Ilmuwan Berazas Tauhid Tanpa Cacat (2)

Sikap Pandang Terhadap Iptek

Ilmuwan yang bertauhid tanpa cacat yang memenuhi ke-empat objektif ini tentulah terbebas dari pengagungan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Kekagumannya terhadap perkembangan iptek adalah kekaguman yang sewajarnya dan manusiawi, tanpa berlebihan. Kemampuan manusia dalam mengembangkan iptek memiliki keterbatasan yang jelas dan dapat terukur.

Ia dapat melihat bagaimana lemahnya ilmu matematik dan fisika misalnya, dalam menyelesaikan persoalan kealaman dan teknologi. Ia juga dapat menyimpulkan, bila seorang ilmuwan jenius yang dianugerahi Allah umur panjang sampai dunia kiamat dan terus menerus melakukan penelitian tentang suatu bidang kajian yang spesifik, akan tetap tidak mampu mengungkapkan rahasia-rahasia kemisteriusan dalam bidang kajiannya tersebut.

Lalu bagaimana para ilmuwan (saintis) menyelesaikan permasalahan? Apapun bidang ilmunya, mereka hanya bisa menjawab masalah dengan pendekatan yang menggunakan idealisasi dan asumsi. Tanpa idealisasi dan asumsi, tak seorangpun ilmuwan mampu menjawab masalah yang dihadapi. Karenanya, jawaban antara satu ilmuwan dan ilmuwan lainnya terhadap suatu masalah akan berbeda-beda bila satu sama lain menggunakan idealisasi dan asumsi yang berbeda.

Dapat difahami, tak ada satupun penyelesaian masalah yang pasti benar, yang ada adalah penyelesaian yang dipandang sebagai sebuah kebenaran relatif karena telah mengikuti prosedur-prosedur ilmiah.

Ini juga menunjukkan bukti fenomena kemisteriusan alam karena banyak bagian-bagiannya yang tak bisa dikenali secara pasti, kemisteriusan makhluk ciptaan Allah. Tentulah Sang Penciptanya menjadi Sang Super Misterius. Fenomena makhlukNya saja tidak bisa dikenali atau diidentifikasi dengan pasti, apalagi Sang Penciptanya. Jangan kata hari esok, sampai dunia kiamatpun tak bakalan dikenal pasti.

Inilah kesimpulan ilmuwan yang bertauhid tanpa cacat dibawah bimbingan Al-Quran. Bisa difahami dan diyakini kelemahan dan keterbatasan manusia, dan karenanya, semestinyalah kita bisa menerima petunjuk Al-Quran yang mengarahkan pengenalan kepada Allah hanya melalui sifat-sifatNya saja (asmaul-husna).

Banyak orang mendewakan ilmu matematik misalnya, yang dianggap powerful untuk menyelesaikan persoalan kealaman (kauniyah). Padahal tidak begitu. Ilmu matematik hanya mampu menyelesaikan persoalan teknikal dan praktikal yang sederhana atau disederhanakan. Ilmu matematik tidak mampu menyelesaikan persoalan dengan kondisi batas yang rumit yang merupakan realitas alam dan kehidupan.

Itu sebabnya penyelesaian konsep matematik dalam masalah keinsinyuran (engineering) dilakukan dengan metode pendekatan yang salah satunya cukup populer dikenal dengan metoda elemen hingga.

Begitu juga halnya dengan fisika yang berkenaan dengan hukum thermodinamika tentang kekekalan energi dan massa. Hukum ini dianut oleh semua ilmuwan untuk menyelesaikan persoalan energi dan massa. Bila diterima secara mutlak, hukum ini jelas bertentangan dengan konsep tauhid karena mendefinisikan tidak ada energi atau massa yang bisa diciptakan atau ditiadakan, yang ada hanyalah transformasi dari satu bentuk ke bentuk lain. Berarti, Allah telah berhenti mencipta, dan tak kuasa meniadakan.

Bagaimana ilmuwan muslim menyikapinya? Ilmuwan yang bertauhid menerima hukum ini dengan sebuah catatan, tidak mutlak seperti lainnya. Dalam penerapannya, seorang ilmuwan muslim mengambil sikap bahwa penggunaan hukum ini digunakan merupakan sebuah idealisasi, atau asumsi, atau simplifikasi agar permasalahan bisa diselesaikan. Itu bedanya. Lalu, diyakini bahwa bila Allah berkehendak lain, apapun bisa terjadi.

Kenyataannya memang demikian. Ilmuwan hanya bisa mengukur energi yang dihasilkan saja dan memperkenalkan fenomena efisiensi, atau losses, untuk energi yang tidak bisa dimanfaatkan. Tak seorangpun mampu menjelaskan secara pasti kecuali dugaan-dugaan atas fenomena yang terjadi.

Kita semua cukup familiar dengan listrik dan magnet. Namun sampai saat ini tak satupun ilmuwan yang mampu menjelaskan tentang misteri aliran listrik dan magnet. Yang bisa dipelajari hanya fenomena dan akibat-akibatnya saja. Mungkinkah misteri ini bisa terungkap? Bisa saja, tapi keterungkapannya pasti akan memunculkan sebuah misteri baru lagi.

Lihat saja sejarah partikel benda terkecil. Ketika terungkap misteri bahwa atom merupakan partikel terkecil, lalu muncul misteri baru tentang atom itu sendiri. Terungkap lagi bahwa inti atom terdiri dari proton dan netron. Nah, proton dan netron inipun menjadi sebuah misteri baru lagi yang hingga kini belum terungkap jelas. Begitu juga kaitannya dengan misteri gelombang yang baru bisa difahami melalui fenomenanya saja.

Memang, sangat sedikit ilmu yang diberi Allah kepada manusia. Bisa difahami karena kemampuan manusia untuk menerima ilmu Allah juga sangat terbatas sekali. Sepatutnyalah semakin dalam ilmu ditekuni, semakin disadari kebesaran Allah Sang Pencipta dan kelemahan potensi akal manusia itu sendiri.

Rasionalitas Salah Kaprah.

Ummat Islam di Indonesia sejak empat dekade yang lalu hingga saat ini disibukkan dan dikacaukan oleh perkembangan pemikiran sebagian ilmuwan muslim yang aneh nyeleneh, yang sebagian mereka berasal dan berada di perguruan tinggi Islam (IAIN, UIN, STAIN/S).

Mereka ini sangat mendewakan akal dan berfahamkan liberal. Upaya penyebaran fahamnya ke masyarakat luas dilakukan secara sistematis melalui pendidikan di perguruan tinggi dimana mereka berada, melalui buku-buku dan internet, dan ada yang membentuk sebuah organisasi LSM yang mereka beri nama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang didanai oleh The Asia Foundation yang sangat berkepentingan memporak-porandakan aqidah ummat Islam sedunia.

Pemikiran mereka sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran orientalis Barat dan memang kebanyakan mereka menimba ilmu dari sana. Salah seorang pelopor perkembangan aliran pemikiran ini yang cukup menonjol dan berpengaruh adalah mendiang Dr.Harun Nasution, seorang profesor dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kembali ke Indonesia pada tahun 1963 setelah menyelesaikan doktornya di Universitas Mc.Gill Kanada.

Diakui sendiri oleh beliau bahwa ia adalah seorang rasionalis, penganut rasionalisme, yang mengutamakan kemampuan akalnya sendiri dalam memahami ajaran Islam, dan menggugat penafsiran klasik yang telah disepakati oleh ulama salafussaleh.

Dia mendidik banyak para mahasiswa pasca sarjana yang menuntut ilmu di IAIN Jakarta dan menanamkan bibit pemikiran rasionalismenya. Sebagian mahasiswanya yang telah bergelar master dan doktor berhasil dipengaruhi, mereka menyebar kemana-mana, dan yang kembali ke kampus asalnya sebagai dosen menyebarkan faham-faham rasionalisme di kampusnya.

Indonesia hari ini semakin diramaikan dengan para doktor dan profesor berfaham rasionalisme. Perkembangan pemikiran mereka semakin liar tak terkendali. Buah dari faham ini bisa kita lihat dari beredarnya buku-buku tentang pluralisme yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama, siapa saja berbuat kebajikan akan masuk syurga, apapun agamanya. Faham pluralisme ini dikembangkan oleh mendiang Nurcholis Majid, juga profesor dari IAIN Jakarta dan murid Dr. Harun Nasution.

Buah karya Dr. Harun Nasution lainnya yang lebih mengerikan adalah kemunculan para pewaris ideologinya, bergelar master dan doktor, yang meragukan kesucian Al-Quran yang mereka sebut sebagai produk budaya kaum Quraisy. Ada yang mempersoalkan keaslian Al-Quran, bahkan ada pula yang menyatakan secara terbuka bahwa bahwa Al-Quran tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Yang terakhir ini mengusulkan untuk merubah ayat dan menyesuaikannya dengan kebutuhan saat ini.

Mereka menggugat penafsiran klasik dan menawarkan sebuah metode penafsiran Al-Quran dengan mengadopsi metode penafsiran Bible (hermeneutika). Metode ini telah dikembangkan di beberapa IAIN dengan memasukkannya dalam kurikulum pelajaran.

Hermeneutika diadopsi oleh Kristen karena kesulitan menafsirkan Bible yang memiliki masalah keotentikan teks, bahasa, dan kandungannya. Metode penafsirannya cenderung semau gue yang tergantung pada pemahaman dan kehendak si penafsir yang tentu saja dibungkus dan berkesan seolah-olah bernilai ilmiah.

Padahal, Islam tidak menghadapi masalah seperti itu. Islam telah memiliki stándar tersendiri dalam penafsiran yang dikenal sebagai ilmu tafsir; Al-Quran ditafsirkan oleh Al-Quran itu sendiri beserta Hadist dan makna bahasa.

Ummat Islam Indonesia saat ini memang sedang mengalami ujian sangat berat, menghadapi pencemaran aqidah yang semakin serius dan memperihatinkan. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Barangkali, ini disebabkan kesalahan ummat Islam Indonesia sendiri yang kurang memahami tujuan pendidikan yang berlandaskan tauhid seperti diuraikan di Bagian 1. Atau, mungkinkah terserang wabah penyakit wahn? Bukankah kebanyakan ummat kita ini sangat rentan dengan penyakit ini?

Kebanyakan kita memang telah melakukan kekeliruan dalam mendidik anak yang tanpa disadari telah menanamkan faham bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memperoleh kesejahteraan hidup yang terukur dari kepemilikan harta.

Wallahu a’lam bishshab.

Dr. Ir. Khairul Fuad, M. Eng; Penulis adalah dosen FT-USU dan Univ.Tek.Petronas, Malaysia)