Kemudian, ancaman ini melabeli orang-orang yang tidak merespon perintah ini dengan label kufur dan dosa dan memperlihatkan kepada mereka kebenncian Allah terhadap orang-orang kafir yang berdoa:

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”

Ancaman dan janji Allah itu terbukti benar. Kita lihat, tidak satu pun masyarakat yang berinteraksi dengan riba, lalu di dalamnya tersisa berkah, kemakmuran, kebahagiaan, keamanan dan ketentraman. Allah memusnahkan riba, sehingga tidak berdampak kepada masyarakat selain kekeringan dan kesengsaraan.

Sebelumnya kami telah mengisyaratkan ketidak-bahagiaan yang dirasakan manusia di negara-negara kaya dan gangguan psikologis yang tidak bisa ditolak dengan kekayaan, tetapi justeri diperparah. Dari negara-negara tersebut-lah kecemasan dan gangguan itu menjalar ke seluruh dunia pada hari ini, dimana manusia hidup dalam ancaman perang destruktif terus-menerus, seperti Anda terjaga dan tidur dalam bayang-bayang perang dingin! Kehidupan semakin memberatkan syaraf hari demi hari—baik mereka merasa atau tidak. Harta, usia dan kesehatan mereka tidak diberkahi!

Tidak ada satu masyarakat pun yang memegang prinsip solidaritas dan kerjasama—dalam bentuk sedekah wajib dan sunnah, diwarnai ruh cinta dan toleransi, pencarian terhadap karunia dan pahala Allah, serta keyakinan terhadap pertolongan Allah dan ganti-Nya terhadap sedekah secara berlipat ganda. Sifat tidak ramah dan bakhil, saling berkelahi dan saling menggilas, individualisme dan egoisme-lah yang bercokol di hati manusia, sehingga membuat harta tidak bisa berpindah kepada orang-orang yang membutuhkannya kecuali dalam bentuk riba yang busuk.

Kondisi tersebut juga membuat manusia hidup tanpa jaminan-jaminan selama mereka tidak punya setumpuk kekayaan, atau menyetor sebagian hartanya ke lembaga asuransi dengan sistem riba! Ia juga membuat perdagangan dan industri tidak memperoleh modal selama tidak dengan cara riba, sehingga tertanam dalam benak generasi penerus yang sengsara itu bahwa tidak ada sistem selain sistem ini dan bahwa kehidupan tidak bisa tegak kecuali di atas fondasi ini!