Neraca Pemikiran (1)

Bismillâhirrahmânirrahîm

Manusia lahir membawa tiga potensi besar yang merupakan sarana asasi untuk menyerap ilmu pengetahuan dan mengenal kebenaran. Ketiga potensi yang tentunya merupakan nikmat agung ini adalah kemampuan untuk melakukan penginderaan secara langsung, menerima informasi dari luar, dan berpikir secara sehat. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa, “Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dan Allah jadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran, agar kalian bersyukur”(QS. An-Nahl: 78).

Semakin optimal seorang manusia mendayagunakan indera, memori, dan rasionya secara tepat, semakin besar pula ilmu dan kebenaran yang diserap dan dikenalnya. Hal ini pada gilirannya akan menancapkan keyakinan-keyakinan yang lurus dan melahirkan tindakan-tindakan yang positif.

Sebaliknya, bila tiga potensi dasar ini diabaikan, atau digunakan tidak semestinya, maka yang lahir adalah kekeliruan berpikir. Kekeliruan berpikir—terutama dalam hal-hal yang krusial—adalah awal segala bencana. Kekeliruan berpikir itulah yang dalam sejarah alam raya merupakan cikal bakal munculnya keyakinan-keyakinan sesat dan perbuatan-perbuatan jahat. Allah Swt. menegaskan, “Dan telah Kami sediakan banyak jin dan manusia untuk (menjadi penghuni) Neraka Jahannam. Mereka punya hati tetapi tidak mereka gunakan untuk berpikir; mereka punya mata tetapi tidak mereka gunakan untuk melihat; mereka punya telinga tetapi tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu layaknya binatang ternak, dan bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).

Dosa Iblis yang mendurhakai perintah Allah Swt. untuk bersujud di hadapan Adam a.s. adalah dosa yang berakar pada kekeliruan berpikir. Ia membantah perintah tegas dari Allah itu dengan mengatakan, “Aku lebih baik darinya (Adam). Engkau menciptakan aku dari api, dan Engkau menciptakannya dari tanah!” (QS. Al-A’raf: 12).

Kemudian Iblis juga menggoda dan menjerumuskan manusia melalui kekeliruan dalam berpikir. Ia membisikkan godaannya pada Adam dan Hawa dengan mengatakan, “Tidaklah Tuhan kalian melarang kalian untuk (memakan buah) pohon ini melainkan supaya kalian tidak menjadi malaikat dan supaya kalian tidak menjadi orang-orang yang kekal (tidak mati)!” (QS. A’raf: 20-21).

Iblis menolak bersujud dengan anggapan bahwa api lebih mulia daripada tanah sehingga ia layak untuk mendurhakai perintah Sang Pencipta. Ia juga merusak pikiran manusia dengan membisikkan anggapan bahwa melanggar larangan Tuhan akan menghasilkan manfaat yang besar.

Jadi karena adanya kekeliruan berpikir dalam diri Iblis dan manusia, muncullah keyakinan sesat bahwa Allah Swt. bisa saja memerintahkan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan maupun melarang hal-hal yang justru sebaiknya dikerjakan. Lantas karena keyakinan sesat ini tidak segera diperbaiki, lahirlah tindakan-tindakan jahat berupa pelanggaran perintah mulia dari Yang Maha Kuasa dan penerjangan batas-batas larangan positif-Nya. Oleh karena itulah, Allah berkali-kali menegaskan sebuah peringatan penting kepada umat manusia—khususnya orang-orang yang beriman—dalam Al-Quran, “Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah Syetan! Sesunggunya ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 168, 208; Al-An’am: 142).

Karena keyakinan sesat itu berakar pada pemikiran yang tidak tepat, maka cara untuk menghindari dan memperbaikinya adalah dengan mengenal dan mengikuti pemikiran-pemikiran yang sehat. Pemikiran yang sehat adalah pemikiran yang memenuhi prinsip-prinsip rasional secara stabil dan efektif. Dan prinsip-prinsip itulah yang merupakan neraca untuk menimbang benar tidaknya sebuah produk pemikiran.

Dalam tulisan berseri ini, insyaallah kita akan coba mengupas satu demi satu prinsip-prinsip rasional beserta gambaran aplikasi dan bahaya-bahaya yang timbul akibat hal-hal fundamental ini dilanggar. Kesehatan berpikir adalah kunci kebahagiaan dan kemuliaan setiap makhluk hidup. Dan sebaliknya, “Seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah orang tuli yang bisu lagi buta serta tidak berakal” (QS. Al-Anfal: 22).

Ia tuli sehingga tidak mau menerima informasi positif; bisu sehingga enggan menyampaikan kebenaran, buta sehingga tidak bisa melihat kenyataan, dan bebal tidak berakal sehingga menganut keyakinan yang sesat dan membolehkan perbuatan-perbuatan jahat.

Salah satu prinsip rasional yang paling mendasar dan merupakan neraca utama atas lurus-tidaknya sebuah keyakinan adalah prinsip “menyatukan hal-hal yang sama dan memisahkan hal-hal yang berbeda.” Ini merupakan prinsip dasar yang melandasi segala aktivitas akal dalam berpikir dan menjaga proporsionalitas gerak badan dalam melakukan perbuatan.

Menyatukan hal-hal yang sama berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang sama untuk obyek-obyek yang memang sama serta memberikan penilaian dan perlakuan yang serupa untuk obyek-obyek yang serupa. Dan memisahkan hal-hal yang berbeda berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang berbeda untuk obyek-obyek yang memang berbeda serta memberikan penilaian dan perlakuan yang berlawanan atau bertentangan untuk obyek-obyek yang berlawanan atau bertentangan. Inilah Prinsip Proporsionalitas. Ketika prinsip ini dipenuhi, maka keyakinan dan perbuatan seseorang akan sehat. Tetapi ketika prinsip ini dilanggar, maka ia akan terjerat oleh keyakinan yang sesat dan terjerumus melakukan perbuatan jahat.

Dalam Al-Quran, Allah Swt kerap mencela orang-orang yang menyalahi prinsip ini, baik dalam menilai diri sendiri maupun menilai orang lain. Antara lain Allah Swt. Berfirman, “Apakah orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan buruk itu mengira bahwa Kami akan jadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal shalih, baik yang hidup maupun yang mati? Alangkah buruk penilaian mereka!” (QS. Al-Jâtsiyah: 21).

Allah juga berfirman: “Apakah Kami akan jadikan orang-orang yang muslim (memasrahkan diri kepada Allah) itu seperti orang-orang yang berlaku dosa? Alangkah buruk penilaian kalian!” (QS. Al-Qalam: 35). Anggapan keliru orang-orang kafir itu merupakan penilaian yang sangat buruk karena berakar pada kekeliruan berpikir yang menganggap bahwa pelaku kejahatan itu sama—dan akan diperlakukan sama—dengan pelaku kebaikan, pahadal kedua obyek tersebut sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan. Ini merupakan pelanggaran atas Prinsip Proporsionalitas karena menyamakan dua obyek yang berbeda.

Dalam bentang ontologis, perbedaan yang paling besar antara dua entitas adalah perbedaan antara Khalik (Sang Pencipta) dengan makhluk (ciptaan-Nya). Sang Pencipta tentu saja Mahakuasa dan Mahaperkasa, sedangkan karakter dasar dari setiap makhluk adalah serba lemah dan tidak berdaya. Secara rasional, segala kekuatan dan kemanfaatan yang ada atau sampai ke setiap makhluk tentu berasal dari Sang Pencipta. Oleh kerena itu, menyama-nyamakan sesuatu makhluk dengan Sang Khalik merupakan sebuah kekeliruan berpikir yang sangat parah serta akan melahirkan keyakinan sesat yang sangat tercela.

Al-Quran menyinggung hal ini antara lain dalam ayat pertama Surat Al-An’am, “Kemudian orang-orang kafir itu menyama-nyamakan (makhluk yang mereka sembah) dengan Tuhan mereka.” Keyakinan dan tindakan sesat inilah yang dikenal sebagai syirik dan tidak aneh jika merupakan dosa yang paling besar. Para pelaku syirik itu akan mengakuinya sendiri di Akhirat nanti, “Demi Allah, kami dulunya betul-betul berada dalam kesesatan yang nyata! (Yaitu) ketika kami menyamakan kalian (yang kami sembah) itu dengan Tuhan seru sekalian alam!” (QS. Asy-Syu’ara’: 98). Akibat menyamakan makhluk dengan Khaliknya, mereka pun menyembahnya sebagaimana menyembah Khalik, padahal makhluk sangat berbeda dengan Khalik. Pemikiran yang keliru memang melahirkan keyakinan sesat dan memunculkan tindakan-tindakan jahat.

Penulis: Nidlol Masyhud.
Mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar Kairo. Aktif di KPS (Kampus Pemikiran SINAI) dan Majelis Litbang SINAI. Juga aktif sebagai Wakil Ketua I Orsat ICMI Kairo dan anggota Majelis Litbang PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo).